Sukses

Rakyat Papua Menuntut Pelurusan Sejarah

Rakyat Papua menghendaki pelurusan sejarah peristiwa 1 Desember. Kalau pun ada perbedaan, semuanya dapat diselesaikan melalui dialog.

Liputan6.com, Jakarta: Tepat 39 tahun sudah, rakyat Irianjaya terlepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tetapi, 1 Desember juga menjadi pemicu perpecahan di Bumi Cendrawasih. Pasalnya, sebagian rakyat di provinsi paling Timur Indonesia merayakan hari tersebut sebagai saat bersejarah ketika Irian Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara banyak juga warga di daerah yang bertetangga dengan negara Papua Nugini itu, yang mengklaim hari yang sama sebagai proklamasi kemerdekaan Papua Barat.

Untuk mengetahui persoalan sebenarnya, Rosiana Silalahi membahas masalah tersebut dengan anggota Dewan Presidium Papua Willy Mandowen dalam telewicara Liputan 6, Jumat (1/12) siang. Menurut Willy, manifesto kemerdekaan tak perlu dibacakan dalam acara peringatan 1 Desember. Sebab, Ketua Presidium Theys Eluay telah mengamanatkan, karena kemerdekaan dinyatakan 1 Desember 1961, tidak perlu lagi diproklamsikan ulang. "Yang diperlukan adalah suatu dialog pelurusan sejarah ke depan (dari) aspek hukum, sejarah, dan politik yang dikaji secara jujur antara pemerintah dengan rakyat Papua sehingga masalah ini, menjadi jelas untuk semua," kata dia menandaskan.

Versi Willy, pada 1 Desember 1961 pernah ada suatu manifesto yang menyinggung tentang atribut bendera, tanah Papua Barat, dan lagu kebangsaan, termasuk juga persiapan ke depan untuk suatu kemerdekaan Papua. Namun kajian sejarah Kongres Papau Juni silam menyebutkan, hak politik penentukan nasib sendiri itu telah dicaplok secara paksa dengan adanya Operasi Tri Komando Rakyat. Pada saat ini, tambah dia ada dua bendera yang berkibar di sana. Bendera Merah Putih melambangkan bahwa masyarakat Papua masih sadar berada dalam negara Indonesia. Pada saat bersamaan, berkibar Bintang Fajar yang menghendaki suatu dialog pelurusan sejarah.

Memang, dia mengakui ada perbedaan penafsiran pada peristiwa 1 Desember. Di mata Willy, itu sah-sah saja. Karena itu, semuanya harus kembali disatukan dalam acuan dialog yang jelas dengan melepaskan perbedaan-perbedaan untuk mencari akar persoalan sesunguhnya. "Sehingga kita tidak tefokus dan terbius pada sebuah bendera," tambah dia.

Dia mengaku hingga saat ini, belum tahu pasti arah pelurusan sejarah tersebut bakal berujung. Namun, dari hasil Kongres Papua disebutkan, jika hasil pembedahan sejarah membuktikan bahwa memang secara sosial, budaya, politik, sejarah, dan hukum Papua bagian dari Indonesia, mereka akan menerima itu dengan wajar. "Tetapi, kalau kajian itu menunjukkan bahwa ada suatu pemaksaan, pelanggarah hak, policy baik dari aspek politik, sejarah maupun sosial budaya, maka pemerintah harus dengan sadar dan jujur mau memberi peluang untuk dialog di tingkat internasional," kata dia menegaskan.(TNA)