Sukses

Tak Masuk Prolegnas, PB HMI MPO: Pemerintah dan DPR Tak Serius Revisi UU ITE

Padahal wacana revisi UU ini sendiri datang dari Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD.

Liputan6.com, Jakarta Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) menyesalkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang disahkan oleh DPR RI dalam rapat Paripurna baru-baru ini.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Komisi Media, Komunikasi dan Informatika, Dedi Ermansyah menilai pemerintah dan DPR tidak serius untuk merevisi UU tersebut. Padahal wacana revisi UU ini sendiri datang dari Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD.

"Tentu sangat disayangkan revisi UU ITE ini tidak masuk dalam 33 RUU Prolegnas Prioritas 2021. Artinya pernyataan Presiden Jokowi dan Pak Mahfud beberapa waktu lalu hanya untuk meredam situasi politik di tengah gencarnya desakan masyarakat untuk merevisi UU itu," kata Dedi Ermansyah kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/3/2021).

Menurut dia, seandainya pemerintah serius mendorong revisi UU ITE, harusnya mengirimkan surat permohonan revisi ke DPR sehingga revisi UU ini dapat diwujudkan. Kemudian RUU ini menjadi inisiatif pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Prioritas.

"Apalagi di DPR fraksinya kan mayoritas pendukung pemerintah. Kalau ada surat dari pemerintah otomatis revisi UU ITE ini akan diprioritaskan DPR. Itu artinya revisi UU itu hanya lip service belaka. Yang kita sesalkan lagi pemerintah malah menyusun pedoman penerapan UU ITE dalam suatu tindak pidana," tegas Dedi.

"UU ITE ini sudah banyak memakan korban. Pihak-pihak yang kritik pemerintah lewat media sosial kan banyak itu yang ditangkap. Terbaru di Palopo kemarin seorang jurnalis yang menjadi korban UU ini. Jadi mestinya harus segera direvisi," imbuh dia.

Padahal, lanjut mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi Politik UMJ ini, dorongan publik untuk direvisinya UU ITE sangat kuat karena dianggap memuat sejumlah pasal-pasal karet dan kerap dipakai untuk membungkam kritikan dan menekan pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Sementara itu, Ketua Umum PB HMI MPO Affandi Ismail menyoroti penegakan hukum di era pemerintahan Jokowi. Menurutnya, ada beberapa tokoh dan warga negara yang menyampaikan pendapat dan kritik kepada pemerintah justru dianggap melakukan pelanggaran hukum.

"Jadi undang-undang, khusunya ITE ini diinterpretasikan berdasarkan selera penguasa, pemerintah atau kelompok tertentu yang menjadi bagian dari kepentingan penguasa. Pemerintah cenderung mempidanakan lawan-lawan politiknya atau para oposan," tukasnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Menutup Ruang Penyalahgunaan

Affandi menyebut Surat Edaran (SE) tentang penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak memiliki kekuatan hukum seperti UU. Surat edaran itu sifatnya hanya untuk mengkonfirmasi terkait kebenaran dugaan atas perbuatan pihak terlapor. Bukan untuk membebaskan dari jeratan hukum dalam pasal karet UU ITE.

"DPR RI harusnya merevisi UU ITE khususnya pada pasal-pasal karet yang terdapat di dalam UU tersebut. UU ini harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan menutup ruang UU ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu," tegas Affandi.