Sukses

Nadiem Dianggap Salah Kaprah Bandingkan Pembukaan Sekolah dengan Negara Lain

Nadiem juga diminta membandingkan kondisi penyebaran Covid-19 terutama positivity rate di negara yang telah membuka sekolah tatap muka dengan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bersemangat untuk mempercepat pembelajaran tatap muka di sekolah pada Juli 2021 mendatang.

Dalam rapat bersama Komisi X DPR RI pada Kamis (18/3/2021), Nadiem menyebut bahwa Indonesia terlambat membuka sekolah tatap muka jika dibandingkan sejumlah negara di Asia Pasifik.

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windu Purnomo menganggap apa yang dikatakan Nadiem tak berbasis data, serta kurang tepat. Pasalnya, menurut Windu, Nadiem tak melihat secara kontekstual kondisi pandemi Covid-19 di negara-negara yang telah melakukan pembelajaran di sekolah.

"Jadi gini loh ya, jangan kemudian kita oh negara lain buka, kita juga buka. Sama kaya tetangga kita beli mobil, terus kenapa kita enggak ikut beli mobil. Mereka duitnya banyak, kalau saya sekarang beli mobil, habis duit saya. Sekarang lihat kondisinya dong," kata Windu kepada Liputan6.com, Kamis.

Windu menerangkan, mestinya Nadiem berpikir lebih dalam terkait kebijakan sekolah tatap muka. Perbandingan dengan negara lain harus dilakukan setara.

Menurut Windu, jika negara lain berani membuka pembelajaran tatap muka, maka yang perlu dipastikan berapa jumlah testing di sana. Lalu jumlah kasus positif dan kasus aktifnya. Jangan sampai hanya melihat kasus positif saja tanpa melihat jumlah testing.

Pasalnya testing akan begitu menentukan jumlah temuan kasus baru. Di mana negara dengan kasus positif rendah tak serta merta aman dari virus corona jika ternyata jumlah testingnya juga rendah.

"Jadi harus apple to apple-lah, misal mereka melakukan testing 10 ribu, kita hanya seribu, maka jumlah kasus kita harus dikalikan 10 supaya kita lihat kasus kita ini dibandingkan dengan kasus mereka besar mana. Jadi artinya harus di-adjustment dari testing sama. Itu yang disebut positivity rate," terangnya.

Mengacu pada keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Windu menerangkan bahwa ada empat jenjang risiko penularan Covid-19 dari suatu wilayah. Dari yang paling tinggi (very high risk) positivity rate-nya di atas 20 persen. Kemudian antara 5 sampai kurang dari 20 persen tergolong high incident.

Selanjutnya antara 2 sampai kurang dari 5 persen disebut moderate incident. Dan yang paling rendah adalah yang kurang dari 2 persen.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Risiko Masih Tinggi

Sementara itu, menurut Windu, positivity rate di Indonesia masih tergolong pada high incident dan very high risk.

"Nah dalam kondisi high incident kita ini berarti sangat berisiko, artinya penularan di masyarakat itu cukup tinggi. Jadi kalau mau buka pembelajaran tatap muka, itu kan bukan soal anak sekolahnya. Mereka itu kan masih anak-anak muda punya antibodi yang bagus," ucapnya.

Kata Windu, jika pun mereka tertular, mereka kemungkinan tanpa gejala. Tapi mereka bisa menulari orang-orang rentan di rumah.

Belum lagi fakta lambannya vaksinasi di Indonesia. Menurut Windu vaksinasi terhadap lansia saja masih kurang dari 1 persen.

"Bayangkan, kan itu risiko tinggi, mereka akan menulari orang di rumah kemudian itu bisa mati orang di rumah itu," ucap Windu.

Berbeda dengan negara lain. Menurut Windu, bisa saja negara yang telah membuka pembelajaran secara tatap muka memang angka positivity rate-nya sudah rendah.

"Jadi seharusnya kita sudah bisa buka-buka itu kalau sudah low incident. Jadi tinggal lihat aja daerah mana di Indonesia yang sudah low incident, yang positivity rate-nya di bawah 2 persen. Itu baru buka sekolah, enggak apa-apa," tegasnya.

Windu mengingatkan jangan asal serampangan menjadikan negara lain patron dalam pembukaan pembelajaran tatap muka tanpa melihat konteks positivity rate-nya.

"Ya lihat kondisi Covid-nya gimana dong, jadi bukan orang sebelah beli mobil saya beli mobil padahal saya enggak punya duit," katanya.

3 dari 4 halaman

Bandingkan dengan Negara Lain

Dalam rapat bersama DPR, Nadiem menyebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang terlambat membuka sekolah tatap muka, di antara 23 negara di kawasan Asia Timur dan Asia-Pasifik.

"Kita lihat 1 statistik yang cukup mengkhawatirkan saya. Dari semua 23 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Bapak, Ibu, kita, adalah 85 persen dari semua negara tersebut sudah buka sekolahnya. Kita tertinggal," ujar Nadiem di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/3/2021).

Nadiem juga mencontohkan sekolah di Amerika Serikat yang sudah terbuka atau tatap muka yakni sebanyak 40 persen, meski pandemi di sana juga belum terkendali.

"Di Amerika saja sekarang dengan kondisi COVID yang jauh lebih parah walaupun mereka vaksinasinya lumayan cepat tapi dengan kondisi COVID yang jauh lebih parah daripada kita sudah 40 persen sekolah melakukan tatap muka," ujarnya.

Oleh karena itu, ia menilai keputusan pemerintah membuka sekolah tatap muka sudah tepat. Sebab, menurutnya apabila peduli dengan anak-anak, maka pemerintah harus membuka kembali agar mereka bisa berinteraksi langsung.

“Ini benar-benar keputusan kita sebagai pembuat kebijakan dan keputusan pemerintah dan semua instansi yang peduli ke anak-anak kita, bahwa kita harus secepat mungkin mengembalikan anak untuk melakukan tatap muka,” tandasnya.

4 dari 4 halaman

10 Jurus Cegah Klaster Sekolah Tatap Muka