Sukses

Pertemuan 15 Menit Jokowi dan Amien Rais di Istana

Jokowi, kata Mahfud, menyatakan bahwa telah meminta Komnas HAM untuk bekerja dengan independen dalam mengusut kasus tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Tak banyak diketahui sebelumnya kalau Presiden Joko Widodo atau Jokowi, punya agenda bertemu tujuh anggota Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (9/3/2021) siang. Dalam pertemuan tersebut, turut hadir Amien Rais, Abdullah Hehamahua dan Marwan Batubara.

Publik baru mengetahui adanya pertemuan tersebut setelah diungkap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md dalam jumpa pers yang disiarkan lewat YouTube Sekretariat Presiden, Selasa siang.

Mahfud Md mengatakan, Jokowi terlibat pembicaraan serius dengan anggota TP3 dalam pertemuan yang digelar tak lebih dari 15 menit itu. Pembicaraan antara lain membahas upaya penegakan hukum terkait tewasnya enam laskar FPI. Mereka meminta agar kasus tersebut dibawa ke Pengadilan HAM.

"Tujuh orang yang diwakili oleh Pak Amien Rais dan Pak Marwan Batubara tadi, mereka menyatakan keyakinan telah terjadi pembunuhan 6 laskar FPI dan mereka meminta agar ini dibawa ke pengadilan HAM, karena pelanggaran HAM berat," kata Mahfud.

Jokowi, kata Mahfud, menyatakan bahwa telah meminta Komnas HAM untuk bekerja dengan independen dalam mengusut kasus tersebut. Komnas HAM pun telah menyampaikan hasil temuannya bahwa yang terjadi di Tol Cikampek KM 50 merupakan pelanggaran HAM biasa.

Mahfud menegaskan bahwa pemerintah terbuka menerima masukan terkait kasus tersebut. Namun, dia meminta anggota TP3 membawa bukti yang membenarkan peristiwa pembunuhan enam laskar FPI adalah pelanggaran HAM berat.

"Saya katakan pemerintah terbuka kalau ada bukti mana bukti pelanggaran HAM berat itu, sampaikan sekarang atau kalau ndak sampaikan menyusul kepada Presiden. Bukti, bukan keyakinan," ujarnya.

"Karena kalau keyakinan kita juga punya keyakinan sendiri-sendiri bahwa peristiwa itu dalangnya si A, si B, si C," sambung Mahfud.

Dia menyampaikan hasil investigasi Komnas HAM menyatakan bahwa yang terjadi di KM 50 adalah pelanggaran HAM biasa, bukan berat. Mahfud menjelaskan kasus itu ditetapkan pelanggaran HAM berat apabila dilakukan secara struktur dan sistematis.

"Terstruktur, sistematis, juga jelas tahap-tahapnya. (Ada) Perintah pengerjaan itu. Itu pelanggaran HAM berat. Masih menimbulkan korban yang meluas," ucapnya.

Pemerintah siap menerima apabila ada bukti-bukti yang menyatakan kasus pembunuhan enam laskar FPI adalah pelanggaran HAM berat. Bahkan, pemerintah siap mengadili pelaku sesuai ketentuan Undang-Undang.

"Kalu ada bukti itu, ada bukti itu mari bawa. kita adili secara terbuka. kita adili para pelakunya berdasar Undang-Undang nomor 26 tahun 2000," tutur Mahfud.

Selain itu, Mahfud menegaskan, Presiden Jokowi dan pemerintah tak ikut campur dalam investigasi pembunuhan emam laskar Front Pembela Islam (FPI). Menurut dia, pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus tersebut kepada Komnas HAM.

"Presiden, pemerintah sama sekali tidak ikut campur, tidak pernah minta agar Komnas HAM menyimpulkan ini, menyimpulkan itu tidak," kata Mahfud.

Dia mengatakan, sejak peristiwa tersebut meletus, masyarakat mulai mendesak agar dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut kasus penembakan enam laskar FPI itu. Sebagian masyarakat meminta TGPF dibentuk pemerintah.

Namun, ada pihak-pihak yang tak mempercayai apabila tim dibentuk pemerintah karena khawatir dengan hasil investigasi. Akhirnya, Jokowi memberikan Komnas HAM kewenangan untuk mengusut peristiwa tersebut.

"Maka waktu itu, Presiden mengumumkan sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, silakan Komnas HAM bekerja sebebas-bebasnya. Panggil siapa saja yang merasa punya pendapat dan punya bukti, yang merasa punya keyakinan panggil. Nanti sampaikan Presiden apa rekomendasinya," jelasnya.

Mahfud mengatakan, penyelidikan Komnas HAM menyebutkan peristiwa yang terjadi di Tol Cikampek KM 50 hingga menewaskan enam laskar FPI bukanlan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM menyatakan peristiwa itu hanyalah pelanggaran HAM biasa.

"Temuan Komnas HAM yang terjadi di Cikampek, Tol Cikampek KM 50 itu adalah pelanggaran HAM biasa," ujar Mahfud.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Status Tersangka Gugur

Dilanjutkan Mahfud, pihaknya menyadari banyak orang yang nyinyir terhadap penetapan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) sebagai tersangka, meski telah meninggal dunia.

"Ada tertawaan publik semula masyarakat banyak yang ngejek, nyinyir gitu kenapa kok orang mati dijadikan tersangka? Enam laskar itu kan dijadikan tersangka oleh polisi. Itu hanya konstruksi hukum dijadikan tersangka, sehari kemudian sesudah itu dinyatakan gugur perkaranya," jelas Mahfud.

Dia menjelaskan, berdasarkan konstruksi hukum yang dibangun oleh Komnas HAM, laskar FPI itu memancing aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, ada bukti mereka membawa senjata, proyektil, hingga nomor telepon orang yang memberi perintah kepada laskar FPI untuk melakukan penyerangan.

"Oleh karena sekarang 6 orang terbunuh ini yang kemudian menjadi tersangka, dicari pembunuhnya, maka dikonstruksi dulu dia tersangka karena dia memancing aparat untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa senjata," kata dia.

Kemudian, pihak kepolisian menelusuri pelaku yang menewaskan enam laskar FPI. Hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan tiga anggota Polri yang diduga sebagai pelaku penembakan.

"Sesudah ini ditemukan, konstruksi hukumnya baru 6 orang itu diumumkan oleh polisi perkaranya gugur dalam bahasa yang umum disebut SP3," ujar Mahfud.

Menurut dia, pihak kepolisian tak perlu menerbitkan SP3 terkait status tersangka enam laskar FPI. Mahfud menyebut status tersangka enam laskar FPI ini otomatis gugur karena sudah meninggal dunia.

"Itu cukup dinyatakan perkaranya gugur sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa tersangka yang sudah meninggal perkaranya gugur. Cukup, selesai. Perkaranya gugur," ucapnya.

Dia memastikan pemerintah akan terus mengusut pelaku pembunuhan enam laskar FPI. Mahfud pun meminta semua pihak yang memiliki bukti-bukti terkait kasus tersebut menyerahkannya kepada polisi, kejaksaan, atau Komnas HAM.

"Kita minta TP3 atau siapapun yang punya bukti-bukti lain kemukakan di proses persidangan itu. Sampaikan melalui Komnas HAM, kalau ragu terhadap polisi atau kejaksaan. Sampaikan di sana. Tapi kami melihat yang dari Komnas HAM itu sudah cukup lengkap," tutur Mahfud.

 

3 dari 3 halaman

Polri Keluarkan SP3

Sebelumnya, Polri memang telah menetapkan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas dalam insiden penembakan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek sebagai tersangka penyerangan anggota kepolisian.

"Sudah ditetapkan tersangka," tutur Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi, Kamis (4/2/2021).

Menurut Andi, pihaknya berkoordinasi dengan kejaksaan dalam pengusutan kasus tersebut. Yang pasti, keenam Laskar FPI itu dapat ditetapkan sebagai tersangka meski telah meninggal dunia.

"Nanti pengadilan yang putuskan bagaimana ke depan," kata Andi.

Pada hari yang sama, Kepala Bareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menyatakan akan menghentikan kasus 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas dalam insiden penembakan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

Agus menyatakan bakal mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus 6 laskar yang menjadi tersangka penyerangan terhadap anggota Polri. Penghentian penyidikan lantaran para tersangka sudah meninggal dunia.

"Ya nanti akan dihentikan, nanti kita SP3 karena tersangka meninggal dunia," ujar Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (4/3/2021).

Agus mengatakan, pihaknya menjadikan enam laskar FPI yang sudah meninggal sebagai tersangka merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum.

"Ya, kan untuk pertanggungjawaban hukumnya kan harus ada, artinya bahwa proses terhadap perbuatan awal kejadian itu tetap kita proses," kata Agus.

 

Â