Sukses

Punya 'Harta Karun', Pemerintah Perlu Turunkan Biaya Produksi Listrik Panas Bumi

Politisi dari Fraksi PKS ini menyarankan sektor panas bumi belajar banyak dari PLTS yang karena perkembangan teknologi harganya terus turun.

Liputan6.com, Jakarta Untuk mendukung efisiensi teknologi dan infrastruktur, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendorong Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk penurunan biaya produksi listrik dari sumber panas bumi. Tanpa mengandalkan subsidi APBN, upaya penting ini dilakukan agar harga keekonomian listrik dari panas bumi lebih kompetitif dibanding listrik sumber energi lain.

Lewat pesan singkatnya pada Selasa (9/3), Mulyanto mengungkapkan bahwa untuk menghilangkan hambatan keekonomian harga listrik dari sumber energi panas bumi (PLTP) yang masih di atas biaya pokok pembangkitan (BPP) PLN, tidak serta-merta dilakukan dengan subsidi Pemerintah atau memberikan dana kompensasi listrik atas selisih biaya tersebut.

"Itu bukan ide menarik di tengah kondisi pandemi dimana kebijakan fiskal kita fokus untuk membeli vaksin dan biaya kesehatan masyarakat," kata Mulyanto.

Dengan kondisi fiskal sekarang ini, tambahnya, dimana defisit APBN lebih dari 5 persen dari produk domestik bruto (PDB), kurang masuk akal jika pemerintah harus dibebani dengan tambahan subsidi listrik panas bumi.

Menurutnya solusi yang menarik justru datang dari pihak industri karena berupaya menurunkan biaya capital expenditure (Capex) seperti biaya infrastruktur jalan, terutama yang bersifat sosial dan harus dibangun pengembang serta biaya eksplorasi berisiko tinggi.

Dilaporkan bahwa, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng 2 dan PLTP Patuha 2 berhasil menurunkan belanja modal mereka sebesar 20 persen. Termasuk juga biaya pengeboran yang dapat ditekan di bawah angka 7 juta dollar AS.

"Ini adalah prestasi yang layak diacungi jempol karena turunnya biaya Capex secara langsung akan menurunkan harga listrik," imbuh Mulyanto.

Untuk diketahui masalah struktural lemahnya kontribusi listrik dari sumber energi panas bumi adalah harganya yang tidak kompetitif, baik dibanding listrik dari sumber energi batubara, maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Harga listrik dari sumber batu bara atau PLTS, bisa di bawah 7 sen dollar AS per kWh, bahkan mencapai 4 sen dollar AS per kWh. Namun harga listrik dari sumber panas bumi sulit mencapai angka itu apalagi di bawahnya.

Meski demikian, Mulyanto berharap solusinya jangan sekadar potong kompas dengan minta dana kompensasi APBN, untuk menutupi selisih harga tersebut.

Politisi dari Fraksi PKS ini menyarankan sektor panas bumi belajar banyak dari PLTS yang karena perkembangan teknologi harganya terus turun.

Pada 2013 harga listrik dari sumber tenaga surya sebesar 20 sen dollar AS per kWh, lima tahun terakhir menjadi 10 sen, dan hari ini PLTS Apung di Cirata harganya 5,8 sen dollar AS per kWh. Bahkan, diinformasikan ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya 4 sen dollar AS per kWh.

"Upaya reduksi capex seperti ini harus mendapat dukungan pemerintah, agar sumber energi panas bumi yang merupakan harta karun nomor dua terbesar di dunia dengan potensi sebesar 24 giga watt (GW), setelah Amerika Serikat yang mencapai 30 GW dapat dioptimalkan. Karena sekarang ini kapasitas terpasang listrik panas bumi baru sekitar 9 persen dari potensinya," jelasnya. 

 

(*)