Sukses

Special Content: Sudah Banyak Korban, Saatnya Tindak Tegas Penyelenggara Pinjol Ilegal

Pinjaman online atau pinjol menjadi primadona layanan digital sektor keuangan, tapi literasi masyarakat masih rendah sehingga banyak yang terjerat pinjol ilegal dengan bunga mencekik.

Liputan6.com, Jakarta - Seberapa sering Anda menerima pesan singkat atau sms dari nomor ponsel tidak dikenal, yang menawari pinjaman uang atau yang diketahui sebagai pinjaman online (pinjol)? Mungkin, saking banyaknya sms seperti itu, akhirnya kita memilih mengabaikannya.

Namun, sesungguhnya patut dipertanyakan bagaimana mereka bisa mengetahui nomor ponsel kita? Pertanyaan lain yang muncul adalah, apakah pihak yang menawari pinjaman uang itu merupakan penyedia yang sesuai aturan, bukan sekadar lintah darat.

Cara-cara penawaran pinjaman uang seperti itu belakangan kita ketahui sebagai fintech peer to peer lending atau pinjaman online. Penyelenggara pinjol ini ada yang legal maupun ilegal.

Di masa pandemi COVID-19 di mana himpitan ekonomi menyulitkan sebagian masyarakat, cara cepat mendapat utang salah satunya melalui pinjol. Persyaratan peminjaman uang pun biasanya tidak sulit, meski penyelenggara pinjol kemudian bisa mengakses sejumlah data di gawai debitur.

Soal ini akses data ini sebenarnya kita tidak perlu terkejut. Sebab, pada Juni 2020, bahkan Kementerian Dalam Negeri lewat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah memberi lampu hijau kepada sejumlah perusahaan pinjol untuk mendapatkan akses data kependudukan.

Pinjol memang menjadi magnet bagi masyarakat yang kepepet membutuhkan uang. Pencairan dana pinjaman uang lewat pinjol dapat dilakukan dalam 24 jam selama tujuh hari lantaran memanfaatkan layanan digital. Dalam hal tenor pinjaman, pinjol menawarkan tenor yang lebih singkat dibandingkan bank yakni dimulai dari dua minggu sampai dengan tiga minggu.

Tapi, beban bunga pinjol besar, apalagi untuk pinjol ilegal, beban bunganya sangat mencekik. Parahnya, hingga saat ini, belum memiliki aturan yang spesifik mengenai bunga pinjol.

Lembaga yang berwenang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum punya regulasi dan payung hukumnya. Sejauh ini hanya ada ketentuan dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), soal batas maksimal bunga pinjaman untuk pinjol, yang ditetapkan sebesar 0,8 persen.

AFPI membatasi para penyelenggara pinjol untuk tidak memberlakukan biaya pinjaman berupa beban bunga, denda, administrasi, dan lain-lain sampai hari ke-90. Ketika sudah lebih dari hari ke-90, baru biaya pinjaman maksimal 100 persen dari pinjaman pokok. Sebagai contoh, jika pinjaman pokok sebesar Rp100 ribu dan peminjam menunggak lebih dari 90 hari, maka peminjam wajib mengembalikan uang maksimal Rp200 ribu.

Ketentuan itu sayangnya cuma untuk penyelanggara pinjol yang merupakan anggota AFPI. Banyak pinjol ilegal yang memberikan beban bunga sangat tinggi. Selain bunga yang tinggi, pinjol ilegal juga memberi denda yang juga bisa berbunga. Misalnya, pinjam Rp1 juta, tagihannya bisa mencapai Rp 20 juta.

Tidak sedikit kasus di mana masyarakat menjadi korban pinjol ilegal. Malah, banyak peminjam yang dipermalukan hingga diancam oleh debt collector pinjol apabila utang sudah jatuh tempo. OJK hanya bisa mengontrol fintech yang terdaftar dan berizin, sementara yang tidak berizin, OJK hanya bisa turut mengadukan ke polisi.

Korban Pinjol

Liputan6.com sendiri sempat menerima sejumlah laporan dari masyarakat yang menjadi korban pinjol. Ada yang mengaku meminjam hanya dari 12 pinjol, tapi ditagih oleh 55 pinjol. Korban ini mengaku ditagih setiap hari disertai ancaman dan hinaan. Selain itu, kontaknya juga disebar ke banyak orang yang dia kenal untuk dipermalukan.

Ada pula laporan dari warga yang mengaku terlambat bayar lalu dikenakan denda oleh pinjol terkait. Namun, setelah membayar denda, dia malah tetap ditagih terus-menerus. Korban merasa ada kesalahan sistem dari pinjol yang membuat dirinya dirugikan.

Belum lama ini, mantan guru TK berinisial S di Kota Malang terjerat pinjaman online (Pinjol). Dia diteror dan diintimidasi oleh debt collector pinjol. Ibu dua anak ini juga dipermalukan setelah penyelenggara pinjol menagih ke orang-orang yang dikenal oleh S.

Pola-pola penagihan yang tidak manusiawi itu membuat ibu dua anak ini nyaris bunuh diri. S juga dipecat dari tempatnya mengajar setelah 13 tahun mengabdi. Dia juga dikucilkan oleh lingkungannya.

Direktur Eksekutif AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia), Kuseryansyah, mengungkapkan, dari 24 pinjaman online S, hanya lima yang merupakan fintech legal yang terdaftar dan berizin OJK. Sedangkan 19 pinjol lainnya ilegal. Menurut Kuseryansyah, pinjol legal memakai ketentuan sebelum menyetujui pengajuan pinjaman dari masyarakat.

Ketentuan itu misalnya seperti melakukan electronic KYC (Know Your Customer), di mana bisa melalui akses dukcapil atau melalui pihak ketiga untuk mengidentifikasi apakah pengaju pinjaman itu betul-betul orang yang benar bukan fiktif. Lalu, dia mengklaim pinjol legal menggunakan digital signature untuk menentukan otentitas kebenaran dari orang yang mengajukan.

Berikutnya, perusahaan pinjol legal juga memakai kredit scoring, di mana orang yang mengajukan itu tidak langsung disetujui dan harus dievaluasi terlebih dahulu lewat grade risiko, apakah layak diberikan pinjaman atau tidak. Kuseryansyah menyatakan, fintech yang terdaftar di OJK mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016. Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

"Kemudian POJK tentang perlindungan konsumen maupun UU Perlindungan Konsumen. Kita juga harus wajib comply dengan UU ITE, terutama nanti terkait dengan masalah penagihan. Tidak boleh mengancam, mengintimidasi, mencemarkan nama baik, memfitnah melalui dalam jaringan maupun internet. Itu kita dilarang," ucap Kuseryansyah kepada Liputan6.com.

Dia menyebut, kasus guru TK terlilit utang 24 pinjol sesungguhnya menunjukkan fakta bahwa di fintech berizin OJK, maksimal hanya boleh empat pinjaman. Pinjol legal juga punya Fintech Data Center, yang dapat melihat status calon peminjam apakah telah memiliki pinjaman di pinjol legal lainnya.

"Biasanya, maksimum itu 3-4 platform, masih bisa disetujui (pengajuan pinjamannya), tapi itu jarang juga. Kita tidak bisa mengontrol dan mengendalikan atau memberikan supervisi pinjol ilegal. Karena ini mereka kan bergerak tidak pakai hukum. Tidak mematuhi hukum. Tidak pakai prosedur dan berizin dengan regulator. Tidak komit dengan perlindungan konsumen. Itulah yang kemudian menjadi keresahan banyak masyarakat Indonesia sekarang yang terperangkap gali lobang tutup lobang di pinjol ilegal," beber Kuseryansyah.

Tindak Tegas

Sejauh ini, platform pinjol ilegal memang bisa dihapus dari internet atau aplikasi, di mana tindakan itu dilakukan Satgas Waspada Investasi (SWI) yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Tapi, kata dia, hanya itu yang bisa dilakukan, pelaku penyelenggara pinjol ilegal tidak dapat ditangkap atau dipenjarakan, karena tidak ada dasar hukumnya.

"Karena fintech ini belum ada Undang-Undang yang mengatur bahwa yang boleh usaha pinjam-meminjam secara online itu hanya fintech yang berizin OJK, misalnya. Itu tidak ada. Kecuali kalau ada Undang-Undang," ujarnya.

Dia pun berharap ada aturan yang bisa membuat pihak berwenang bisa menindak tegas penyelenggara pinjol ilegal. "Kami sedangkan usulkan agar Undang-Undang sektor jasa keuangan dimasukkan itu, sehingga jika aparat kepolisian melihat praktik pinjol ilegal langsung bisa ditangkap. Kalau sekarang tidak bisa. Pinjol yang ditutup bisa langsung dibuat lagi. Misalnya ada pinjol yang diduga ilegal, kemudian di-takedown oleh Kominfo, sama developernya setelah di-takedown diganti namanya," ujar Kuseryansyah.

2 dari 4 halaman

Literasi Rendah dan Budaya Konsumtif

Literasi jasa keuangan yang masih rendah dianggap sebagai penyebab banyaknya masyarakat yang menjadi korban pinjaman online. Terlebih lagi soal jasa keuangan digital, pengetahuan publik mungkin masih terbatas.

Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, ada peran berbagai faktor yang membuat masyarakat terjerat utang pinjol dan tidak bisa mengembalikannya. Literasi digital memang menjadi isu yang perlu ditangani serius oleh pemerintah Indonesia.

"Jadi kita lebih banyak pengguna dari jasa-jasa atau platform-platform yang ada di dalam konteks internet, termasuk pinjaman online ini. Nah, itu kurang literasinya tentang keuangan, tentang bagaimana prosedur kita mendapatkan pinjaman keuangan dan bagaimana menjaga agar tetap aman, terus kemudian konsekuensi-konsekuensi yang bisa dihadapi, itu kurang pengetahuan lebih dalamnya. Jadi yang penting mudah nih, ada alternatif pinjaman lebih mudah," Daisy menjelaskan, ketika dihubungi Liputan6.com.

Daisy berpendapat, budaya konsumtif masyarakat Indonesia juga mendukung maraknya keberadaan pinjaman online ini. Apalagi, dalam kondisi struktural masyarakat Indonesia, tidak ada alternatif untuk pinjaman uang resmi dan dipercaya masyarakat golongan unbankable atau tidak tersentuh bank. Iming-iming penawaran dari penyelenggara pinjaman online di Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit, juga membuat masyarakat tergiur.

Karena, kata Daisy, banyak pelaku-pelaku usaha melihat hal ini sebagai peluang usaha, lalu memanfaatkan bagaimana daya konsumtif masyarakat kita yang tinggi. Kemudian alternatif yang kurang untuk bisa berbelanja. Jadi, untuk meningkatkan konsumsi, pinjaman online pun jadi pilihan.

"Atau untuk kebutuhan-kebutuhan lain, jadi jasa ini jadi marak. Jadi, merupakan peluang bisnis bagi pelaku usaha. Itu juga menggiring warga mau memanfaatkan jasa pinjaman online," papar Daisy.

Dia berharap masyarakat lebih meningkatkan daya kritis untuk bisa mengevaluasi ketika hendak menggunakan jasa atau berbelanja atau menggunakan pinjaman online. Daisy juga menyarankan masyarakat memahami term and condition dari fintech dan menyesuaikan dengan kemampuan keuangan pribadi.

"Pemerintah sebagai regulator itu punya perannya, yang kesatu memang melakukan pengawasan terhadap institusi-institusi peminjaman ekonomi ini agar tidak melakukan hal-hal yang ilegal. Kedua adalah memberikan alternatif, sebenarnya. Jasa keuangan yang lebih terpercaya dan terukur. Kan masalahnya kalau dalam konteks pelaku usaha, kalau dia sudah memberikan jasa pinjaman online, sudah ada term and condition-nya, dianggap itu sudah sah secara legal. Persoalannya tinggal, masyarakat mengerti enggak dengan term and condition-nya? Nah berarti peran pemerintah juga tambah, yaitu mengedukasi masyarakat supaya memiliki daya kritis," tuturnya.

Risiko Produk Keuangan

Sementara itu, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) sendiri mengaku terus melakukan edukasi untuk meningkatkan literasi sosial di masyarakat tentang realitas adanya fintech berizin OJK dan yang ilegal. Sosialisasi dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat punya pengertian tentang manfaat dari produknya dan risikonya. Sebab, setiap produk keuangan tentu ada risiko, konsekuensi, maupun hal dan kewajibannya.

"Haknya dia (peminjam) diberikan informasi dan disetujui jika layak. Kewajibannya apa, membayar dengan komitmen dia, bukan sesuai kemauan penyelenggara tapi komitmen dia. Mau bayar tanggal berapa dan jatuh tempo kapan. Nah, pembayarannya bagaimana itu kan ditentukan sendiri oleh pengguna, dengan alternatif-alternatif yang diberikan oleh fintech," kata Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah.

"Kemudian juga masyarakat dengan literasi itu juga tahu bahwa masyarakat harus bijak. Hanya pinjam yang sifatnya personal itu untuk keperluan yang mendesak atau urgent, darurat. Yang kedua, kalau pinjam sebaik-baiknya untuk keperluan yang produktif atau yang punya social impact untuk kita pribadi. Lalu juga harus tahu, kalau pinjam wajib dikembalikan. Mau aturan hukum, mau aturan agama, pinjam-utang itu harus dikembalikan. Nah, kita harus tahu sumber untuk mengembalikan utang itu dari mana," tambahnya.

Setelah adanya edukasi, AFPI mengungkapkan bahwa pengaduan yang mereka terima dari masyarakat terhadap tindakan buruk pinjol ilegal, mulai menurun. "Kalau dulu kami diadukan itu, yang diadukan ke kami 70 persen pinjol ilegal. Kalau sekarang itu 30 persen, masyarakat mengajukan pinjol ilegal itu ke kami," ujarnya.

Kuseryansyah juga menyebut AFPI ikut mendorong masyarakat melapor ke polisi jika ada perlakukan buruk dari pinjol ilegal. AFPI sendiri sering menerima pengaduan dan mereka siap mendukung masyarakat yang melaporkan pinjol ilegal ke polisi.

"AFPI sendiri, kami punya pedoman perilaku, di situ disebutkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Kalau anggota kami melanggar, melakukan sesuatu yang dilarang, dia potensi untuk disidangkan di komite etika dan komite etika ini dibentuk terdiri dari lawyer-lawyer dan akademisi yang independen."

Regulasi ketat agar masyarakat tidak lagi menjadi korban pinjol sangat diperlukan. Dalam hal ini, status masyarakat tentu saja sebagai konsumen. Bank Indonesia (BI) sendiri sebelumnya memperkuat ekosistem perlindungan konsumen, terutama di era keuangan digital yang semakin pesat. Hal itu diwujudkan lewat PBI No.22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, yang efektif berlaku sejak 22 Desember 2020.

Deputi Gubernur BI, Doni P. Joewono, menyebutkan, seluruh pihak terkait perlu mendukung dan bekerjasama dalam menciptakan ekosistem perlindungan konsumen yang kuat di Indonesia.

"Penguatan perlindungan konsumen merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh Otoritas dan regulator terkait, sehingga diperlukan sinergi antar Kementerian dan Lembaga guna mendukung implementasi Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (STRANAS-PK) yang telah dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2017," jelas Doni di Jakarta, Senin (12/4/2021).

Penguatan kebijakan perlindungan konsumen oleh BI juga dilakukan untuk semakin menyeimbangkan hubungan antara penyelenggara dengan konsumen, menjawab tantangan dan perkembangan inovasi finansial serta digitalisasi produk dan/atau layanan jasa keuangan dan sistem pembayaran. Ketentuan-ketentuan seperti ini diharapkan terus diterbitkan demi menghindari masyarakat menjadi korban dari penyelenggara pinjaman online.

3 dari 4 halaman

Peran OJK Semestinya

Tidak dipungkiri, teknologi digital saat ini menjadi primadona di semua sektor, khususnya keuangan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga awal Mei 2021, Terdapat 275 financial technology (fintech) di Indonesia, yang didominasi 54% oleh P2P lending, 31% digital financial innovation, 13% fintech payment, dan 1% equity crowdfunding. Jumlah P2P Lending mencapai 147, 101 di antaranya terdaftar OJK, sedangkan 46 lainnya berizin OJK.

Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, pihaknya akan memberikan ruang lebih luas dalam produk-produk teknologi terutama digital keuangan. OJK ingin Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam memberikan layanan digital di semua sektor, khususnya keuangan.

Namun, OJK juga mengklaim mendahulukan kepentingan konsumen, dalam hal ini masyarakat. Wimboh menyatakan, pemahaman masyarakat terhadap produk teknologi dan ketentuan yang berlaku di sektor keuangan, sangat diperlukan.

"Kita juga harus melindungi kepentingan masyarakat, jangan sampai masyarakat tidak paham berkaitan dengan produk teknologi yang suka tidak suka, apabila tidak diserve oleh provider domestik, lembaga keuangan atau bisnis apapun, akan dimasuki produk lain selain dari Indonesia. Karena produk teknologi itu borderless di dalam cyberspace yang tidak bisa diblokade oleh OJK," papar Wimboh dalam sebuah forum di Jakarta pada Selasa (4/5/2021).

Mengenai peran dalam menindak pinjol atau fintech lending ilegal, menurut ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Enny Hartati, OJK semestinya tidak hanya menjadi sekadar "pemadam kebakaran", tapi juga mampu mengantisipasi.

 

Verifikasi Penyelenggara Pinjol

Selain itu, Enny menilai, seharusnya ada kerjasama beberapa sektor yang terkait dengan penyelenggara pinjaman online. Tiga sektor yang dimaksud yakni, perbankan, telekomunikasi, dan badan hukum. Dia berpendapat, perusahaan yang memanfaatkan teknologi informasi harus diverifikasi lebih dulu, termasuk aplikasi fintech lending atau pinjaman online.

Verifikasi awal untuk penyelenggara pinjol, kata dia, bisa dimulai dari terdaftar atau berizinnya perusahaan itu di OJK atau tidak. Badan hukum juga bisa memverifikasi, sehingga terdapat double check sebelum aplikasi pinjol bisa beredar di masyarakat.

"Karena kan begini, transaksi yang dilakukan itu kan berbeda dengan pribadi. Jadi, misalnya skala, itu kan berbasis aplikasi ya. Aplikasi kalau ada semacam deteksi dini, jadi aplikasi-aplikasi yang terhubung dengan jasa provider dan juga izin usaha yang diperoleh ini digunakan untuk jasa-jasa keuangan, mestinya ada semacam mitigasi risiko dari awal, mestinya bisa dicegah," ujar Enny ketika dihubungi Liputan6.com.

"Jadi tidak sekadar menyalahkan bahwa ini kan ilegal. Lalu, yang mengawasi ilegal ini siapa? Kan pertanyaan masyarakat begitu," tambahnya.

Enny menyarankan agar aplikasi pinjol yang belum memperoleh izin dari OJK, dilarang mendapat akses, baik oleh pihak provider maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Itu bisa menjadi mitigasi awal supaya masyarakat tidak terjebak pinjol ilegal.

"Jadi tidak hanya sekadar disebut itu ilegal. Itu risiko masyarakat. Tidak bisa seperti itu. Karena masyarakat ini kan secara umum tidak tahu persis mana yang legal dan ilegal," ucap wanita berhijab ini.

Dia menekankan, ketika masyarakat menjadi korban, pemerintah tidak boleh lepas tangan dengan alasan bahwa karena korban berurusan dengan pinjol ilegal. Pemerintah sebagai otoritas berwenang harus berupaya optimal melakukan mitigasi agar tidak muncul pinjol ilegal.

"Jadi ketika ada yang ilegal, bukan hanya ditutup tapi juga dihukum. Tetapi juga sekaligus untuk mencegah supaya ada tidak muncul marak ilegal, itu mestinya kalau itu benar-benar tidak legal, pihak-pihak terkait seperti tadi, penyedia provider dan pemberi izin usaha itu ya jangan dikasih kalau tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan OJK. Dan OJK pun jangan hanya jadi pemadam kebakaran. Mereka harus bisa menciptakan sebuah sistem di mana bisa menjadi early warning bahwa kalau tidak legal maka praktek-praktek seperti itu tidak bisa beroperasi."

Supply and Demand

Namun, Enny tidak memungkiri, kesadaran dan pemahaman masyarakat sangat diperlukan soal layanan sektor keuangan digital, dalam hal ini pinjaman online. Seringkali, masyarakat abai dan ingin yang instan untuk urusan dana.

Masyakarat diminta untuk membaca seluruh persyaratan secara rinci dari fintech lending sebelum mengajukan pinjaman uang. Menjamurnya pinjol, menurut Enny, juga memang karena ada supply and demand, serta lemahnya pengawasan dan payung hukum.

"Jadi masyarakat tidak mengecek terlebih dahulu apakah pinjol yang mereka akan gunakan jasanya ini legal atau tidak, yang penting mereka cepat mendapatkan duit. Dari sisi masyarakatnya yang ingin instan. Ini yang terus menerus berulang dan berulang," terangnya.

"Sebenarnya, pinjol yang legal memudahkan masyarakat yang tidak tersentuh bank atau unbankable. Cuma, bagaimanapun, namanya orang pinjam duit, itu ada persyaratannya, ya seperti kemampuan bayar dan sebagainya. Itu kan ketat, tapi seperti di bank, ada prudencial banking, begitu. Ada semacam tingkat kemampuan bayar dan sebagainya. Kalau tidak mampu bayar ya pasti tidak dikasih walaupun fintech."

Sebagian masyarakat yang terjerat pinjol ilegal memang karena tidak mau atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan yang diminta pinjol legal. Faktor ini pula yang membuat pinjol ilegal sulit diberantas, karena memang ada permintaannya.

"Jadi, ini dua sisi. Jadi kenapa muncul ilegal, ya karena ada demand dari masyarakat-masyarakat yang sebenarnya tidak kapabel tadi. Misalnya, dia sudah punya lebih dari 3-4 kredit, pasti tidak dikasih sama fintech legal yang lain, sehingga dia pasti dari sisi di izin kelayakannya, tidak layak, nah dia maksain dan terjebak kepada yang ilegal."

4 dari 4 halaman

INFOGRAFIS