Sukses

Jenderal Soedirman dan Jurus Cinta Mautnya untuk Alfiah

Membahas soal Jenderal Soedirman, tak harus melulu soal gerilyanya. Kisah cintanya pun tak kalah menarik dan inspiratif. Ikuti ceritanya di sini.

Liputan6.com, Jakarta - Membahas soal Jenderal Soedirman, tak harus melulu soal gerilyanya. Kisah cintanya pun tak kalah menarik.

Sejak muda, Soedirman dikenal sebagai pemuda istimewa. Bukan pemuda sembarangan.

Pria kelahiran 24 Januari 1916 itu sangat disegani di lingkungannya. Dia pandai berpidato, pemain sepak bola dan teater yang handal. Namun, di sisi lain, Soedirman dikenal sangat alim. Bahkan teman-temannya menjulukinya “Kaji” yang berarti Haji.

"Saat itu Soedirman seorang pemuda top. Banyak gadis tertarik padanya karena aktivitasnya itu. Banyak orangtua yang berebut ingin menjadikan dia sebagai menantunya," kata Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Sardiman kepada Liputan6.com, Jumat 12 Agustus 2016.

Tetapi, hati Soedirman jatuh kepada seorang gadis primadona di Kota Pesisir Pantai Selatan Jawa Tengah, Cilacap.

Dia adalah Siti Alfiah. Keduanya bertemu di Perkumpulan Wiworotomo. Sebuah organisasi intrasekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan sekolah menengah pertama Parama Wiworotomo, Cilacap.

"Keduanya sama-sama aktivis di Pemuda Muhammadiyah Cilacap," ujar Sardiman.

Alfiah adalah gadis cantik yang tengah beranjak dewasa. Saat itu, banyak laki-laki yang terpikat padanya.

Tak ingin kalah dari pemuda lainnya, Soedirman mendekati Alfiah dengan berbagai jurus.

Salah satunya, memilih kembang desa itu sebagai bendahara saat menjadi panitia teater saat dia menjadi ketuanya. Tentunya, ada udang di balik batu. Hal ini dilakukannya agar bisa lebih dekat dengan Afifah.

Soedirman juga kerap berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orangtua Alfiah.

Silaturahmi tersebut berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Soedirman memang termasuk dalam kepengurusan Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Orangtua Alfiah adalah pengurus Muhammadiyah.

Dari kebiasaan itulah, teman-temannya mulai menyadari jika Soedirman menaruh hati pada Alfiah. Sejak itu, tak ada laki-laki yang berani mendekati Alfiah.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Sempat Tak Direstui

Kisah cinta Soedirman tak berjalan mulus pada awalnya. Cintanya kepada Alfiah tak mendapat restu oleh keluarga Afifah. Bukan dari orangtua kembang desa itu, melainkan oleh paman Alfiah bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel.

Mukmin menginginkan agar keponakannya itu mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Sementara Soedirman hanya anak ajudan wedana yang bergaji kecil.

Namun, cinta ibu kepada anak mengalahkan segalanya. Ibunda Soedirman kemudian menyiapkan semua ongkos pernikahan agar anaknya tak disepelekan keluarga Alfiah.

Tapi, sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar oleh Presiden Sukarno.

 

 

3 dari 4 halaman

Rela Lakukan Apapun

Cinta Soedirman begitu besar pada Alfiah. Dia selalu menyiapkan baju sang istri. Soedirman ingin agar Alfiah selalu terlihat cantik.

Alfiah pun sangat mencintai Soedirman. Dia rela merokok demi sang suami yang tengah tergolek di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta, bisa mencium aroma rokok.

Saat itu, Soedirman meminta Alfiah merokok dan meniupkan asap rokok ke wajahnya. Sejak peristiwa itu, Alfiah menjadi seorang perokok.

Soedirman sudah lama menderita tuberkolosis. Namun, saat itu, dia memutuskan untuk bergerilya dengan mengandalkan satu paru-paru. Dia meninggalkan sang istri, bergerilya di Madiun, Jawa Timur, memimpin operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis.

Awal Mula

Pada akhir September 1948, Soedirman kembali. Dia berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta.

Soedirman yang terlihat ringkih mengatakan kepada istrinya, dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman rupanya begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi.

Malam itu, kendati kondisi kesehatannya menurun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak diindahkan. Dan inilah awal petaka bagi Soedirman. Esoknya, sang Jenderal terkapar di tempat tidur.

Lagi-lagi, sifat keras kepalanya membawa petaka. Kendati terbaring sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa dihilangkan.

Sesekali, sembari terbaring, dia menghisap rokok kretek. Alfiah tak berani melarang, karena tahu Soedirman memang perokok berat.

Sejumlah dokter tentara memeriksa kesehatannya. Tim dokter muda mendiagnosis ia menderita tuberkolosis, infeksi paru-paru.

Keluarga Soedirman meminta dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay memeriksa Soedirman kembali. Hasilnya tak jauh berbeda, pulmonary tuberculosis. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Soegiri, bekas ajudan Soedirman, menulis bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit Katolik itu. Soedirman dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang berada di bagian depan rumah sakit.

Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Karena Jakarta saat itu dikuasai tentara sekutu.

Karena Soedirman butuh penanganan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk menyelamatkannya dengan cara membuat satu paru-parunya tak berfungsi.

Komplikasinya, kata Soegiri, memang sudah sedemikian rupa, sehingga membuat dokter menempuh cara tersebut. Pasca-operasi, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan.

Sebulan menjalani perawatan di rumah sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran. Saat di rumah, Soedirman pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin merokok. Perilaku ini, lagi-lagi justru memperburuk kesehatannya. Soedirman pernah muntah darah. Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur.

Firasat

Hari itu, kepada istrinya, Soedirman berkata memiliki firasat Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti: Belanda membombardir Yogyakarta, yang saat itu Ibu Kota Indonesia. Ia pun memilih mengakhiri cutinya.

Dengan diusung tandu, Jenderal Besar itu bak tengah berjuang melawan dua musuh. Pada satu sisi, dia melawan Belanda. Dia juga melawan penyakit paru-paru yang tak henti menggerogoti organ pernafasannya itu.

Hampir delapan bulan Soedirman keluar masuk hutan memimpin gerilya dari luar Yogyakarta. Pernah ia tidak makan selama lima hari. Dengan perut kosong, Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit.

Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari Solo. Rika, suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat bersama tokoh kebanggaan Muhammadiyah ini.

Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama samaran: Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang naskahnya kini tersimpan di Museum Sasmitaloka. Soedirman memakai nama samaran supaya keberadaannya tidak diketahui Belanda. Beberapa minggu kemudian dia kembali ke rumah.

 

4 dari 4 halaman

Dipisahkan Maut

Seolah-olah mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya.

Dia memberi wejangan kepada istri dan anak-anaknya. Sesekali, Soedirman juga mengajak mereka bergurau.

Saat itu, dia mengatakan ingin hidup seperti Lurah Pakis, kenalannya. Lurah itu hidup sampai tua dan bisa meminang cucu.

Pada Senin, 29 Januari 1950, kondisi tubuh Jenderal Soedirman semakin lemah.

Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar. Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dicintainya itu menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat.

Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun.

Esok harinya, ribuan orang ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari itu hujan turun lebat mengguyur Kota Yogyakarta. Tembakan salvo satu regu tentara di pemakaman Semaki mengantar Jenderal Besar itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Dia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada 1997, dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal saja di negeri ini sampai sekarang.