Liputan6.com, Jakarta - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 turut menanggapi kebijakan pemerintah terkait larangan mudik Lebaran pada 6 hingga 17 Mei 2021.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito kembali mengingatkan larangan mudik Lebaran dibuat demi mencegah penyebaran infeksi virus Corona.
"Kalau memaksakan mudik berarti kan timbul mobilitas. Akibatnya pasti ditanggung oleh seluruh masyarakat yaitu potensi kenaikan penularan, yang otomatis peningkatan kasus," ujar Wiku dalam dialog virtual.
Advertisement
Menurut Wiku, peningkatan tidak hanya terjadi pada kasus positif. Menurut dia, dampaknya juga terjadi pada individu tertentu seperti lansia dan orang dengan komorbid, yakni ancaman pada nyawa.
Selain itu, menurut Wiku, apabila masyarakat tetap nekad mudik, maka mereka yang tiba di tujuan akan menjalani karantina.
"Jadi apa gunanya kita datang terus akhirnya dikarantina di fasilitas publik milik pemerintah daerah atau di hotel-hotel atas biaya sendiri. Jadi tidak ketemu juga," kata dia.
Berikut sederet pernyataan Satgas Covid-19 terkait dengan larangan mudik Lebaran 2021 dihimpun Liputan6.com:
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Berdampak Peningkatan Kasus
Pemerintah telah resmi melarang masyarakat untuk melakukan mudik tahun ini. Satgas Penanganan Covid-19 kembali mengingatkan bahwa hal ini dilakukan demi mencegah penyebaran infeksi virus corona.
Wiku Adisasmito, Juru Bicara dan Koordinator Tim Pakar Satgas Covid-19 mengatakan bahwa kebijakan larangan mudik ini diambil berdasarkan pengalaman terjadinya lonjakan kasus setiap selesai liburan panjang.
"Kalau memaksakan mudik berarti kan timbul mobilitas. Akibatnya pasti ditanggung oleh seluruh masyarakat yaitu potensi kenaikan penularan, yang otomatis peningkatan kasus," ujarnya dalam dialog virtual, Jumat, 9 April 2021.
Â
Advertisement
2. Bisa Mengancam Nyawa
Wiku mengatakan, peningkatan kasus tidak hanya terjadi pada kasus positif. Ia menjelaskan bahwa dampak dari hal tersebut pada individu tertentu seperti lansia dan orang dengan komorbid, adalah ancaman pada nyawa.
"Jadi itu adalah konsekuensi publik yang harus kita tanggung. Itulah kita katakan jangan melakukan publik," kata Wiku.
"Jadi jangan dilihat dari perspektif kalau tidak boleh mudik harus lewat mana cara saya supaya bisa sampai tempat tujuan. Bukan itu. Harus diingat bahwa ini dalam rangka mencegah terjadinya penularan," sambung dia.
Wiku mengungkapkan, di Libur Idul Fitri tahun lalu, kenaikan kasus bisa mencapai 68 sampai 93 persen. Sementara usai libur Hari Raya Kemerdekaan, lonjakan bisa mencapai 119 persen.
"Jangan sampai sudah satu tahun kita belajar, nanti kita masih mengulangi hal yang sama. Bukan cuma sekadar mengulangi, kembali lagi saya ingatkan itu harganya nyawa. Itulah yang harus kita hindari," kata Wiku.
Â
3. Nekat Mudik, Dikarantina di Tempat Tujuan
Apabila nekat tetap mudik, Satgas Penanganan Covid-19 mengungkapkan bahwa mereka yang tiba di tujuan akan menjalani karantina.
"Yang jelas kalau memaksakan pulang, di tempat tujuan sudah menunggu posko yang isinya masyarakat juga," kata Wiku.
Wiku mengatakan, apabila masyarakat yang nekat mudik tiba di tempat tujuannya, ia pun harus menjalani karantina selama lima hari.
"Jadi apa gunanya kita datang terus akhirnya dikarantina di fasilitas publik milik pemerintah daerah atau di hotel-hotel atas biaya sendiri. Jadi tidak ketemu juga," kata dia.
Dia mengatakan, karantina bukan untuk mempersulit pemudik bertemu dengan keluarganya. Namun, ia mengingatkan bahwa orang yang tiba di daerah asalnya dan membawa virus Covid-19, belum tentu memiliki gejala penyakit.
"Orang yang datang belum tentu dia punya gejala, ternyata setelah sampai tujuan baru mulai bergejala atau belum bergejala sudah menulari. Maka dari itu perlu dikarantina," pungkas Wiku.
Â
(Cinta Islamiwati)
Advertisement