Sukses

DPR Sebut BI Perlu Siapkan Data Akurat UMKM Guna Pemulihan Ekonomi Nasional

BI juga diminta untuk memperbaiki sistem yang diterapkannya terkait dengan dampak kebijakan moneter yang diambil BI terutama yang bertujuan untuk relaksasi likuiditas bank umum.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia diharapkan memiliki komitmen yang tegas dalam pemulihan ekonomi nasional. Hal itu melihat fakta bahwa pandemi Covid-19 berdampak di banyak sektor dan kondisi mencerminkan beratnya kondisi ekonomi nasional Indonesia.

Hal itu disampaikan Anies dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia dan jajaran di Senayan, Jakarta, Senin (22/3).

"Persoalan-persoalan terkait dampak Covid-19 yang dirasakan masyarakat, pelaksanaan vaksinasi yang berlangsung panjang hingga tahun 2023, evaluasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020, angka kemiskinan yang tinggi dan belum pulihnya daya beli masyarakat, perlu menjadi catatan Bank Indonesia," kata Anis kepada awak media melalui keterangan tertulisnya, Rabu (24/3).

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mengingatkan BI untuk meninjau ulang pelaksanaan burden sharing yang dilakukan BI pada tahun 2020 dan bagaimana dampaknya bagi neraca keuangan.

"Seberapa kuat neraca Bank Indonesia mampu menampung Surat Berharga Negara (SBN) underlying asset? Apalagi BI masih menanggung underlying asset dari krisis ekonomi 1997-1998," imbuh Anis.

Sebagai bank sentral, BI juga diminta untuk memperbaiki sistem yang diterapkannya terkait dengan dampak kebijakan moneter yang diambil BI terutama yang bertujuan untuk relaksasi likuiditas bank umum.

Menurut pengamatan Anis, fakta yang terjadi saat ini, likuiditas bank umum relatif longgar namun tidak mendorong mereka menaikkan suku bunga kredit. Pilihannya menempatkan kembali dana mereka ke BI atau membeli SBN.

"Kalau bank umum menempatkan kembali dananya ke Bank Indonesia, artinya kebijakan BI tidak efektif mendorong fungsi intermediasi perbankan. Situasi ini harus diperbaiki," kata Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) tersebut.

Hal lain yang menjadi catatan Anis, mengenai kekuatan BI, OJK dan LPS dalam upaya menekan suku bunga kredit. Anis menyayangkan peranan regulator yang tidak terlihat. Menurutnya, peranan regulator yang terlihat hanya memberikan himbauan moral atau moral suasion perlunya melakukan suku bunga lebih rendah untuk menyambut pemulihan ekonomi.

"Semestinya regulator menjalankan peran yang lebih strategis sehingga mekanisme pergerakan suku bunga kredit tidak selalu mengikuti pasar," tegas Anis.

Legislator dapil DKI Jakarta I ini juga mendorong BI agar lebih banyak berkontribusi dalam penyediaan data UMKM yang lebih akurat. Menurutnya, ketersediaan dan akurasi data UMKM menjadi persoalan krusial sekarang ini.

Selain itu, pihaknya khawatir adanya ketertinggalan UMKM dalam go digital mengingat tidak tersedianya data yang akurat tentang UMKM. 

Mengutip data dari Kementerian Koperasi dan UKM, Anis menyampaikan bahwa UMKM yang bisa masuk go digital baru sebanyak 10 juta dari 64,2 juta unit yang ada di Indonesia.

"Kalau kita sudah masuk dalam go digital, UMKM juga masuk go digital. Tetapi bagaimana UMKM masuk go digital, sementara data yang akurat saja belum punya," jelasnya. 

 

(*)