Sukses

Rasa Penasaran RA Kartini Lahirkan Alquran Terjemahan Pertama Kali di Indonesia

Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, RA Kartini menjelma menjadi sosok inisiator emansipasi wanita yang namanya dikenang sepanjang masa.

Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tidak mengenal RA Kartini, sosok perempuan penuh inspirasi yang namanya menjadi pahlawan bagi perjuangan perempuan di Indonesia.

Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, RA Kartini menjelma menjadi sosok inisiator emansipasi wanita yang namanya dikenang sepanjang masa.

Kartini merupakan sosok yang lahir dalam trah bangsawan. Ia mendapat gelar RA yang merupakan singkatan dari Raden Ajeng.

Namun setelah menikah, sesuai dengan tuntunan adat Jawa kepanjangan dari gelar RA tersebut berubah menjadi Raden Ayu.

Karena kisah perjuangannya yang fenomenal dan sangat menginspirasi bangsa Indonesia, hari kelahirannya selalu diperingati sebagai “Hari Kartini” setiap 21 April.

Peringatan tersebut juga sebagai pengingat terhadap generasi selanjutnya bahwa sosok Kartini yang telah ikut berjuang bagi rakyat Indonesia, terutama kaum wanita agar bisa lebih maju dan bersaing dengan bangsa lainnya patut diteladani dan diteruskan oleh generasi muda.

Semangat juangnya terus mengalir sampai kepada generasi saat ini, terutama kaum perempuan. Bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” seolah benar menerangkan bahwa nilai-nilai yang dipegang teguh Kartini membawa kebaharuan ilmu pengetahuan untuk perkembangan zaman.

Seperti pada rasa ingin tahunya yang tinggi membuat adanya titik cerah umat Islam di tanah Jawa dapat belajar makna dari kitab suci Alquran.

Pada zaman Kartini, Alquran belum seperti sekarang yang telah dapat diterjemahkan dan tersebar secara massal di Tanah Air.

Kala itu, tak banyak orang yang paham akan makna ayat-ayat dalam kitab suci umat islam tersebut. Hal itu menimbulkan kegelisahan batin seorang perempuan priyayi Jawa, RA Kartini.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Miliki Rasa Penasaran, Curhat pada Sahabat Pena

RA Kartini memang dikenal sebagai perempuan yang kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dia dilahirkan di keluarga ningrat yang memegang kukuh tata nilai adat Jawa.

Sang ayah, RM Sosroningrat adalah Bupati Jepara yang terhormat. Sementara ibunya, Ngasirah, berasal dari masyarakat biasa.

Dalam tata nilai adat Jawa, rasa penasarannya itu adalah bukan hal yang lumrah, terlebih Kartini adalah seorang perempuan.

Perempuan yang kini bergelar pahlawan nasional itu makin gelisah lantaran para ulama pada zamannya melarang umat Islam untuk mendiskusikan perkara agama dengan non-muslim.

Namun, yang bisa dilakukannya kala itu hanyalah menuliskan curahan hati kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar.

Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang.

"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?" tulis Kartini dalam suratnya, seperti Liputan6.com kutip.

"Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?" tulis RA Kartini kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar.

Meski sudah mencurahkan isi hatinya kepada Stella, kegelisahan Kartini atas keputusan ulama yang melarang penerjemahan Alquran tetap berlanjut sampai beberapa tahun kemudian.

Sampai kartini mengirim surat kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon.

Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu, Kartini menuliskan, tak mau lagi mempelajari Alquran.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya," tulis dia.

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," kata Kartini.

 

3 dari 4 halaman

Kisah Berpikir Kritisnya Kartini dan Bertemu Ulama Masyhur

Keresahan yang selama ini terpendam dalam pikiran Kartini kini menemui muaranya. Dia dipertemukan dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat.

Alkisah, keduanya bertemu dalam pengajian di rumah Bupati Demak yakni Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini.

Dengan seksama Kartini memperhatikan ketika Kiai Sholeh memberikan penjelasan terhadap tafsir surat Al Fatihah, yang merupakan surat pembuka dalam kitab suci Alquran.

Mendengar penjelasan tersebut hati Kartini tergetar setelah mengetahui apa yang ia dengar dari Kiai tentang isi dari tafsir yang terkandung dalam surat Al Fatihah.

Kisah ini dituturkan oleh cucu dari mendiang Kiai Sholeh, yang bernama Fadhila Sholeh. Fadhilah menjukkan melalui tulisan dalam bentuk selebaran yang terdapat di makam Kiai Sholeh di daerah Semarang.

"Kartini memang tak pernah tahu apa arti dan makna dari surat Al Fatihah meski ia sering membacanya. Kartini benar-benar terpukau dan tersedot perhatiannya," tutur Fadhila dalam tulisannya.

Kisah ini berlanjut begitu pengajian usai, Kartini segera menemui pamannya. Ia menyampaikan keinginan bertemu Kiai Sholeh untuk berguru. Bahkan Kartini mendesak pamannya untuk menemani dirinya untuk menemui sang ulama. Hal tersebut lantaran keingintahuan Kartini yang begitu besar.

Seketika Pamannya menyanggupi dan menuruti untuk mengantar Kartini ke rumah sang Kiai. Pamannya begitu terenyuh melihat Kartini yang begitu besar rasa ingin belajarnya terhadap agama.

Mereka berdua akhirnya sampai ke kediaman Kiai dan terjadilah dialog yang menyadarkan sang Ulama terhadap pentingnya terjemahan Al Quran sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh umat islam di Indonesia.

"Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" tutur Kartini membuka dialog dengan Kiai Sholeh Darat setelah berbasa-basi lazimnya orang Jawa.Kiai Sholeh malah balik bertanya, "Mengapa Raden Ajeng mempertanyakan hal ini? Kenapa bertanya demikian?".

Kemudian Kartini mengungkapkan kekagumannya terhadap Al Quran dan sekaligus keresahannya yang selama ini tidak sesuai dengan pola pikirnya, "Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," jawab Kartini.

Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al Fatihah. Kyai Sholeh tertegun. Kiai kharismatik itu tak kuasa menyela.

"Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?" ucap perempuan bangsawan itu.

 

4 dari 4 halaman

Lahirnya Terjemahan Pertama Alquran di Indonesia

Fadhila menuliskan, mendengar ucapan Kartini, Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali bertasbih, Subhanallah.

Perempuan bangsawan itu telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa. Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz.

Sebanyak 13 juz terjemahan itu kemudian diberikannya sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Terjemahan itu dipelajari Kartini dengan serius, hampir di setiap waktu luangnya.

Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikutnya karena Kiai Sholeh meninggal dunia sebelum bisa menyelesaikan terjemahan surat-surat lainnya.

Cerita Fadhila tentang pertemuan Kartini dan sang ulama itu dibenarkan oleh cicit Kiai Sholeh, Lukman Hakim Saktiawan. Pria yang karib disapa Gus Lukman itu menyebutkan, Kartini merupakan santri Kiai Sholeh.

"Bu Fadhilla Sholeh membuat catatan itu karena peran Kiai Sholeh Darat seakan sengaja dihilangkan dalam proses pendewasaan berpikir Kartini," kata Gus Lukman kepada Liputan6.com.

Gus Lukman menuturkan, tafsir Al Fatihah sang kiai ditulis menjadi kitab berjudul, Faid Ar Rahman. Inilah kitab tafsir Al-Qur’an perdana di Tanah Air yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.

"Apa yang ia (Kartini) tulis dalam Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht) itu pasti dipengaruhi oleh guru yang sangat ia hormati selama mengaji Alquran," tutur dia.

"Besar kemungkinan, Kartini menemukan susunan kata legendaris tersebut dalam pengajian Faid Ar-Rahman bersama Kiai Sholeh. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari Alquran, minazzulumati ilan nur (dari kegelapan menuju cahaya) (QS Ibrahim [14]: 1)," ucap Gus Lukman.

 

(Dinda Permata - Syauyiid Alamsyah)