Liputan6.com, Jakarta - Raden Adjeng Kartini merupakan sosok wanita pribumi yang terlahir dari kalangan bangsawan. Anak kelima dari 11 saudara ini dikenal sangat gemar membaca.Â
Pada masa remajanya, ada satu koran Semarang yang rutin dia baca yakni De Locomotief. Kartini juga kerap menerima paket majalah yang diedarkan oleh toko buku kepada para pelanggannya. Antara lain, majalah wanita Belanda dan De Hollandsche Lelie.
Kartini banyak membaca untuk "membongkar" belenggu pingitan selama 6 tahun. Â
Advertisement
Dari sanalah kemudian terbesit ide untuk membuat sebuah iklan di majalah Belanda yakni De Hollandsche Lelie. Iklan tersebut berisi pengumuman, Kartini sedang mencari seorang sahabat pena.
De Hollandsche Lelie memuat iklan yang dibuat Kartini pada edisi 15 Maret 1899, yang bertuliskan:
"Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa."
Sitisoemandari Soeroto dalam buku Kartini: Sebuah Biografi menyebutkan, kepala perempuan ningrat itu penuh dengan rasa penasaran. Kartini sangat ingin tahu bagaimana pergerakan perempuan di Eropa.
"Apakah benar seperti yang digambarkan dalam buku-buku atau majalah-majalah?" tulis Sitisoemandari yang dikutip putri Raden Mas Ario Sosroningrat itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, iklan tersebut direspons dengan baik oleh salah satu putri dari keluarga Yahudi di Amsterdam. Estelle Zeehandellar berusia lebih tua 5 tahun dari Kartini. Dia adalah seorang aktivis femini. Kartini kerap menyapanya dengan Stella.
Stella merupakan sosok idealis dan langsung merasa cocok dengan perempuan kelahiran 21 April 1897 ini. Acara berkirim surat pun terus berlanjut.Â
Pertemanan inilah yang akhirnya membuka jalan untuk Kartini muda berkenalan dengan sejumlah tokoh di Belanda.
Surat pertama yang ia berikan untuk Stella berisi cerita Kartini tentang berakhirnya masa pingitan yang menyebalkan tersebut. Kartini menulis:
"Aku mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang kuinginkan, tetapi tujuanku adalah adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus kawin..."
Kartini juga membicarakan buku-buku yang telah ia baca kepada Stella, seperti buku Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker). Ia terpukau dengan riwayat penulisan buku tersebut yang pernah menjadi asisten residen di Lebak. Namun, Kartini juga gelisah dengan penderitaan rakyat pribumi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pemikiran yang Diabadikan
Saat itu buku lain yang dibicarakan dengan Stella adalah Hilda van Suylenburg karya Goekoop-de Jong van Beek en Donk. Memiliki arti “Roman Feminis, ketika itu terbitan buku ini mengoyangkan masyarakat Belanda, menceritakan kepahitan dan penderitaan hidup seorang wanita yang menentang kekolotan…" tulis Sitisoemandari.
Konon, Kartini pernah membaca buku tersebut sampai tiga kali, dan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan buku tersebut dengan mengunci diri dalam kamar. Kisah yang ada dalam buku tersebut dinilai Kartini sangat cocok dengan keprihatinan yang ia rasakan saat itu.Â
Ia pun rajin menulis tentang dirinya sendiri dan mengutarakan pikirannya mengenai pandangan sosial politik. Hingga suatu hari, Kartini menulis surat kepada istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, JH Abendanon.Â
"Tetapi dapatkah Bunda menyangkal bahwa di samping hal-hal yang indah dan mulia dalam masyarakat Bunda terdapat banyak juga hal-hal yang sama sekali tidak patut dinamakan ‘peradaban’?"
Advertisement
Penerbitan Buku Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini tidak mengalami masa tuanya. Dia tutup usia saat menginjak 25 tahun, pada 17 September 1904 di Rembang.
Surat-surat yang dibuatnya kala itu kemudian diterbitkan menjadi buku oleh sahabat karibnya saat menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, JH Abendanon.
Diterbitkan oleh Balai Pustaka, buku tersebut berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebelumnya diberikan nama Door Duistrenis tot Licht yang artinya Dari Kegelapan Menuju Cahaya.Â
Selanjutnya diterbitkannya kembali, pada 1938. Oleh Sastrawan Pujangga Baru Armijn Pane, buku yang dibagi menjadi lima bab tersebut lalu dicetak sebanyak 11 kali.
Banyak surat-surat Kartini yang diterjemahkan dari mulai bahasa Belanda, bahasa Inggris serta dialihbahasakan oleh Agnes L Symmers. Juga pernah diterjemahkan ke bahasa Jawa dan Sunda.
Surat-surat yang menjadi buku itu kemudian menjadi lebih terbuka karena mengispirasi pikiran-pikiran Kartini saat dibaca, dipelajari.
Â
Cinta Islamiwati dan Daffa Haiqal Nurfajri