Liputan6.com, Jakarta - Leman mengaku tidak rela jika harus melepas sang adik belajar tatap muka di sekolah, di tengah ancaman virus covid-19. Kendati seluruh guru sudah divaksinasi covid-19, ia tetap sanksi sekolah akan bebas dari keganasan virus tersebut.
"Saya enggak siap, kan efikasi vaksin kita juga katanya cuman 60 persen. Jadi kalau pun guru divaksin, tapi tetap masih ada potensi penularan," kata Leman kepada Liputan6.com, Selasa 2 Maret 2021 lalu.
Dia menganggap, penularan virus covid-19 yang masih tinggi saat ini tak aman bagi adiknya yang masih duduk di kelas lima SD untuk pergi ke sekolah. Dirinya baru akan mengizinkan belajar tatap muka bila tren kasus covid-19 terus menurun signifikan.
Advertisement
"Ya kalau sudah amanlah boleh dibuka, kalau yang tertular sudah banyak menurun," terang Leman.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menargetkan pembukaan sekolah tatap muka akan berlangsung pada Juli 2021. Karenanya, vaksinasi covid-19 terhadap para guru, dosen, tenaga kependidikan digenjot agar bisa rampung pada Juni 2021. Sehingga pada bulan berikutnya, kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat terlaksana.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyambut positif target pemerintah membuka sekolah pada Juli 2021. Namun begitu, Ia mengingatkan agar tetap waspada dalam menerapkan kebijakan itu.
"Tetap harus berhati-hati dengan berkoordinasi secara efektif dengan Pemda dan Satgas covid-19 setempat," kata Unifah saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (8/3/2021).
Dia mengungkapkan, pembelajaran tatap muka di sekolah bukan hanya berkutat pada penerapan protokol kesehatan ketat semata. Namun lebih dari itu. Dia menyebut, harus ada skenario yang diterapkan saat belajar tatap muka berlangsung.
"Sebenarnya yang belum kita (lihat) persiapan dari pemerintah, dalam hal kemendikbud itu skenario untuk pembukaan sekolah pada bulan Juli. Jadi enggak bisa kita mengatakan diserahkan ke daerah, itu enggak bisa," terang dia.
"Harus ada guideline. Skenario 1,2 dan 3. Saya belum melihat ada skenario serius. Semuanya diserahkan kepada daerah yang memutuskan," imbuh dia.
Unifah menungkapkan, alasan wajib adanya skenario dalam penerapan sekolah tatap muka ini. Menurutnya, dunia pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Ada faktor lain yang saling terkait erat sehingga diperlukan langkah yang komprehensif.
Dia mengungkapkan, ada tiga komponen besar yang harus disiapkan dalam kebijakan pembelajaran tatap muka. Yang pertama, persoalan kesehatan. Dalam hal ini, Pemerintah harus melibatkan para ahli untuk merumuskan kebijakan tersebut.
"Otoritas yang mengerti keputusan terkait dengan bagaimana kalau ditemui (kasus covid-19), langkah-langkah apa saja yang diambil untuk mencegah agar tidak menjadi klaster baru. Itu kan berarti ada soal edukasi dan tersedianya sarana prasarana pencegahan covid-19," jelas dia.
Selanjutnya soal akademik. Unifah mengungkapkan, Kemendikbud juga harus merumuskan kurikulum yang tepat saat belajar tatap muka berlangsung. Kurikulum ini tentu berbeda saat dalam kondisi normal.
"Kurikulum apa, berapa lama yang harus diajarkan. Bolehkah ada esktra kurikuler. Kalau yang akademik yang sederhananya berapa lama. Kalau misalnya cukup 3 jam, kurikulumnya disederhanakan. Bukan diserahkan begitua saja ke sekolah," ujar dia.
Komponen ketiga yaitu tata kelola. Unifah mengungkapkan, dalam kondisi pandemi covid-19 ini, pemerintah harus merumuskan lamanya proses pembelajaran tatap muka di sekolah. Durasi itu tentu berbeda dari biasanya.
"Tak mungkin enam jam, anak-anak perlu tiga jam, tak perlu istrahat. Itu semuanya yang disebut skenario, itu yang harus disiapkan," kata dia.
Unifah menyanyangkan sikap Kemendikbud yang enggan menggandeng pihak lain dalam merumuskan skenario ini. Menurutnya, komunikasi kepada para ahli di bidangnya diperlukan agar proses belajar tatap muka berjalan dengan baik.
"Bukan hanya PGRI saya kira, soal komunikasi ini problem berat di Kemendikbud. Jadi merasa bisa sendiri, padahal nggak bisa. Kalau PGRI dianggap kurang, orang-orang yang mengerti kesehatan lah. Sama-sama membuat skenario," kata dia.
Dampak dari tidak adanya skenario ini, kata Unifah, kegiatan akan berlangsung seperti kondisi normal. Padahal, saat ini keadaannya extraordinary.
"Akibatnya, kita mengerjakan sesuatu sebagaimana biasa. Padahal kita tidak tahu ini kan bukan dalam keadaan biasa. Harus disiapkan model antisipasi yang riil. Bagaimana menghadapi ini, atau mencegah lah lebih tepatnya," kata dia.
"Tapi kalau kita tidak punya rencana kapan (sekolah) dibuka, kasian juga. Jadi itu seperti si buah malakama, yang terpenting, kita membuat skenario untuk mengantisipasinya," imbuh Unifah.
Kemendikbud irit bicara saat diminta konfirmasinya terkait persiapan sekolah tatap muka 2021. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Kemendikbud, Hendarman juga belum dapat memastikan rencana itu bakal diterapkan tengah tahun.
"Jika vaksinasi bagi PTK (Pendidik dan Tenaga Kependidikan) berjalan lancar dan seluruh PTK mengikuti vaksinasi, Kemendikbud berharap, semester ganjil tahun ajaran dan tahun akademik 2021/2022 dunia pendidikan dapat berangsur normal," kata Hendarman kepada Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tidak Dipukul Rata
Belajar tatap muka yang ditargetkan berlangsung pada Juli 2021 mendapat sokongan dari Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) Kecamatan Makassar, Jakarta Timur. Ada 49 sekolah Taman Kanak-kanak yang berada dalam naungan organisasi IGTKI tersebut.
Namun demikian, rencana ini harus dilihat kembali perkembangan dari tren wabah tersebut.
"Kalau ada kebijakan pemerintah bulan Juli boleh masuk sekolah, artinya pemerintah punya pandangan tersendiri dengan covid-19 itu sudah mereda atau zonanya sudah tidak merah," kata Marjilah, Ketua IGTKI Makasar, Jaktim saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
Dia mengungkapkan, dirinya pernah menyebar angket kepada orangtua murid tentang belajar tatap muka. Angket dikeluarkan ketika pembelajaran itu direncanakan berlangsung pada semester dua lalu.
"Hasilnya lebih banyak yang mendukung kalau zonanya ada di lingkungan sekolah dan kondisinya aman, tapi ada (juga yang minta) masih PJJ saja. Namun dari angket yang disebarkan waktu itu mendukung dengan protokol kesehatan," ucap dia.
"Orang tua murid sejauh ini, andai pemerintah sudah mengizinkan, mayoritas mereka bersedia," imbuh Marjilah.
Sementara itu Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengungkapkan, penerapan sekolah tatap muka dapat diberlakukan berdasarkan kondisi di daerah masing-masing. Karena setiap daerah memiliki persoalan berbeda.
"Kebijakan tatap muka tidak bisa dilakukan secara pukul rata, melainkan harus dilihat bagaimana situasi dan kondisi penyebaran covid di daerah. Jadi memang harus lebih detail, hati-hati sesuai situasi dan kondisi yang ada di daerahnya," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
Berdasarkan SKB 4 Menteri, penentuan pembukaan sekolah tatap muka diserahkan kepada daerah. Kepala daerah dapat menentukkan dibuka secara barengan atau bertahap atau mulai dari sekolah tertentu.
"Jadi lebih baik percayakan kepada kepala daerah yang memahami situasi tetapi juga dengan satgas covid di daerah situ. Lalu kemudian ada pertimbangan satgas nasional, sehingga data-data benar," jelas dia.
Artinya, lanjut Doni, pemerintah daerah harus memperoleh pertimbangan dari banyak pihak, termasuk kesiapan tenaga kesehatan, faskes ketika ada kasus, lalu asesmen awal ketika dimintakan SKB 4 Menteri harus ada.
"Kesiapan sekolah, sarana prasarana, komunikasi dengan komite sekolah, persetujuan dari orangtua tetap berlaku," ucap dia.
Terkait risiko, dia menilai dapat dilihat dari daerahnya. Masing-masing wilayah bisa menerapkan sesuai tingkat zonasi penyebaran covid-19.
"Pelaksanaan pembelajaran juga tidak bisa seperti dulu lagi, kalau jumlah satu kelas 30 murid, nanti enggak bisa lagi seperti itu. Harus bergantian on-off ada yang belajar di rumah, ada yang belajar di sekolah. Bergantian karena ruangnya enggak cukup," terang Doni.
Untuk itu, agar disokong penuh oleh orangtua siswa, penanganan pandemi covid-19 harus ditangani secara serius oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bila tidak, jangan harap orang tua memberikan izin berangkat ke sekolah.
"Enggak serius atasi covid, orang tua tidak akan izinkan anak sekolah. Di Jakarta kalau sekolah dibolehkan, orangtua mungkin belum mau anaknya sekolah. Karena ada kaitan trasportasi, gurunya, dan harus ada asesmen, pendataan," jelas dia.
Dia menilai pembelajaran tatap muka yang dipersiapkan dengan baik akan menjadi ideal. Namun karena situasi pandemi Covid-19, model ideal itu menjadi mimpi yang diinginkan.
"Daripada kita berhasulinasi, lebih baik siapkan secara nyata saat ini kondisinya seperti apa. Maka kalau PJJ belajar dari rumah, mekanisme agar efektif harus dikembangkan sekolah, pemerintah daerah terutama daerah-daerah yang kemudian koneksi internet dan jaringan enggak ada. Mereka cari cara alternatif agar semua anak Indonesia punya hak belajar," terang dia.
Doni menegaskan, pembelajaran jarak jauh dapat dimaksimalkan dalam kondisi saat ini. Karena itu bisa dilakukan dan lebih efektif.
Â
Advertisement
Masih Dinamis
Ahli kesehatan masyarakat Hermawan Saputra menilai kasus COVID-19 di Indonesia saat ini masih dinamis. Bila kasus COVID-19 belum terkendali pada Juli 2021, ia menyarankan agar rencana sekolah tatap muka ditunda.
"Selama kasus COVID-19 belum terkendali, amat riskan," kata Hermawan dihubungi Senin (8/3/2021).
Kasus COVID-19 terkendali ditandai dengan puncak kasus COVID-19 sudah melewati puncak sehingga terjadi penurunan 14 hari berturut-turut. Lalu, positivity rate juga berada di bawah lima persen.
"Kalau mau dibuka Juli, pertanyaan kita apa puncaknya di April - Mei, apa mungkin terkendali tidak? Kalau iya puncaknya April Mei, maka Juli menjadi wajar kalau diwacanakan dibuka, tapi kalau tidak, dengan berat hati musti mundur juga," ujar dia.
Hermawan juga mengatakan, pertimbangan sekolah tatap muka kembali digelar tidak hanya mengandalkan vaksinasi COVID-19 pada tenaga pendidik seperti guru dan dosen. Ambisi itu dinilainya agak berat karena vaksinasi rate saat ini baru sekitar 70 ribuan.
"Jadi masih berat, kalau vaksinasi jadi andalan ya, vaksinasi mandiri juga kan belum jelas, jadi sekarang udah Maret. Tapi ya mudah-mudahan kalau April bisa 1 juta vaksin per hari dilakukan ya masih mungkin," ucap dia.
"Belum lagi ada varian baru covid, jadi berpacu melawan covid ini luar biasa, kita akan lihat critical momentumnya di Mei, kalau terkendali mestinya Juli masih mungkin dibuka relaksasi, tapi kalau tidak, mesti dipending," terang Hermawan lagi.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini juga menyoroti usia anak didik terkait penerapan protokol kesehatan. Pada usia TK dan SD, menurutnya bakal sulit diatur untuk menerapkan protokol kesehatan.
"Kalau anak usia SD ke bawah sangat riskan, karena belum memiliki otonomi pemikiran dan sikap. Walaupun sudah diajarkan memakai masker dan mencegah berkerumun tapi mereka tetap bermain, bersendau gurau dan itu amat sulit dikendalikan," katanya.
Berbeda halnya pada anak SMA atau kuliah yang sudah bisa mengatur diri menjalankan protokol kesehatan.
Bila nanti pada Juli 2021 kasus COVID-19 sudah terkendali, bukan hanya protokol kesehatan perorangan yang perlu diperhatikan. Juga protokol ruang dan barang.
"Tidak hanya sekadar protokol kesehatan orang, tapi juga ruang dan barang. Ini dengan tata kelola fasilitas, proses disinfeksi, aliran udara ruangan," kata Hermawan.
Tentu kebijakan tiap-tiap sekolah mengenai protokol orang, ruang dan barang harus disesuaikan. Di kota misalnya apakah ruangan kelas di ruang tertutup dengan AC. Tentu beda pengelolaanya antara sekolah tanpa AC dengan jendela terbuka lebar.
Â