Liputan6.com, Jakarta 6 Februari 2021 tepat 96 tahun usia sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang akrab disapa Pram ini lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1925 kala bangsa ini masih dijajah oleh Belanda.
Secara luas, Pram juga dikenal sebagai pengarang yang produktif yang tak bosan melahirkan sejumlah karya dengan berbagai topik. Hingga wafatnya pada 30 April 2006, Pram bahkan disebut telah menghasilkan setidaknya 40 karya yang telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing.
Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Gadis Pantai (1987), Hikayat Siti Mariah (1987), serta Rumah Kaca (1987) adalah deretan dari puluhan karya yang telah dihasilkannya.Â
Advertisement
Pramoedya Ananta Toer juga dikenal sebagai salah satu sastrawan yang begitu menaruh perhatian pada dunia pendidikan. Dalam buku-bukunya ia acap kali menyelipkan sejumlah kata yang menyinggung masalah pendidikan.
Semangat ini tentu sedikit banyak diwariskan oleh ayahnya yang merupakan seorang guru yang mula-mula bertugas di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di kota Rembang. Kemudian menjadi kepala guru di sekolah swasta di Boedi Oetomo sampai menjadi kepala sekolah tersebut.
Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5Â
Kepedulian Pram pada pendidikan salah satunya tampak dari olah pikirnya yang tertuang dalam bentuk novel. Dalam Bumi Manusia, Pram menyampaikan penekanan koeksistensi antara pendidikan dengan sastra. Menurutnya sepandai apa pun manusia, jika ia tak mencintai sastra sama halnya dengan seekor hewan.
"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai," tulis Pram yang disampaikan lewat mulut Magda Peters, guru Minke, tokoh utama dalam buku tersebut.
Masih dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer juga mendorong setiap insan untuk percaya akan kemampuannya. Menurutnya untuk dapat menguasai berbagai pelajaran, maka tugas utama dari seorang pembelajar adalah menganggap mudah semua pelajaran. Pasalnya ketakutan akan suatu pelajaran tertentu adalah kebodohan itu sendiri.
"Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua," tulis Pram, sapaan akrabnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pandangan Pramoedya dalam Buku Bumi Manusia
Buku Bumi Manusia memang kaya akan pandangan Pram menyangkut dunia dan sosial kemasyarakatan. Masih dalam buku ini, seniman Lekra itu menuangkan pandangannya soal keadilan.
Baginya seorang yang terdidik mestilah bertindak adil bahkan sebelum tindakan itu masih berada dalam tempurung kepala.Â
"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan," sebut Pramoedya.
Dia juga sempat melontarkan kritik dengan gaya sastranya kepada pendidikan di Tanah Air. Melalui tulisannya di Jawa Pos, 18 April 1999, Pram meminta pembaca merenungkan soal pendidikan di negeri ini.
"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya," tulis Pram.
Dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara, terekam pria kelahiran Blora ini juga pernah menggalakkan dunia tulis menulis. Lewat pesannya tentang bekerja untuk keabadian, Pram menawarkan resep untuk dapat dikenang melalui tulisan.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah," kata Pram.
Termasuk ungkapan Pram soal menulis sedari dini. Menurutnya apa yang ditulis sejak usia dini dipastikan akan membuahkan manfaat.
"Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi," katanya.
Selain itu, Pramoedya Ananta Toer juga dikenal sebagai sastrawan yang lantang menyuarakan isu-isu keadilan, termasuk pula masalah pendidikan. Label "komunis" oleh rezim orde baru membawanya terjerumus ke Pulau Buru, tempat pengasingan bagi terduga PKI.
Ia dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan tidak bersalah secara hukum dan tidak terlibat Gerakan 30 September.
Meski begitu dirinya masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999. Pram juga masih harus wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Pada 1995, Pram diganjar penghargaan Ramon Magsaysay Award, sebuah hadiah penghargaan yang dibentuk pada bulan April 1957 oleh para wali amanat Rockefeller Brothers Fund (RBF) yang berpusat di Kota New York, Amerika Serikat.
Advertisement