Liputan6.com, Bandung Kecelakaan pada moda transportasi air, sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) yang masih berulang kali terjadi di Indonesia menjadi perhatian serius pemerintah. Terbaru adalah sebuah kecelakaan terbaliknya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Bili yang beroperasi di Dermaga Perigi Piai, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar) pada tanggal 20 Februari 2021 lalu. Kapal ferry penyeberangan yang menghubungkan Tebas dengan Tekarang tiba-tiba terguling ke laut.
Untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menggelar sebuah rapat koordinasi dengan mengundang 11 kementerian dan lembaga terkait di Bandung, Jawa Barat pada Hari Jumat (16/4).
Advertisement
“Kami ingin melalui diskusi ini dapat dipahami secara mendalam kronologis kecelakaan, penyebab kecelakaan, bagaimana dampak kecelakaan, sehingga kita dapat merumuskan langkah sebagai upaya tindak lanjut kecelakaan dan perumusan rekomendasinya,” ujar Asisten Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Nanang Widiyatmojo saat membuka rakor yang digelar secara daring dan luring tersebut.
Dia berharap dari hasil diskusi dan rekomendasi dalam rakor tersebut dapat meningkatkan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim. “Agar kecelakaan serupa tidak terulang kembali,” tegasnya.
Diapun menyebutkan, penyebab kecelakaan KMP Billi yang berpenumpang 73 orang masih dalam investigasi KNKT.
“Terakhir dugaan sementara adalah adanya arus deras yang menghantam dari samping sehingga air masuk dari kanan ketika bersandar dari pelabuhan. Pintu rampa tidak tertutup rapat, kelebihan beban,” tambah Asdep Nanang.
Turut diundang dalam rakor tersebut, pejabat terkait dari Kementerian Perhubungan, Bappenas, Setkab, KLHK, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Basarnas, BMKG, PT ASDP, BKI, Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XIV Provinsi Kalimantan Barat, dan Dinas Perhubungan Kabupaten Sambas.
Tidak Adanya Manifest Jumlah Penumpang
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua KNKT Haryo Satmiko membeberkan beberapa temuan timnya. Salah satunya adalah tidak adanya manifest jumlah penumpang, serta saat kapal berangkat kendaraan tidak diikat (lashing).
“Terdapat perbedaan jumlah lubang-lubang pembebasan air antara gambar desain dengan kondisi fisik kapal eksisting,” sambung Haryo.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Arief Budi Permana mengatakan bahwa petugas surveyor mereka telah berinisiatif untuk melakukan pencocokan freeing port kapal pada saat docking (proses pemeliharaan dan perbaikan).
“Sebenarnya petugas surveyor kami tidak ada persyaratan khusus untuk melakukan pencocokan gambar secara periodik, selama tidak terdapat modifikasi/perubahan konstruksi yang dilaporkan pemilik kapal. Tapi kami berinisiatif untuk melakukan pencocokan gambar dengan riilnya pada saat docking,” terutama untuk kapal dengan jenis Kapal Penumpang atau Ferry Ro-Ro kata Arief. Bahkan, lanjutnya, pihak BKI telah mengawasi kapal tersebut mulai dibangun sejak 1990.
Advertisement
Analisa Cuaca: Tinggi Gelombang Relatif Rendah
Kemudian, menyambung tentang kemungkinan pengaruh cuaca dan kecepatan angin terhadap insiden kecelakaan KMP Bili, Kepala Sub Bidang Manajemen Operasi Meteorologi Maritim BMKG Bayu Edo Pratama menyampaikan bahwa BMKG telah menyampaikan analisa cuaca dan angin pada saat kejadian.
"Dalam laporan tersebut disampaikan kondisi cuaca berawan dan angin berhembus dari arah Utara – Timur Laut, dan juga BMKG secara rutin telah menyampaikan prakiraan cuaca kepada stakeholder terkait dan pada hari itu (kejadian) diperkirakan jarak pandang tinggi hingga 7 km, serta tinggi gelombang relatif rendah,” jelasnya.
Jumlah Muatan yang Tidak Diketahui
Lebih jauh, dalam kesempatan yang sama, GM PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Pontianak Handoyo mengakui pada saat kejadian, tidak diketahui secara pasti berapa muatan yang masuk ke dalam kapal.
“Karakteristik penumpang sebagian besar adalah supir truk barang yang mereka sering memaksakan untuk memasukkan kendaraan ke kapal, sementara itu pihak kapal tidak bisa mengetahui secara pasti berapa jumlah muatan mereka karena tidak ada jembatan timbang,” tuturnya.
Usai memperoleh berbagai penjelasan dari para pihak terkait, Asdep Nanang meminta agar dilakukan koordinasi yang lebih intens diantara pihak terkait terutama pemerintah daerah yang memiliki kewenangan untuk membangun infrastruktur penunjang di pelabuhan. Selain itu, dia juga meminta agar ASDP memperketat SOP (Standard Operating Procedure) dan manajemen kapal pada saat akan berlayar, menyelesaikan pencatatan manifes kapal sebelum berlayar.
Terkait pencatatan manifest berdasarkan tiket, Asdep Nanang meminta agar ASDP Kalbar mulai beralih ke sistem pencatatan tiket berbasis aplikasi.
“Yang tidak kalah penting, penumpang juga harus diberikan edukasi tentang petunjuk keselamatan pelayaran dan awak kapal dilatih kompetensinya dalam menghadapi kondisi darurat,” tukasnya. Terakhir, dia meminta agar pihak KSOP (Syahbandar) selalu mengecek kondisi kapal sebelum berangkat. “Karena kapal berangkat sudah dalam kondisi miring,” pungkas Asdep Nanang.
Hasil dari diskusi ternyata diketahui bahwa faktor penyebab kecelakaan bukan dari faktor eksternal (cuaca), melainkan masalah internal (kapal, sdm, dan sarpras dermaga, serta ketaatan pada aturan).
(*)
Advertisement