Sukses

15 Februari 1958: Berdirinya PRRI, Gerakan Pemberontakan Menuntut Otonomi Daerah

15 Februari 1958, muncul gerakan yang menentang pemerintah pusat bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Liputan6.com, Jakarta - 15 Februari 1958, muncul gerakan yang menentang pemerintah pusat bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein yang menggagas pembentukan PRRI sebagai pemerintahan tandingan melawan pemerintahan di Jakarta yang sah pada saat itu.

Pembentukan PRRI sendiri bermula dari reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20 hingga 25 November 1956. Divisi Banteng yakni komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945 - 1950) di Sumatera Tengah yang wilayah operasinya meliputi empat provinsi sekarang, yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau.

Reuni tersebut dihadiri perwira aktif dan perwira pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah. Mereka merasa nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang melawan Belanda tahun 1945 - 1950 sangat prihatin.

Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentara Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang kemerdekaan, hidup mereka semakin susah, dan jauh dari rasa keadilan dan kemakmuran.

Reuni tersebut menghasilkan perlunya otonomi daerah demi menggali potensi dan kekayaan daerah. Mereka kecewa terhadap pemerintah pusat karena dianggap telah melanggar undang-undang dan dianggap cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah terabaikan.

Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan itu menyutujui pembentukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein selaku komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pembentukan terjadi pada 25 November 1956.

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

Pembentukan Dewan Banteng ini diikuti dengan pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R. Barlian, dan Dewan Maguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.

Nama Dewan Banteng sendiri diambil dari nama Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Pembubaran Divisi Banteng terjadi pasca Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI pada 27 Desember 1950. Para prajurit Divisi Banteng ini kemudian dikirim ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh, hingga Jawa Barat. Sebagian dari mereka dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan Divisi Banteng diputus.

Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.

Satu bulan setelah pembentukan Dewan Banteng, yakni pada 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah.

Walaupun Letkol Ahmad Husein mengambil alih jabatan gubernur, namun Letkol Ahmad Husein tidak ditindak, malah sebaliknya, salah satu tuntutan Dewan Banteng agar dibentuk satu Komando Militer di Sumatera Tengah yang terdiri dari eks Divisi Banteng yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KDMST) dipenuhi dan Letkol Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KDMST.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

2 dari 3 halaman

Tetap Akui Sukarno sebagai Presiden

Dewan Banteng tetap mengakui Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia, tetap mengakui Pemerintahan Juanda, dan tetap mengakui Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng selain pembentukan komando militer yakni adanya kesetaraan dalam pembangunan antara pusat dan daerah. Dewan Banteng mengusulkan adanya dana alokasi untuk pembangunan daerah Sumatera Tengah. Namun rupanya tuntutan ini tak diindahkan.

Lantaran pemerintah pusat tidak memerhatikan usul alokasi dana tersebut, maka Dewan Banteng tidak mengirimkan lagi seluruh penghasilan daerah Sumatera Tengah ke Pusat, ditahan di daerah dan digunakan untuk pembangunan Daerah. Masalah ini meningkatkan konlik dengan Pemerintah Pusat.

Konflik pusat dan Dewan Banteng makin menjadi setelah Dewan Banteng memutuskan berdagang langsung dengan luar negeri tanpa prosedur yang lazim, yaitu melalui Departemen Perdagangan dan Bea Cukai. Yang dibarter adalah teh, karet, dan hasil bumi Sumatera Tengah lainnya. Dana yang diperoleh dari hasil barter itu digunakan untuk mendatangkan alat-alat berat untuk pembangunan jalan seperti traktor, buldozer, aspal dan berbagai alat berat lainnya.

Tak hanya Dewan Banteng, namun Dewan Gajah, Dewan Garuda, dan Dewan Maguni juga berhasil membuka hubungan dagang dengan luar negeri dan menghasilkan uang untuk pembangunan.

Seperti dikutip dari majalah.tempo.co PRRI: Membangun Indonesia tanpa Komunis, pada akhir Maret 1957, sepuluh perwira staf Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD) mengambil inisiatif mencari jalan keluar dari kemelut yang sudah meluas menjadi konflik daerah itu. Mereka membicarakan maksud tersebut ke Perdana Menteri Djuanda, yang ternyata sangat mendukung upaya rekonsiliasi itu.

Para perwira Mabes AD itu dikirim ke daerah-daerah yang bergolak untuk kemungkinan menyelenggarakan suatu pertemuan nasional di Jakarta. Letkol Sumual, yang menyadari bahwa inisia­tif itu adalah satu-satunya cara penyelesaian, lalu datang ke Jakarta dan menghubungi Djuanda.

Dengan Djuanda dia sepakat langkah pertama ke arah musyawarah nasional itu adalah pertemuan antara para tokoh militer dan sipil di daerah bergolak untuk meyakinkan mereka bahwa musyawarah nasional merupakan jalan terbaik.

Dua hari sebelum musyawarah nasional dibuka, yakni 8 September 1957 terjadi pertemuan di Palembang. Dalam pertemuan tersebut hadir Tokoh Bangsa Mohammad Natsir yang jelas mempengaruhi pertemuan itu. Dia menyatakan bahayanya komunisme. Sebab, pada pemilu 1955, PKI menjadi empat partai besar.

Di bawah pengaruh Natsir, semua eksponen daerah bergolak itu menyatakan solidaritas dan membentuk satu dewan saja dengan nama Dewan Perjuangan. Keputusan yang diambil di Palembang­ yang dicantumkan dalam Piagam Palembang pada da­sar­nya merupakan usul bersama dari daerah bergolak.

Usulan mereka yakni pemulihan dwitunggal Soe­kar­no-Hatta, penggantian pimpinan Angkatan Darat, pembentukan senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, melaksanakan otonomi daerah, dan melarang komunisme di Indonesia.

Musyawarah nasional berlangsung di Jakarta pada 10-15 September 1957. Seluruh usul Dewan Perjuangan ternyata diterima, kecuali pembubaran PKI. Dewan Perjuangan kemudian kembali menggelar rapat di Padang dan memutuskan untuk menuntut Presiden Sukarno membubarkan kabinet Djuanda dan membentuk kabinet Hatta-Hamengku Buwono. Sukarno menolak.

3 dari 3 halaman

Bentuk Kabinet Tandingan

Maka, pada 15 Februari 1958, di Padang dibentuk kabinet tandingan dengan nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Perang pun tidak dapat dihindari.

Dalam PRRI, Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman, Sumitro Joyohadikusimo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran, Mohd Syafei sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) dan Menteri Kesehatan.

JF Warouw sebagai Menteri Perhubungan, S Sarumpait sebagai Menteri Pertanian dan Perburuan, Mohthar Lintang sebagai Menteri Agama, M Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan dan A Gani Usman sebagai Menteri Sosial.

PRRI kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Pemerintahan Federal atau disebut juga sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diproklamirkan di Bonjol pada tanggal 8 Februari 1960. Syafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Presidennya.

Pembentukan RPI ini membuat perpecahan di kalangan tokoh politisi sipil dengan tokoh-tokoh militer.

Kemudian Kabinet Djuanda juga mengeluarkan perintah menangkap Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Sumitro Joyohadikusomo. Situasi semakin panas, di Padang dan daerah lain di Sumatera Barat digiatkan latihan-latihan militer terutama sekali terhadap mahasiswa dan pelajar. Di mana-mana kelihatan orang berbaju hijau dan memanggul senjata.

Senjata-senjata bantuan Amerika Serikat pun berhamburan jatuh dari pesawat terbang pada beberapa tempat di Padang dan Bukittinggi pada malam hari. Tidak hanya dengan pesawat terbang Amerika mengirimkan senjata, tetapi juga dengan kapal-kapal selam.

Pertentangan ini dianggap pemberontakan oleh pemerintah pusat. Deklarasi dan ultimatum itu dianggap sebagai proklamasi pemerintah tandingan. Kondisi ini disikapi frontal oleh Presiden Sukarno dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Serangkaian operasi militer pun dikerahkan, termasuk pasukan yang dipimpin Ahmad Yani dan Ibnu Sutowo, untuk membasmi PRRI/Permesta. Bulan Mei 1961, gerakan yang disebut pemberontakan itu akhirnya tumpas. Para pemimpinnya ditangkap atau menyerahkan diri.

Tak hanya menumpas PRRI, Sukarno kala itu juga membubarkan Partai Masyumi. Partai politik berhaluan kanan ini diberangus karena dituding terlibat PRRI, dan Syafruddin Prawiranegara merupakan salah satu petingginya. Namun, Presiden Sukarno memutuskan untuk mengampuni mereka, termasuk Syafruddin Prawiranegara.

Peristiwa ini menyebabkan eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain. Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, namun setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu.

Bahkan menurut perkiraan Gubernur Jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.

Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak.

Padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa prakemerdekaan.

Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.