Liputan6.com, Jakarta - Terobosan di bidang penegakan hukum yang dilakukan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo lewat Virtual Police dalam 100 hari kinerjanya mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Teuku Nasrullah.Â
"Masukan dan kritik itu wajar dan sangat penting, tetapi kita semua jangan membangun opini yang terlalu gegabah atas program yang sedang ditempuh ini. Marilah kita berpikir positif dulu sambil menyimak dan mengkritisi perjalanannya sembari memberi masukan-masukan konstruktif untuk perbaikannya di sana-sini," tutur Nasrullah dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
Advertisement
Menurut Nasrullah, pernyataan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengatakan Virtual Polisi sebagai alat represi baru Polri di dunia digital lebih bersifat pada peringatan dini.
Tentunya, tugas Virtual Police harus dijalankan dalam frame demi terjaganya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, kritik, dan koreksi di dunia maya.
"Perbuatan melanggar hukum itu yang dulu dapat terjadi dalam kehidupan keseharian, sekarang juga terjadi, tetapi ada di dunia digital. Inilah yang negara harus peduli dan berproses untuk mengatasi masalah dalam upaya membangun ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara," jelas Nasrullah.
Ahli Digital Forensik Ruby Alamsyah mengaku masih terus memantau efektivitas Virtual Police. Berdasarkan data rekapan terakhir dari Mabes Polri, Virtual Police sudah memberikan peringatan ke 419 konten berpotensi mengandung ujaran kebencian berdasarkan SARA yang dapat melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Dari jumlah tersebut, 274 konten lolos verifikasi alias diduga melanggar UU ITE, 98 tidak lolos verifikasi, dan 47 dalam proses verifikasi.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Virtual Police Secara SOP Clear
Sementara, untuk yang lolos verifikasi, status peringatan terdiri dari 74 konten masih dalam proses peringatan, 68 konten dalam status peringatan pertama; 68 konten dalam status peringatan kedua, 27 peringatan berstatus tidak terkirim, dan 76 peringatan statusnya gagal terkirim.
"Data itu menunjukkan bahwa lebih banyak peringatan gagal terkirim. Artinya, pelaku ujaran kebencian itu ternyata akun anonim yang tidak bertanggung jawab. Setelah mereka posting ujaran tidak baik itu, mereka meninggalkan akunnya sehingga tidak bisa dihubungi oleh Virtual Police. Semoga situasi ini memberikan pemahaman, bahwa masih banyak orang tidak bertanggung jawab di dunia maya," kata Ruby.
Lebih lanjut, Virtual Police memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam memberikan peringatan. Teguran hanya ditargetkan khusus pada konten-konten yang berisi ujaran kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Mekanismenya pun dengan meminta pendapat ahli demi menghindari subjektivitas, memberikan pesan peringatan pertama, memberikan peringatan kedua, pemanggilan klarifikasi, hingga penindakan berdasarkan restorative justice.
"Saya lihat secara teknis, Virtual Police ini tidak ada yang menyalahi dari aspek teknis digital, dan secara SOP itu clear. Terlihat dari proses verifikasi konten kepada para ahli," Ruby menandaskan.
Advertisement
Beri Peringatan kepada 419 Akun
Sebelumnya, Virtual Police tercatat telah memberikan teguran dan peringatan kepada 419 akun sosial media yang dinilai telah melakukan pelanggaran UU ITE.
Pengawasan dalam dunia digital ini menjadi salah satu prioritas dalam program 100 hari pertama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dirtipid Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi menyampaikan, data tersebut terhitung sejak 23 Februari sampai dengan 3 Mei 2021.
"Sebanyak 274 konten lolos verifikasi," tutur Slamet dalam keterangannya, Sabtu (8/5/2021).
Menurut Slamet, konten sosial media yang lolos verifikasi artinya memenuhi unsur dugaan tindak pidana yakni ujaran kebencian berdasarkan SARA. Sementara dari 419 akun, ada 98 konten yang tidak lolos verifikasi alias bebas dari dugaan tindak pidana.
"47 konten masih dalam proses verifikasi," jelas dia.
Sementara itu, lanjut Slamet, platform media sosial yang paling banyak menerima teguran Virtual Police adalah Twitter dengan 215 akun, Facebook 180 akun, Instagram 14 akun, dan YouTube sembilan akun.
"Kemudian ada 47 konten dihapus, 120 diajukan untuk diblokir, dan empat lagi masih menunggu. Berdasarkan 106 peringatan yang berhasil dikirim, terdapat 49 akun yang mematuhi imbauan, 46 akun yang tidak mematuhi imbauan, 11 akun belum merespon peringatan," Slamet menandaskan.Â