Liputan6.com, Jakarta - Eks Pemimpin FPI, Rizieq Shihab menuding undang-undang keormasan yang dilekatkan dalam kasus kerumunan di Petamburan adalah pasal seludupan. Karena pasal tersebut diklaim tak sesuai dengan kasus pelanggaran protokol kesehatan (prokes).
Hal itu diungkapkan Rizieq Shihab saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi perkara kerumunan Petamburan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Kamis 20 Mei 2021.
Baca Juga
Pasal yang dimaksud selundupan sebagaimana dalam dakwaan kelima pada Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP juncto Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Advertisement
Rizieq menilai, Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d, terkait larangan ormas melakukan perusakan maupun melakukan tugas dan wewenang penegak hukum tidaklah terbukti dan memiliki keterkaitan dengan pelanggaran protokol kesehatan.
Lantaran, saat gelaran acara pernikahan putrinya dan Maulid Nabi, tidak ada panitia mau pun pengurus dan anggota FPI melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan/atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
"Sehingga semua unsur dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d UU No 16 Tahun 2017 tersebut tidak terpenuhi, karena semua larangan ormas dalam pasal ini tidak ada yang dilanggar oleh Panitia mau pun Pengurus FPI dan anggotanya, sehingga harus dibatalkan demi hukum," kata Rizieq.
Selain itu, Rizieq juga menilai bahwa Pasal 82A ayat (1) UU No 16 Tahun 2017 terkait pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar aturan Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d tentang ormas adalah pasal seludupan, lantaran tak sesuai dengan pelanggaran prokes.
"Terdakwa menilai bahwa ini adalah pasal selundupan yang sangat jahat dan keji, karena hendak menunggangi Kasus Pelanggaran Prokes dengan Kepentingan Balas Dendam Politik Oligarki," katanya.
Karena itu, dia meminta penerapan pasal tersebut dibatalkan demi hukum. Termasukpasal seludupan lainnya yakni 10 huruf b KUHP tentang Pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu hingga Pasal 35 ayat (1) KUHP yang juga mengatur pencabutan hak-hak terpidana sesuai putusan hakim.
"Inilah puncak pasal selundupan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan Kasus Pelanggaran prokes dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan. Penerapan Pasal ini justru semakin terbuka dan telanjang cara-cara jahat dan sadis serta menjijikkan dari politik kriminalisasi yang dimainkan oleh JPU, baik atas kemauan JPU sendiri atau by order dari pihak lain, untuk kepentingan balas dendam politik oligarki dalam rangka melumpuhkan gerakan dakwah terdakwa di tengah umat," ungkapnya.
JPU Tetap pada Tuntutannya
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membantah pleidoi dan tetap pada tuntutan atas kasus kerumunan di Petamburan terhadap terdakwa Habib Rizieq Shihab serta lima mantan petinggi Front Pembela Islam (FPI).
Hal itu disampaikan anggota JPU saat sidang mendengarkan agenda Pleidoi dari para terdakwa Rizieq serta Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas, Idrus Al-Habsyi, Maman Suryadi dinyatakan bersalah dan menyakinkan melakukan tindak pidana penghasutan.
"Menurut hemat kami perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghasutan bersama-sama," kata jaksa saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (20/5).
Sehingga, jaksa menganggap soal tuntutan sebagaimana Pasal 160 KUHP jo. Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tetap dinyatakan bersalah.
Selain itu, Rizieq juga menyebut pemakaian Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP sebagai pasal selundupan.
"Menjadi anggota dan pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan. Sesuai dengan ketentuan UU pasal 82 A," terangnya.
"Sebagaimana surat tuntutan kami yang telah dibacakan pada persidangan hari Senin tanggal 17 Mei 2021 yang pada prinsipnya kami penuntut umum tetap pada tuntutan kami," tandasnya.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Merdeka.com
Advertisement