Liputan6.com, Jakarta Mabes Polri diserang. Pelakunya seorang perempuan berusia muda, masih 26 tahun, bernama Zakiah Aini. Entah apa yang ada di benak warga Ciracas, Jakarta Timur itu saat menodongkan senjata di kompleks yang dipenuhi para polisi, Rabu (31/3/2021) petang. Akhir cerita bisa ditebak, Zakiah tewas karena sikap nekatnya.
Selang beberapa hari sebelumnya, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, seorang perempuan muda juga tewas. Perempuan berinisial YSF yang juga berusia 26 tahun itu datang ke Gereja Katedral Makassar bersama suaminya berinisial L, Minggu (28/3/2021) pagi, dan meledakkan diri.
Ada kesamaan dari kedua peristiwa itu, yaitu pelakunya adalah perempuan dan dari kelompok milenial. Yang membedakannya, YSF teridentifikasi sebagai anggota jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sedangkan Zakiah merupakan lone wolf terorist alias melakukan aksi teror seorang diri dan merupakan inisiatif pribadi tanpa didesain oleh kelompok tertentu.
Advertisement
Lantas, apakah sosok perempuan dan milenial menjadi pola baru pelaku teroris di Indonesia? Analis Data Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Leebarty Taskarina menampik dugaan itu. Sebab, sebelumnya sudah ada preseden yang sama.
"Karena, sejak 2016, Dian Yuli Novi (ketika itu berusia 27 tahun) juga sudah memulainya ketika mau melakukan pengeboman di Istana Presiden melalui bom panci. Jadi, kejadian di Makassar dan Mabes Polri adalah hal yang ramdomly terjadi, siapa yang memiliki kemauan untuk melakukan jihad atas nama agama, atas kefanatikan teks-teks agama tertentu, kemudian membuat mereka berani melakukan hal tersebut," ujar Leebarty kepada Liputan6.com, Kamis (1/4/2021).
Karena itu, lanjut dia, keterlibatan perempuan dalam terorisme bukanlah tren baru yang terjadi saat ini. Bahkan, tahun 2010 perempuan sudah dilibatkan, khususnya mereka yang berstatus sebagai istri dari sang teroris. Namun, keterlibatan perempuan sebagai teroris dalam ikatan pernikahan tak begitu terlihat.
"Mereka mendengarkan apa kata suami mereka, dari mulai pendanaan terorisme, rekening mereka digunakan sebagai kebutuhan logistik kelompok, dan pendanaan kegiatan aktivitas teror. Itu perempuan sudah dilibatkan, tapi tidak dalam posisi eksrem seperti Dian Yulia, serta kasus di Mako Brimob dan Sibolga yang kemudian melakukan peledakan sendiri. Jadi ini (Makassar dan Mabes Polri) adalah kasus kesekian kalau menurut saya, bukan tren baru," tegas mahasiswi Doktoral Kriminologi UI ini.
Penulis buku Perempuan dan Terorisme ini mengatakan, terdapat transformasi pelibatan perempuan dalam aksi terorisme antara kelompok JI dan ISIS. Yang semula mereka terlibat secara tidak sengaja, seperti kasus Putri Munawaroh tahun 2010, di mana janda terduga teroris Hadi Susilo yang berusia 21 tahun itu menyembunyikan Noordin M Top. Ringkasnya, bentuk pelibatan perempuan di JI tidak nampak walaupun sudah dilibatkan.
"Beda dengan ISIS yang justru mengabaikan status perempuan, mengabaikan dia janda, istri atau single. ISIS menempatkan perempuan kalau mau maju ke depan silakan maju ke depan atas nama agama, jihad, itulah yang mereka jual," ujar Leebarty.
"Saya sendiri masih meneliti ini, memang ada perubahan dari involuntary menjadi voluntary. Tetapi saya berpikir, kenapa akhirnya perempuan menjadi voluntary, itu karena dia tidak memiliki ruang moderasi berpikir, moderasi bicara, moderasi literasi. Yang dia lihat kelompok acuan dia, karena kelompok lain tidak memberikan tempat," imbuh dia.
Leebarty mencontohkan, seorang perempuan yang tidak mendapatkan tempat di masyarakat, keluarga berantakan, orangtua bercerai. Ternyata kelompok lain memberikan ruang buat dia untuk berdiskusi dan mengaktualisasikan diri. Kelompok itu memberikan bacaan tentang jihad sebagai satu-satunya jalan menuju surga.
"Itu yang kemudian dia yakini sebagai satu-satunya hal yang benar karena kelompok yang normal atau masyarakat di sekelilingnya tidak menerima dia secara utuh. Tidak ada penerimaan sosial, jadi mau tak mau dia internalisasikan kulturnya adalah kelompok tersebut," jelas dia.
Sementara terkait female lone wolf terrorist, Leebarty mengatakan pada dasarnya kasus terorisme yang dilekatkan pada perempuan tak terlihat seperti yang sebenarnya, di mana mereka juga menjadi korban dari situasi dan problem struktural.
"Secara hukum betul dia adalah pelaku dan ada bukti, seperti ada senjata bersama dia, kemudian ada bom di tangannya. Kalau secara hukum itu memang sudah masuk pada tataran pidana bahwa mereka adalah pelaku. Tapi kalau dari beberapa kajian para pemerhati perempuan, sebenarnya di belakang mereka ada aktor intelektual yang merancang seolah-olah sebagai pelaku, tapi sebenarnya mereka adalah perempuan yang dikorbankan atas nama jualan para aktor intelektual itu, yaitu agama dan surga," jelas dia.
Â
Dilanjutkan Leebarty, terkait dengan pemahaman radikal yang didapat Zakiah Aini, tidak serta merta harus dimaknai ada sosok yang langsung mendoktrin dirinya. Pihak yang melakukan propaganda atau menjadi aktor intelektual bukan hanya mereka yang terlihat. Tapi mereka yang mengetik di belakang meja atau mereka yang bermain pada ranah dark web.
"Merekrut, melakukan propaganda, kemudian melatih dan mencari orang yang mau melakukan pelatihan melawan pemerintah, yang tidak setuju dengan perpolitikan pemerintah, itu yang kemudian menunjukkan bahwa lone wolf tidak akan hilang di Indonesia, bahkan di seluruh dunia sekalipun, karena propaganda yang disebarkan melalui social media itu menjamur," ujar Leebarty.
Untuk mencegah meluasnya paham radikal terhadap perempuan yang hidup dalam kesunyian itu, dia menegaskan bahwa itu adalah pekerjaan bersama, tak hanya tanggung jawab BNPT semata. Termasuk soal program deradikalisasi yang dianggap tak berhasil selama ini.
"Deradikalisasi itu tidak mengandung unsur paksaan bagi mantan napi teroris yang mau mendekati masa bebas. Apakah mau mengikuti program deradikalisasi atau tidak, itu ditawarkan. Jika mereka menolak program tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apakah perempuan boleh atau memiliki hak yang sama mengikuti program deradikalisasi? Semua mendapatkan, tapi kalau mereka katakan tidak, maka program tidak bisa jalan," pungkas Leebarty.
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan, beberapa aksi terorisme yang terjadi belakangan menunjukkan generasi milenial menjadi sasaran utama perekrutan teroris.
"Milenial kebanyakan masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh," kata Susaningtyas di Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Serangan teror Mabes Polri dilakukan oleh seorang wanita berusia 26 tahun. Demikian pula serangan bom Makassar juga dilakukan pasangan milenial yang masih berusia 26 tahun.
"Mereka adalah korban dari penetrasi ideologi kekerasan global yang masuk ke Indonesia," kata Nuning, sapaan Susaningtyas Kertopati.
Menurut Nuning, pola rekrutmen saat ini berkembang menjadi lebih terbuka dengan menggunakan ruang publik seperti sekolah, kampus, perkumpulan kegiatan-kegiatan keagamaan, dan media sosial.
"Oleh karenanya, pemerintah juga harus melibatkan milenial sebagai upaya melakukan pencegahan agar tidak ada perekrutan baru," kata Doktor Bidang Komunikasi Intelijen Unpad tersebut.
Nuning menjelaskan, dalam menganalisa kejadian terorisme harus bersifat holistik atau menyeluruh.
"Kejadian bom bunuh diri itu tentu saja sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu harus dikenali embrio terorisme di Indonesia itu apa saja," ujarnya.
Selain melibatkan milenial, pemerintah juga diharapkan melibatkan tokoh-tokoh publik.
"Rekrutmen terorisme selain dilakukan tertutup, juga ada ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan seperti di media sosial," tutup Nuning.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Masalah di Markas Polisi
Polisi dan pihak intelijen ikut menjadi sorotan usai penyerangan Mabes Polri oleh Zakiah Aini pada Rabu (31/3/2021) petang. Kriminolog FISIP Universitas Indonesia Josias Simon Runturambi , misalnya, menyayangkan lemahnya pengamanan di markas utama para polisi itu.
"Setiap lembaga itu punya prosedur keamanan dan prosedurnya berbeda-beda. Dan Mabes Polri sebagai objek vital (obvit) pasti level keamanannya lebih tinggi, apalagi mendekati pimpinan Polri," ujar Simon kepada Liputan6.com, Kamis (1/4/2021).
Dia mengatakan, dengan adanya peristiwa atau preseden sebelumnya, seperti serangan teroris di Makassar, harusnya kewaspadaan lebih ditingkatkan. Jadi, bukannya meremehkan prosedur yang ada, justru harusnya ditingkatkan.
"Cuma mungkin dalam pelaksanaanya dianggap sebagai sesuatu yang rutin, tidak ada apa-apa, padahal itu justru bisa menjadi kesempatan, jadi celah bagi pelaku kejahatan atau teroris yang kemungkinan besar sudah memperhitungkan segala sesuatunya untuk menerobos pengamanan," jelas Josias.
"Misalnya dengan kelengkapan yang dibawa, katakanlah itu hanya air soft gun. Tapi itu bisa sampai masuk ke obvit yang harusnya tidak tembus, artinya terlihat betul lemahnya prosedur keamanan yang seharusnya berlaku untuk obvit. Jadi, antara penilaian risiko dan implementasinya kurang," imbuh dia.
Yang kemudian harus dicermati, lanjut dia, bagaimana situasi yang terjadi di Mabes Polri itu bisa menjadi warning bagi kesiapsiagaan dari level bawah hingga atas.
"Dalam kasus ini memang pelaku hanya satu orang, tapi karena terjadi di objek vital, maka perhitungannya harus sesuai dengan penilaian risiko atau level ancaman. Jadi, karena dia sendirian kemudian dipikir tak mungkin bisa membobol markas poliso," Josias menandaskan.
Hal senada diungkapkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Dia menilai serangan teror Zakiah Aini menunjukkan pengamanan yang diterapkan Mabes Polri sangat lemah pada era Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.
"Para teroris ingin menunjukkan betapa lemahnya sistem keamanan Mabes Polri di era Kapolri Sigit," kata Neta dalam keteranganya, Kamis (1/4/2021).
Selain itu, Neta juga menilai para teroris ingin mencatatkan serangan langsung ke Mabes Polri kali ini menjadi pertama kali dalam sejarah di Indonesia.
"Para teroris ingin menunjukkan ke publik bahwa inilah pertama kali dalam sejarah bahwa Mabes Polri bisa diserang teroris dari dalam. Di saat Polri sedang sibuk melakukan penggerebekan ke sarang teroris di berbagai tempat justru markas besarnya malah kebobolan dari dalam," ujarnya.
Atas hal itu, Neta memandang kalau rentetan serangan teror yang di Makassar maupun Mabes Polri adalah peringatan yang perlu disikapi dengan langkah antisipasi akan adanya serangan lanjutan yang mungkin lebih besar.
"IPW menilai, baik serangan di Makassar maupun di Mabes Polri masih dalam tingkatan peringatan atau ujicoba bahwa akan ada serangan besar yang akan dilakukan bos teroris," sebutnya.
Dia juga meminta Polri mengevaluasi senjata yang digunakan pelaku sampai cara pelaku bisa masuk dan ke halaman Mabes Polri dengan melewati sejumlah penjagaan.
"Melihat mulusnya strategi serangan di Mabes Polri ini bukan mustahil kelompok teror ini sedang menyiapkan serangan baru yang lebih besar. Inilah yang perlu diantisipasi semua pihak agar rencana serangan itu bisa dipatahkan," ujarnya.
Sementara, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto membantah bila intelijen kecolongan dalam penyerangan di Mabes Polri. Menurutnya, di tempat tersebut orang memang kerap lalu lalang.
"Sebetulnya bukan kebobolan, sebab disitu orang boleh lalu lalang, boleh masuk karena itu wilayah pelayanan publik, berbeda dengan tempat-tempat yang bukan layanan publik, maka tidak bisa masuk sembarangan," katanya di Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Menurutnya, masyarakat memang bisa masuk di markas kepolisian. Sehingga, kurang tepat baginya bila intelijen disebut kalah langkah.
"Tapi kalau di markas kepolisian memang setiap orang merasa berkepentingan apa pun bisa masuk, jadi bukan berarti kecolongan, tidak," ujarnya.
Menurutnya, meski teroris tersebut sempat masuk Mabes Polri, polisi sudah melakukan tindakan terukur. Dia melihat, polisi sudah waspada saat kejadian.
"Pengejaran kan tetap dilakukan, maka kewaspadaan ditingkatkan, begitu ada sesuatu, ada pergerakan yang mencurigakan, langsung dilakukan tindakan mempersempit gerak dan tindakan terukur," dia menandaskan.
Â
Advertisement
Jalan Sunyi Zakiah Aini
Tak ada yang menduga perempuan ini nekat mendatangi Mabes Polri seorang diri dan mengacungkan senjata serta menembakkannya tanpa alasan yang jelas. Bagi polisi, tak ada jalan lain. Perempuan itu akhirnya dilumpuhkan dan tewas di tempat. Tak butuh waktu lama, sosok pelaku langsung diketahui.
Perempuan itu bernama Zakiah Aini, warga Ciracas, Jakarta Timur. Dikenal warga sebagai pribadi yang tertutup, Zakiah tinggal bersama kedua orang tuanya dan 2 saudara kandungnya. Zakiah sendiri merupakan bungsu dari 6 bersaudara.
Ketua RT di kediaman Zakiah tinggal, Kasdi mengaku jarang bertegur sapa dan bertemu dengan yang bersangkutan.
"Dia itu diam, diam banget. Jarang itu keluar rumah. Orang saya aja jarang ketemu. Namanya perawan, umur 25, 26 tahun harusnya kan bergaul biar ketemu ama laki-laki kan ya, ini enggak," tuturnya.
Kusdi mengakui selama menjadi Ketua RT tidak pernah melihat Zakiah beraktivitas keluar rumah. Dari keterangan keluarga, lanjut dia, Zakiah mulai dirasakan berubah menjadi pendiam sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Enggak ada kayaknya (temen sekolah ramai di rumahnya) nggak punya temen. Kalau saya bilang, orang dianya juga kayanya kaga mencari temen," jelasnya.
Selain itu, Zakiah juga pernah tercatat sebagai mahasiswi di Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Di laman pddikti.kemdikbud.go.id, Zakiah diketahui merupakan mahasiswa jurusan Akuntansi angkatan 2013 di Universitas Gunadarma dengan nomor induk mahasiswa 29213660.
Dalam riwayat status kuliahnya, dia terdaftar sebagai mahasiswa aktif hanya selama 3 semester dan sudah mengambil 57 SKS. Kemudian pada semester 4 (genap) tahun 2014, Zakiah Aini tercatat mengambil cuti kuliah, lalu statusnya menjadi non-aktif pada semester 5 (ganjil) tahun 2015.
Yang mengagetkan, sesaat sebelum beraksi di Mabes Polri, Zakiah masih sempat memperbarui postingan di akun media sosial Instagram miliknya.
"Di mana di dalamnya (postingan) ada bendera ISIS dan ada tulisan terkait dengan masalah bagaimana perjuangan jihad," ujar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Rabu malam.
Tak heran kalau Jenderal Listyo kemudian menegaskan bahwa Zakiah Aini diduga berafiliasi dengan ISIS.
"Dia lone wolf, ISIS, yang dibuktikan dengan postingan bersangkutan di sosial media," kata Jenderal Listyo.
Lone wolf adalah sebutan bagi mereka yang melakukan aksi teror seorang diri, yang merupakan inisiatif pribadi atau tidak didesain oleh kelompok tertentu. Pemicu mereka melakukan aksi teror bukan hanya didominasi penegakan ideologi, tetapi bisa juga dilatari persoalan pribadi atau keluarga.
Yang jelas, Zakiah paham betul akan akibat yang ditimbulkan dari aksinya di Mabes Polri pada Rabu sore yang dingin itu. Buktinya, sepucuk surat tanda perpisahan dia tulis sebelum kakinya melangkah pergi dari rumah.
Berikut isi suratnya:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Wasiat kepada orang yang saya cintai karena Allah
Wahai mamaku, maafin Zakiah yang belum pernah membalas pemberian keluarga. Mama, ayah jangan lupa senantiasa beribadah kepada Allah SWT dan jangan tinggalkan salat. Semoga Allah kumpulkan kembali keluarga di surga.
Mama, sekali lagi Zakiah minta maaf. Zakiah sayang banget sama Mama. Tapi Allah lebih menyayangi hamba-Nya, Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.
Pesan Zakiah untuk Mama dan keluarga, berhenti berhubungan dengan bank (kartu kredit) karena itu riba dan tidak diberkahi Allah. Pesan berikutnya agar Mama berhenti bekerja menjadi Dawis yang membantu kepentingan pemerintah thogut.
Pesan berikutnya untuk kaka agar rumah Cibubur jaga Dede dan mama, ibadah kepada Allah, dan tinggalkan penghasilan dari yang tidak sesuai jaran islam, serta tinggalkan kepercayaan kepada orang-orang yang mengaku mempunyai ilmu, dekati ustad/ulama, tonton kajian dakwah, tidak membanggakan kafir Ahok dan memakai hijab kak. Allah yang akan menjamin rezeki kak. Maaf ya kak, Zakiah tidak bisa membalas semua pemberian kakak...
Untuk Mba Leli agar memperingatkan Mama, jaga Mama ya Mba. Untuk Bp, jangan tinggalkan ibadah solat 5 waktu, maafin ya Mba, pe kalau ada salah lisan dan lainnya. Jaga mama, ayah, dede baik-baik.
Mama, Ayah, semua lihat di samping itu adalah tingkatkan amalan. Insya Allah dengan karunia Allah amalan jihad Zakiah akan membantu memberi syafaat kepada keluarga di akhirat. Jihad adalah tertinggi dalam islam.
Inti pesan Zakiah kepada mama dan keluarga adalah agar tidak mengikuti kegiatan pemilu. Karena orang-orang yang terpilih itu akan membuat hukum tandingan Allah bersumber Alquran-Assunah.
Demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu, berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik. Zakiah nasehatkan kepada mama dan keluarga agar semuanya selamat dari fitnah dunia yaitu demokrasi, pemilu dan tidak murtad tanpa sadar.
Sekali lagi maafkan Zakiah ma, ayah, kakak, Mba Leli, awi, Bpe, ka Effa, dede, Baim, Kevin, semuanya. Maafkan bila ada salah kata dan perbuatan. Semoga Allah kumpulkan kembali di surga-Nya
Amiinn...