Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan Buzzer atau pendengung di jagad media sosial menjadi polemik dalam perpolitikan nasional.
Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai buzzer jangan selalu dianggap negatif karena seringkali mereka turut menyuarakan hal positif.
Baca Juga
"Bahkan membela isu-isu nasionalisme dan melawan kelompok intoleran, kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia," ujar Karyono di Jakarta, Senin (15/2/2021).Â
Advertisement
Karyono juga menilai, hadirnya buzzer ini juga karena buah demokrasi, media sosial, keterbukaan informasi dunia digital.Â
Kata Karyono, siapapun bisa diorganisir sebagai kelompok, untuk digunakan baik politik maupun yang lain. Bisa digunakan untuk kepentingan apapun, bahkan sering sekeli buzzer digunakan untuk kepentingan tertentu.
Namun demikian, perspektif buzzer menjadi negatif bila digunakan untuk kelompok tertentu dalam hal ini menyerang pemerintahan. Sebaliknya, ketika ada suara positif, malah pemerintah yang dituduh memelihara buzzer.
"Kadang tidak fair-nya, pemerintah dituduh mengorganisir, atau memelihara. Padahal pihak oposisi yang kerap menggunakan buzzer untuk menyerang pemerintah,"Â ungkap Karyono.Â
Begitu juga, kata dia, kekuatan kelompok garis keras, menggunakan buzzer untuk menjatuhkan Pancasila, lalu seakan meninggikan idiologi lain, hal itu dilakukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"FPI juga menggunakan itu (buzzer), PKS juga menggunakan buzzer, untuk menyerang pemerintah," kata dia.
Untuk menghalau itu semua, Karyono sepakat pemerintah menggunakan UU ITE, karena untuk menjerat kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan buzzer.
Â
Saksikan Video PIlihan Berikut Ini:
Buzzer bukan Hal Baru
Sementara, penggiat media sosial Ade Armando menganggap keberadaan buzzer dalam demokrasi bukanlah hal baru, sehingga tidak perlu untuk ditertibkan.
Menurut Ade, penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi seperti sekarang ini.
"Malah bodoh sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya," ujar Ade.
Hal ini lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau buzzer.Â
Kalaupun, ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah itu bukan lantaran karena kritiknya.
"Saya nggak ingat orang kritik Jokowi terus kena serangan hukum. Saya kan sering dianggap buzzer dibayar pemerintah untuk lawan Habib Rizieq, lho kan saya nggak dibayar pemerintah. Saya katakan buzzer bagian sah saja dalam demokrasi, buzzer ini orang-orang sipil yang bicara membela yang dianggap benar, ini bukan negara, itu orang-orang sipil," jelas dia melanjutkan.
Â
Advertisement