Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa membenarkan terkait adanya seorang prajurit TNI yang bergabung dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Dijelaskan Andika, prajurit TNI bernama Pratu Lukius Y Matuan, anggota Yon Infanteri 400 Raider bergabung dengan KKB, meninggalkan seluruh atribut dan senjatanya. Namun, ada sejumlah amunisi yang dibawa prajurit itu.
Kaburnya prajurit TNI itu menuai beragam tanggapan. Salah satunya dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Advertisement
Menurut Komisioner Poengky Indarti, perlu adanya pengetatan pengawasan terhadap anggota TNI-Polri.
"Yang perlu dilakukan untuk pencegahan adalah mengawasi ketat penyimpanan senjata dan amunisi," kata Poengky saat dihubungi merdeka.com, Selasa, 20 April 2021.
Selain itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pelanggaran atau pembelotan yang belakangan ini dilakukan oleh anggota TNI-Polri seperti membantu maupun bergabung dengan KKB Papua karena adanya bujuk rayu.
"Bujuk rayu dan sentimen kedaerahan yang salah kaprah," kata Neta saat dihubungi merdeka.com.
Berikut 4 tanggapan beragam pihak terkait adanya prajurit TNI yang membelot bergabung dengan KKB Papua dihimpun Liputan6.com:
Â
Kompolnas
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, perlu adanya pengetatan pengawasan terhadap anggota TNI-Polri.
Hal ini terkait dengan adanya pembelotan yang belakangan ini dilakukan oleh anggota TNI-Polri seperti membantu maupun bergabung dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
"Yang perlu dilakukan untuk pencegahan adalah mengawasi ketat penyimpanan senjata dan amunisi," kata Poengky saat dihubungi merdeka.com, Selasa, 20 April 2021.
Selain itu, untuk mencegahnya sering melakukan patroli di jalur-jalur yang menghubungkan wilayah konflik dan pasca konflik.
"Misalnya Papua dengan Aceh dan Maluku, atau jalur luar negeri misalnya Filipina Selatan dan Thailand Selatan," ucap Poengky.
Lalu, untuk mereka yang membelot ke KKB, menurutnya, dapat dikenakan sanksi pidana seperti hukuman seumur hidup selain adanya pengawasan. Hal ini dikarenakan mereka yang membelot telah berkhianat.
"Untuk efek jera, maka para pelaku harus ditangkap jika masih belum tertangkap, diproses pidana dan dijatuhi hukuman berat. Kalau PTDH kan sanksi etik. Pidana, bisa kena UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 yang ancaman hukumannya mati, seumur hidup atau 20 tahun," kata dia.
"Perlu pengawasan ketat dan sanksi tegas bagi pelanggarnya agar ada efek jera bagi pelaku dan anggota lainnya. Kalau oknum yang berani membelot ke KKB, itu motifnya memang berkhianat," sambungnya.
Sementara terkait faktor yang menjadikan anggota TNI-Polri membelot dengan membantu maupun bergabung ke KKB Papua. Karena faktor ekonomi, salah satunya yakni menjual senjata dan amunisi ke KKB.
"Motif mereka berjualan senjata dan amunisi bisa berbagai macam dan pembuktiannya di sidang pengadilan. Ada yang bermotif ekonomi dan memperoleh kesempatan untuk melakukannya," terang Poengky.
Namun, untuk kasus ekonomi itu sendiri masihlah relatif. Karena, adanya mencari pekerjaan sampingan dengan cara yang halal dan bukan menjual senjata api secara ilegal.
"Kalau soal ekonomi, itu relatif. Ada orang yang tahan menghadapi tantangan hidup, meski pendapatan kecil, tapi mereka mengupayakan lepas dinas bekerja halal untuk menambah pemasukan," ungkap dia.
"Di sisi lain ada yang tidak tahan dan tergoda melakukan tindakan melawan hukum, misalnya korupsi atau mencuri senjata dan amunisi untuk dijual secara illegal," tutup Poengky.
Â
Advertisement
IPW
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pelanggaran atau pembelotan yang belakangan ini dilakukan oleh anggota TNI-Polri seperti membantu maupun bergabung dengan KKB Papua karena adanya bujuk rayu.
"Bujuk rayu dan sentimen kedaerahan yang salah kaprah," kata Neta saat dihubungi merdeka.com.
Ia pun memberi contoh, bujuk rayu yang dimaksudnya itu yakni salah satunya bakal dianggap sebagai pahlawan jika mau bergabung bersama dengan KKB.
"Diantaranya yang bersangkutan dianggap sebagai pahlawan jika mau berjuang bersama KKB, padahal KKB adalah kelompok kriminal dan bukan patriot. Karena yang mereka bunuh adalah warga sipil yang tidak berdosa," ungkap Neta.
Menurut dia, apa yang telah dilakukan oleh anggota TNI-Polri dengan membantu maupun bergabung dengan KKB Papua telah melukai anggota lainnya dan juga bangsa Indonesia.
"Kasus ini harus menjadi pelajaran dan introspeksi bagi para elit TNI-Polri untuk terus mengingatkan para pimpinan TNI-Polri di Papua agar terus melakukan pembinaan maksimal agar para prajuritnya tidak mudah termakan bujuk rayu KKB untuk melakukan pengkhianatan," terang dia.
"Pola-pola pendekatan juga perlu dimaksimalkan oleh masing-masing pimpinan unit kepada anak buahnya agar soliditas tetap terjaga," sambung Neta.
Segala bentuk atau tindakan yang membantu KKB, papar Neta, akan membawa dampak negatif bagi TNI-Polri dan terutama masyarakat luas.
"Sebab pembelotan itu membawa ancaman baru bagi situasi keamanan di Papua. Dari pantauan IPW tidak ada fenomena khusus di balik aksi pembelotan tersebut selain hanya disebabkan oknum TNI-Polri itu terkena bujuk rayu KKB," ucap dia..
Ia pun berharap, tidak ada lagi anggota TNI-Polri yang melakukan pelanggaran dengan membantu dan bergabung bersama KKB.
"IPW meyakini bahwa oknum yang membelot nantinya akan menyesal setelah mengetahui situasi yang sebenarnya di KKB. Sebab apa yang mereka bayangkan tentang KKB tidak sesuai dengan kenyataan. Meski demikian pembelotan itu harus menjadi yang terakhir dan tidak boleh terulang," tutup Neta.
Â
ISESS
Senada dengan hal itu, Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai fenomena pelanggaran yang dilakukan baik personil TNI maupun Polri yang membelot maupun menjual senjata ke KKB turut dipengaruhi mental setiap prajurit.
"Di medan tempur, kekuatan mental prajurit tidak bisa dianggap sama rata. Fakta, kita melihat sejumlah praktik buruk penjualan senjata dan amunisi oleh oknum anggota pada kelompok yang mestinya mereka tumpas," kata Khairul.
Lalu, dia menyoroti alasan membelotnya personil TNI Pratu Lukas Y Matuan ke KKB, karena tidak tahan melihat kekerasan yang dialami oleh saudara-saudaranya warga Papua adalah kekalahan perang urat saraf antara TNI dengan KKB.
"Apa yang salah, apakah TNI kecolongan, menurut saya ini bukan kecolongan namun bentuk kekalahan dalam perang urat saraf atau psywar. Setidaknya ronde ini dimenangkan oleh lawan. Mereka dapat poin," terang Khairul.
Oleh karena itu mengartikan bahwa operasi penumpasan KKB yang selama ini dituding TNI sebagai pelaku kekerasan dan teror yang terjadi di Papua, ternyata gagal meningkatkan sentimen positif dan dukungan.
Propaganda KKB bahwa yang mereka lakukan adalah perlawanan atas penindasan, ketidakadilan, pembodohan dan merupakan perjuangan untuk membebaskan warga Papua, ternyata lebih dapat dipercayai oleh Pratu Lukius.
"Keputusan membelot itu sangat mungkin merupakan hasil pergulatan batin yang luar biasa setelah rangkaian peristiwa yang dia lihat, dia alami dan dia rasakan. Artinya? TNI dalam hal ini gagal juga membentengi mental ideologi prajuritnya," katanya.
Namun demikian, ia mengingatkan besar kecilnya peluang terjadinya pembelotan di pihak TNI ke KKB, tetap akan bergantung pada kemampuan TNI menjaga moril dan mental prajurit
"Kemampuan melakukan propaganda dan yang paling penting adalah kemampuan menghindari terjadinya praktik buruk dan kekerasan yang tidak patut (improper violence) oleh prajuritnya di medan operasi di Papua," tegas dia.
Â
Advertisement
Pengamat
Pengamat Terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Zaki Mubarak menilai bahwa fenomena pelanggaran yang belakang kerap dilakukan oleh anggota TNI-Polri dengan membantu maupun bergabung bersama KKB Papua, dilatar belakangai berbagai faktor.
Menurutnya dari sekian banyak pelanggaran yang terjadi, paling banyak adalah kasus penjualan senjata maupun amunisi oleh anggota TNI-Polri kepada KKB.
"Sejauh ini motifnya lebih ekonomi karena KKB berani membeli harga yang tinggi. Senjata ini yang menjadi bagian survival KKB," kata Zaki ketika dihubungi merdeka.com.
Pasalnya, alasan KKB menggoda para personil Polri dan TNI, karena mereka memiliki akses ke pasar gelap maupun daerah-daerah konflik, guna untuk mendapatkan senjata yang akan dipakai untuk melancarlan aksi teror.
"Ironisnya oknum polisi dan tentara yang memfasilitasi. Karena oknum ini punya akses pasar gelap dagang senjata baik dari daerah-daerah bekas konflik, selundupan dari luar negeri, maupun senjata-senjata rekondisi," terangnya.
Sementara terkait pembelotan personil TNI Pratu Lukas Y Matuan bisa disebabkan, akibat faktor kecewa atas banyaknya kekerasan pelanggaran HAM, yang dilakukan aparat-aparat TNI.
"Jadi secara moral dia ikut merasa bersalah, serta berbalik simpati kepada gerakan KKB. Tapi mungkin juga ada faktor -faktor lain seperti masih kuatnya nasionalisme etnisitas. Integrasi ke NKRI sebagai proses politik belum mampu menghapuskan nasionalisme etnisitas,"papar dia..
Terlebih, Zaki memandang pembelotan juga disebabkan kekecewaannya terhadap pendekatan pemerintah yang bersifat hard approach, dengan cara militeristik, bukan dengan cara-cara yang lebih kultural dan persuasif.
"Pendekatan damai secara budaya ini pernah dilakukan era Presiden Gus Dur dan mendapat sambutan positif dari warga Papua. Sehingga nama Gus Dur sampai hari ini sangat dihormati masyarakat Papua," ucpa dia.
Oleh karena itu, pendekatan budaya, dengan mengedepankan sisi-sisi yang humanistik, perlu lebih diprioritaskan dari pada penyelesaian dengan bersenjata yang terbukti kurang efektif.
Dia mencontohkan solusi model penyelesaian dengan GAM di Aceh yanh dapat dijadikan best practices untuk mengatasi konflik- konflik di Papua saat ini.
Â
(Syauyiid Alamsyah)
Baku Tembak TNI Vs KKB Papua
Advertisement