Sukses

Dorongan Jokowi Minta Kritik Keras dari Masyarakat Dianggap hanya Retorika

Pernyataan Jokowi yang meminta kritik pedas masyarakat dianggap retorik dan bertolak dengan kenyataan di lapangan.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dari tiga unsur, yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Pers dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS), menanggapi pernyataan Presiden Jokowi, terkait dorongan kritik keras dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan perbaikan pelayanan publik.

Menurut mereka, pernyataan tersebut retorik dan bertolak dengan kenyataan di lapangan.

"Menurut catatan, terdapat beberapa catatan mendasar bagi situasi kebebasan berekspresi dan pers di Indonesia saat ini," tulis pernyataan pers bersama tiga lembaga terkait diterima Liputan6.com, Seasa (9/2/2021).

Merinci contoh terkait, Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 dari Kapolri terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/Presiden/Pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19, adalah salah satunya. Kemudian, penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra.

Selain itu, contoh lain adalah surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada salah satu pengguna akun twitter yang memberikan kritik guna perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia.

"Bahkan di awal Januari 2021 terdapat somasi dari kuasa hukum salah satu Gubernur yang mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke Polisi dengan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE terkait unggahan foto atau video yang berhubungan dengan bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan," ungkap koalisi masyarkat sipil ini.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Revisi UU ITE

Berdasarkan survei yang dilakukan, sebanyak 35 dari 125 responden jurnalis atau setara 28%, mengungkapkan pernah mengalami penyensoran atas berita yang mereka buat. Teguran atau peringatan tidak resmi dari pihak pemerintah menjadi bentuk penyensoran yang paling banyak dialami oleh responden sebesar 25,7%.

"Dari sisi pelaku penyensoran, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku penyensoran dengan melakukan penyensoran sebesar 17%. Sementara, berdasarkan laporan LBH Pers, sepanjang 2020 terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, dimana 5 kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan 3 kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian," ungkap koalisi.

Melalui hasil survei tersebut, koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk serius mendorong rakyat untuk kritis, bukan hanya pernyataan kosong belakang. Caranya, harus melakukan evaluasi dan revisi atas UU ITE, terutama tindak pidana yang memiliki rumusan sangat “lentur” dan “karet” seperti Pasal 27 ayat (3) maupun 28 ayat (2) UU ITE.

"Selain itu harus juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap aparat penegak hukum terkait penggunaan pasal-pasal yang justru membungkam kritik-kritik masyarakat sebagai ekspresi yang sah, serta mendorong perbaikan hukum acara pidana di Indonesia melalui pembaruan KUHAP/RKUHAP," koalisi memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.