Sukses

PDIP Sebut Tak Ada Pasal Karet dalam UU ITE

Anggota Komisi I dari F-PDI Perjuangan, TB Hasanuddin angkat bicara soal Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi I dari F-PDI Perjuangan, TB Hasanuddin angkat bicara soal Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Hasanuddin, dalam UU ITE tersebut memang ada dua pasal krusial yang sempat menjadi perdebatan.

"Sebenarnya UU ITE ini merupakan hasil revisi dengan memerhatikan masukan dari berbagai kalangan, dan memang ada dua pasal yang krusial yaitu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2," kata TB Hasanuddin yang saat revisi UU ini menjadi Kapokjanya , Selasa (16/2/2021).

TB Hasanuddin yang saat revisi UU ini menjadi Kapokjanya ini memaparkan, Pasal 27 ayat 3 adalah pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia mengakui pasal ini sempat menjadi perdebatan. Tapi, ia menegaskan bahwa pasal tersebut sudah mengacu dan sesuai Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Pasal 27 ayat 3 ini acuannya KUHP Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan," bebernya.

Kemudian, kata dia, Pasal 28 ayat 2 tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang berdasarkan pada SARA."Kedua pasal ini, Pasal 27 dan Pasal 28 harus dipahami oleh para penegak hukum agar tak salah dalam penerapannya. Apalagi pasal 27 itu sifatnya delik aduan, mereka yang merasa dirugikan dapat melapor dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain ," katanya.

Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam menerapkan Pasal 27 ayat 2 itu harus dibedakan antara kritik terhadap siapa pun dengan ujaran kebencian serta penghinaan. Penegak hukum harus memahami betul secara sungguh-sungguh.

"Kalau dicampuradukan antara kritik dan ujaran kebencian, maka saya rasa hukum di negara ini sudah tak sehat lagi," ungkapnya.

Ia juga menggarisbawahi penerapan Pasal 28 ayat 3 UU ITE ini juga harus berhati-hati dan selektif karena sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI yang berkarakter Bhineka Tunggal Ika.

"Menurutnya, multitafsir atau penafsiran berbeda dapat diminimalisir dengan membuat pedoman tentang penafsiran hukum kedua pasal ini secara komprehensif ," jelas dia.

 

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Tak Ada Pasal Karet

Hasanuddin juga membantah adanya anggapan pasal karet pada 2 pasal kontoversial itu. Menurutnya, tak ada pasal karet, melainkan bagaimana penegak hukum memahaminya dengan menggunakan hati nurani.

“Dapat dibayangkan bagaimana negeri ini akan kacau kalau bila rakyatnya dibebaskan saling menghujat , saling membuka aib dan saling mengungkapkan kebencian secara bebas dan vulgar. Termasuk menyebarkan kebencian karena SARA , padahal negeri ini kan negeri yang berkarakter pluralisme yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Kedua pasal ini pernah dua kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review dan hasilnya tak ada masalah," ujarnya.

Meski begitu, Hasanuddin mempersilakan bila memang UU ITE harus direvisi misalnya dengan membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE.

"Kami di DPR terbuka, bila memang harus direvisi mari bersama kita revisi demi rasa keadilan dan demi tetap utuhnya NKRI. Saya juga mengajak kepada seluruh anak bangsa, bijaklah dalam menggunakan media sosial. Kritik membangun sah sah saja dan dilindungi UU, tapi jangan mencampuradukan kritik dengan ujaran kebencian,” tandasnya.