Sukses

ICJR: Prinsip Fair Trial Indonesia Selama Pandemi Masih Perlu Diperbaiki

Kondisi pandemi dapat menjadi momentum untuk menyusun ulang peradilan pidana yang lebih menghormati pemenuhan hak atas fair trial.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merilis laporan penilaian penerapan peradilan fair trial di Indonesia selama pandemi Covid-19. Hasilnya, skor penerapan fair trial hanya 55,31 dari target 100.

“Pemenuhan prinsip fair trial di Indonesia pada masa pandemi ini masih berada di tengah-tengah,” kata Peneliti ICJR, Iftitahsari, Kamis (15/4/2021).

Iftitahsari menyebut skor tersebut menunjukkan masih diperlukan banyak perbaikan dari peradilan. Ia menjelaskan bahwa penilaian terdiri dari empat aspek.

“Pertama, dampak pandemi Covid-19 pada pelaksanaan fungsi pengadilan dengan bobot 20 persen. Kedua, kebijakan pada masa pandemi Covid-19 yang berdampak pada pemidanaan dengan bobot 20 persen,” katanya.

Ketiga, dampak pandemi Covid-19 dalam pelaksanaan hak atas pembelaan di fase penyidikan dengan bobot 30 persen. Keempat, dampak Covid-19 pada orang yang ditahan dengan bobot 30 persen.

Adapun rekomendasi ICJR terkait fair trial antara lain adalah kondisi pandemi dapat menjadi momentum untuk menyusun ulang peradilan pidana yang lebih menghormati pemenuhan hak atas fair trial.

“Kepada pembentuk undang-undang, diperlukan perbaikan perangkat regulasi, terutama KUHAP. Pengaturan KUHAP yang tidak mengenal situasi bencana menyebabkan institusi merespons dengan peraturan internal. Namun, perlu diperhatikan, bahwa KUHAP masih menyebabkan beberapa persoalan dalam praktik sehingga peraturan internal tidak sanggup untuk menutup kekurangan KUHAP. Selain itu, peraturan internal yang disusun juga memuat dampak terhadap pemenuhan fair trial,” jelasnya.

 

Saksikan Video Terkait di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Rekomendasi untuk Penegak Hukum

Sementara rekomendasi bagi penegak hukum dan pengadilan adalah diperlukan perbaikan fasilitas peradilan pidana. Beberapa fasilitas, seperti jaringan internet, kamera, dan piranti suara masih dianggap sebagai persoalan teknis.

Adapun dalam penelitian ini melibatkan16 ahli yang yakni advokat, akademisi, jurnalis, pembentuk Undang-Undang (UU), hakim hingga polisi. Di antaranya advokat Luhut Marihot Parulian Pangaribuan, hakim Guntoro Eka Sakti, akademisi Anugerah Rizki Akbari, polisi Ema Rahmawati, pembentuk UU Arsul Sani dan jurnalis Andry Haryanto.