Liputan6.com, Jakarta - Geger kasus empat ibu rumah tangga ditahan bersama dua balitanya usai protes soal keberadaan pabrik rokok di Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB. Keempatnya diduga melempar batu ke pabrik rokok tersebut.
Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan tidak ada penahanan terhadap empat ibu tersebut, apalagi bersama balitanya.
"Selama proses penyelidikan dan penyidikan, polisi tidak melakukan penahanan. Saya tegaskan kembali bahwa tidak ada penahanan selama proses hukum yang dilakukan Polres Lombok," tutur Kabid Humas Polda NTB Kombes Artanto saat dikonfirmasi, Selasa (23/2/2021).
Advertisement
Menurut dia, pihaknya malah berusaha melakukan mediasi antar kedua belah pihaknya. Meski begitu, belum ada titik temu penyelesaian atas masalah tersebut.
"Pihak Polres Lombok Tengah telah melakukan lebih dari dua kali mediasi kedua belah pihak untuk penyelesaian namun tidak ada titik temu atau kesepakatan. Kemudian penyidik melanjutkan penyidikan sesuai prosedur hukum yang berlaku," jelas Artanto.
Kasus empat ibu melempar batu ke pabrik rokok kini sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan alias P21. Para tersangka dan barang bukti telah dilimpahkan ke kejaksaan dan segera disidang.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemprov NTB Ajukan Penangguhan Penahanan
Sebelumnya, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat, mengajukan permohonan penangguhan penahanan empat ibu rumah tangga bersama anaknya tersebut.
Surat permohonan penangguhan penahanan tersebut diserahkan Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin bersama Kepala DP3AP2KB Kabupaten Lombok Tengah Muliardi Yunus ke Kepala Pengadilan Negeri Praya Putu Agus Wiranata, di Praya Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Senin (22/2/2021).
"Saya sebagai pembantu gubernur mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan," kata Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin.
Ia menyebutkan empat hal yang menjadi pertimbangan pengajuan permohonan penangguhan penahanan. Pertama, keempat tersangka itu adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak balita dan masih membutuhkan air susu ibu (ASI).
Kedua, keempat perempuan itu merupakan ibu rumah tangga yang harus mengurus keperluan keluarga, baik suami maupun anak-anaknya.
Ketiga, para tersangka tidak pantas ditahan bersama anak balita di Rumah Tahanan Praya, dan demi terciptanya "irah-irah" kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keempat, tersangka tidak akan melarikan diri, dan akan memenuhi kewajiban untuk memperlancar jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Praya.
"Oleh karena itu, saya dengan ini bersedia menjadi penjamin penangguhan penahanan para tersangka," kata Eni sapaan akrab Kepala BP3AKB NTB itu.
Eni juga berharap agar surat permohonan penangguhan penanganan tersebut bisa dipenuhi oleh para hakim.
Eni bersama Kepala DP3AP2KB Kabupaten Lombok Tengah Muliardi Yunus juga menyempatkan diri mengunjungi keempat ibu rumah tangga tersebut ke Rumah Tahanan Praya untuk memberikan dukungan moral dan makanan balita.
Â
Advertisement
Putusan Ada di Tangan Pengadilan
Humas Pengadilan Negeri Praya Muhammad Sauqi mengatakan pihaknya sudah menerima surat permohonan penangguhan penahanan terhadap empat ibu rumah tangga yang saat ini berada di Rumah Tahanan Praya, sambil menunggu proses persidangan.
Namun, permohonan penangguhan yang dilayangkan tersebut harus diputuskan dalam persidangan, karena hal itu menjadi kewenangan hakim. Artinya secara administrasi tidak bisa diputuskan tanpa dilakukan sidang.
"Kewenangan hakim di persidangan. Kita tunggu hasil persidangan hari ini," katanya.
Untuk diketahui, empat ibu rumah tangga berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, masuk penjara bersama dua balita yang merupakan anaknya.
Keempat ibu itu diduga melakukan perusakan atap gudang pabrik tembakau yang ada di desa setempat pada Desember 2020. Mereka diduga melempar atap gudang menggunakan batu, karena merasa terganggu dengan bau tembakau yang menyengat.
Warga setempat juga melakukan penolakan pabrik tembakau tersebut, karena mengeluhkan dampak lingkungan pabrik terkait bau yang dikeluarkan dari lokasi pabrik.
Adapun kerugian material yang ditimbulkan akibat perusakan tersebut sekitar Rp4,5 juta, sehingga empat ibu rumah tangga itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.