Sukses

BPK: 6 Laporan Investigasi Terkait Korupsi PT Pelindo II, 2 di Antaranya Tunjukkan Negara Rugi

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkap, pihaknya telah menyelesaikan enam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigasi terkait kasus yang menyeret mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengungkap, pihaknya telah menyelesaikan enam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigasi terkait kasus yang menyeret mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino.

Menurut dia, dari enam LHP tersebut, dua di antaranya menunjukkan kerugian keuangan negara dengan angka lebih dari Rp 2 triliun.

"Dari enam LHP Investigasi itu setidak-tidaknya, dua di antaranya kerugian negaranya itu di atas Rp2 triliun," kata Ketua BPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/3/2021).

Dengan indikasi tersebut, lanjut dia, BPK sepakat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada indikasi tindakan melawan hukum pada pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.

"Sebenarnya posisinya sama (BPK) dengan KPK, kita melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum," jelas dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Menduga Kuat Ada Korupsi

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan konstruksi kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II, yang menjerat mantan Dirut PT Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino). Setelah lima tahun menjadi tersangka, RJ Lino ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi Jumat (26/3/2021) siang.

"2009, PT Pelindo II (Persero) melakukan pelelangan pengadaan 3 Unit QCC dengan spesifikasi Single Lift untuk Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukanpenunjukan langsung kepada PT BI (Barata Indonesia). Namun, penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga danspesifikasi barang tetap mengacu kepada Standar Eropa," kata Alex menjelaskan awal mula dari kasus ini saat jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jumat (26/3/2021).

Kemudian, pada 18 Januari 2010, RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) diduga melalui disposisi surat, memerintahkan FY seorang Direktur Operasi dan Teknik melakukan pemilihan langsung dengan mengundang beberapa perusahaan, seperti tiga dari China yaitu ZPMC, Wuxi, HDHM dan satu perusahaan dari Korea Selatan bernama Doosan.

Menurut Alex, pada Februari 2010, RJ Lino diduga kembali memerintahkan untuk dilakukan perubahan Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II (Persero) tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo II (Persero), dengan mencabut ketentuan Penggunaan Komponen Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.

"Perubahan itu dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri. Adapun Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II (Persero) tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan," ungkap Alex.

KPK menilai, penunjukan langsung HDHM diduga dilakukan oleh RJ Lino dengan menuliskan disposisi "GO FOR TWINLIFT" pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik. Padahal, pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan produk HDHM dan ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.

Selanjutnya, pada Maret 2010, RJ Lino diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM dan memberi disposisi kepada Saptono R Irianto yang menjabat sebagai Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha untuk melakukan kajian operasional. Diketahui, kesimpulan dari kajian itu adalah QCC Twin Lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak.

3 dari 3 halaman

Tanda Tangan Sepihak

Kesepakatan yang terjalin antara PT Pelindo II (Persero) dengan pihak HDHM, memerlukan uang muka. KPK menduga, RJ Lino menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan dengan jumlah uang muka yang dibayarkan mencapai USD 24 juta, yang dicairkan secara bertahap.

"Penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II (Persero) dengan HDHM dilakukan saat proses pelelangan masih berlangsung dan begitu pun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunanspesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai Owner Estimate (OE)," beber Alex.

Selain itu, kejanggalan diungkap KPK menemukan, pengiriman 3 unit QCC ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak dilakukan tanpa commision test yang lengkap. Padahal, commission test tersebut menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah terima barang.

Untuk diketahui, harga kontrak seluruhnya dari proyek pengadaan ini adalah USD 15,554,000. Terdiri dari USD 5,344,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Panjang, USD 4,920,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Palembang dan USD 5,290,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak.

Menurut catatan KPK yang didapat dari sorang ahli di ITB, Harga Pokok Produksi (HPP) daripada proyek tersebut seharusnya hanya sebesar USD 3,356,742 untuk QCC Pelabuhan Panjang, USD 2,996,123 untuk QCC Pelabuhan Palembang dan USD 3,314,520 untuk QCC Pelabuhan Pontianak.

"Akibat perbuatan RJ Lino ini, KPK juga telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan 3 unit QCC tersebutsebesar USD 22,828,94 sedangkan untuk pembangunan dan pengirimanbarang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian Negarayang pasti karena bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan danpengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh, sebagaimana surat BPK tertanggal20 Oktober 2020," Alex menandasi.