Liputan6.com, Jakarta - Virtual police yang digagas Polri dengan maksud memberikan edukasi kepada warganet agar bermedia sosial dengan bijak dan tak melanggar UU ITE, justru dikhawatirkan dapat mengekang kebebasan masyarakat di ruang siber.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heru Nugroho mengatakan, kekhawatiran tersebut didasarkan pada cara menentukan kesalahan warganet di media sosial berlandaskan pada UU ITE yang dianggap banyak memiliki pasal karet.
Baca Juga
"Di sisi lain kalau nantinya cara menindaknya itu berdasarkan UU ITE yang pasal karet itu, kalau pengamat media sosial bilang itu akan bisa mengekang kebebasan sehingga bisa jadi aspirasi tidak keluar. Kan sudah muncul toh mengungkapkan aspirasi, melakukan kritik, ujungnya polisi," kata Heru saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).
Advertisement
Heru tak bisa menerka secara pasti apakah praktik virtual police ini bakal sesuai dengan rel pembentukannya. Pasalnya, jika mengacu pada semangat keberadaan virtual police ini, Heru memandang cukup positif.
Menurutnya, virtual police merupakan institusi panopticon atau institusi pengatur ketertiban sosial di ranah dunia maya. Virtual police bekerja layaknya pengawas di mana seseorang bisa didisiplinkan dalam bertingkah laku di ruang siber layaknya di dunia nyata.
"Ini disebut efek panoptic, efek pengawasan. Misalnya kalau kita di perempatan itu kan ruang publik ya. Kemudian ada gardu polisi, gardunya pakai kaca riben. Meskipun di situ enggak ada polisi tapi orang di situ merasa diawasi. Nah efeknya nanti muncul ketertiban orang cenderung tidak melanggar traffic light karena merasa diawasi di ruang publik," papar dia.
Dengan sistem seperti itu, menurut Heru, penguasa saat ini dinilai sukses menciptakan panopticon karena orang merasa diawasi, karena adanya simbol "gardu polisi". Sehingga tercipta kedisiplinan sosial.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pisau Bermata Dua
Meminjam kacamata penguasa, menurut Heru, hadirnya virtual police ini mungkin saja untuk menertibkan dunia maya yang dianggapnya tak teratur. Di mana dalam ruang virtual banyak berseliweran kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian.
"Ini kan mengganggu, oleh karena itu saya kira maksud dari polisi di satu sisi untuk menghadirkan panoptic, pengawasan terhadap ruang publik virtual ini yang dihuni oleh banyak netizen-netizen ini loh supaya merasa diawasi sehingga tidak ngawur lagi, tidak seenaknya lagi. Ada aturannya, kita mau ngeritik ya ngeritik," jelas dia.
Heru menegaskan bahwa keberadaan panopticon dalam ruang maya memang dibutuhkan, namun ini juga bisa menjadi penekan masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Lebih jauh Heru memandang virtual police ini sebagai pisau bermata dua.
Untuk itu diperlukan penjelasan lebih terperinci soal kriteria atau batasan-batasan bagi polisi untuk melabeli sebuah postingan dalam media sosial dianggap melanggar.
"Seperti kalau di RRI itu yang membahas soal dunia siber, kemudian menjelaskan soal berita-berita hoaks, lalu hoaks ini udah diunggah sekian kali, asal usulnya dari mana (cek fakta), nah saya kira polisi kalau mau mendidik harus ada seperti itu. Perlu ada penjelasan-penjelasan bahwa misalnya polisi menuduh sebuah postingan hoaks harus ada penjelasannya bahwa ini benar atau tidak benar ada data-datanya," jelas dia.
Advertisement