Liputan6.com, Jakarta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan alasan memutakhirkan gempa yang mengguncang Nias Barat, Sumatera Utara dari magnitudo 7,2 menjadi 6,7.
BMKG mengakui bahwa dalam memberikan informasi terkait gempa, pihaknya lebih mengedepankan kecepatan daripada akurasi data.
Baca Juga
"Perlu dipahami bahwa sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami yang di Indonesia ini kurang lebihnya kita berkaca pada seperti di Jepang kemudian juga di Australia dan juga di India," jelas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (14/5/2021).
Advertisement
"Karena apa? Tugas kita adalah memberikan informasi sedini mungkin agar dapat segera dilakukan penyelamatan. Jadi baik Jepang, Indonesia, Australia, dan policynya kecepatan itu nomor satu, bukan akurasi," sambungnya.
Dia mengatakan bahwa data informasi terkait gempa bumi baru stabil pada menit ke-15. Namun, Indonesia, Jepang, Australia, dan India merilis peringatan gempa pada menit ke-3 sehingga data yang masuk belum lengkap.
Dwikorita menuturkan bahwa kebijakan ini berbeda dengan Amerika dan Jerman dimana masing-masing negara mengeluarkan informasi gempa pada menit 15 sampai 20. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut tak dituntut untuk memberikan informasi gempa dengan cepat dan mementingkan akurasi data.
"Dibandingkan dengan menit ke-15 data sensor yang masuk itu jumlahnya sangat berbeda sehingga belum cukup stabil. Namun, karena untuk kepentingan keselamatan, policy kami skenario terburuk sehingga kita keluarkan lebih dahulu pada menit ketiga. Jadi bukan diralat di update," jelasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Indonesia Mengedepankan Kecepatan
Menurut dia, Indonesia tak mungkin menerapkan kebijakan yang sama dengan Amerika dan Jerman dalam mengeluarkan informasi gempa.
Dwikorita menekankan bahwa Indonesia mengedepankan kecepatan dan informasi gempa berkaitan dengan peringatan dini tsunami.
"USGS (Amerika) tidak memberikan peringatan dini tsunami, Jerman juga tidak memberikan peringatan dini tsunami. Tetapi di Jepang, Indonesia, Australia, dan India mereka harus memberikan peringatan dini tsunami," ujarnya.
Dia menyampaikan apabila Indonesia menunggu menit ke-15 baru mengeluarkan informasi gempa, maka tidak ada gunanya istilah peringatan dini. Sebab, peringatan dini dikeluarkan agar masyarakat berhati-hati dan waspada akan bencana.
"Kalau magnitudo dihitung stabil pada menit ke-15, tsunami bisa datang pada menit kedua. Jadi tidak ada gunanya istilah peringatan dini kalau menunggu stabil pada menit ke-15," ucapnya.
Kendati begitu, BMKG berupaya agar data gempa yang dimutakhirkan selisihnya tidak lebih tinggi dari data awal. Dwikorita menyebut apabila data yang dimutakhirkan lebih tinggi atau sangat jauh, maka akan berbahaya.
"Kami berupaya agar update itu selalu selisihnya maksimum 0,7 atau paling buruk itu tidak lebih dari satu dan harus lebih rendah," tegas Dwikorita.
Advertisement