Sukses

Ketua Komisi VIII DPR Bantah Pembatalan Haji 2021 Karena RI Berutang ke Saudi

Pemerintah telah menetapkan untuk tidak memberangkatkan jemaah haji ke Tanah Suci pada tahun 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto membantah bahwa Indonesia memiliki utang terhadap Arab Saudi, dalam hal penyelenggaraan ibadah haji. Menurut dia, kabar tersebut merupakan berita bohong.

"Misal ada berita yang menyampaikan bahwa haji tidak ada tahun ini karena ada utang Indonesia ke Saudi, itu berita bohong tidak benar sama sekali," tegas Yandri saat jumpa pers pembatalan pemberangkatan haji 1442 H di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (3/6/2021).

Menurut dia, seluruh administrasi terkait finansial terkelola dengan baik oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, tidak ada utang kepada Saudi dalam hal pemondokan hingga katering jemaah haji.

"Tidak ada utang, dana haji sangat aman aman dan aman," jelas Yandri.

Pernyataan Yandri ini kembali ditegaskan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil, dalam kesempatan senada. Dia menyatakan bahwa adaya isu tersebut merupakan hoaks dan berita sampah.

"Jadi dana haji aman, jadi Indonesia tak punya utang yang belum dibayar jadi info tentang itu hoaks atau berita sampah," kata Yaqut.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Haji 2021 Resmi Dibatalkan

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pemerintah telah menetapkan untuk tidak memberangkatkan jemaah haji ke Tanah Suci pada tahun 2021. Keputusan ini dianggapnya sebagai jalan terbaik untuk calon jemaah haji.

"Keputusan ini pahit. Tapi inilah yang terbaik. Semoga ujian Covid-19 ini segera usai," kata Menag dalam telekonferensi dengan media di Jakarta, Kamis (3/6/2021).

Yaqut mengungkapkan, hingga hari ini, pemerintah Arab Saudi belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M. Bahkan itu juga berlaku di semua negara.

"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," tegas dia.

Yaqut menambahkan, kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi.

Untuk layanan dalam negeri, misalnya kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.

Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya.

"Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi. Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.

"Padahal, dengan kuota 5% dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari," lanjutnya.

Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Saudi karena situasi pandemi. Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.

Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam. Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah haji tidak bisa menjalani ibadah Arbain," terangnya.