Sukses

HEADLINE: Wacana Penerapan Tilang untuk Pesepeda di Jalan Raya, Urgensinya?

Pengamat tata kota Azas Tigor Nainggolan meminta sanksi tilang segera diberlakukan, mengingat semua persyaratan secara hukum sudah tersedia.

Liputan6.com, Jakarta Polda Metro Jaya bakal mempertegas aturan bersepeda yang keluar jalur yang sudah ditentukan. Sejumlah kejadian di mana pesepeda mengayuh kendaraan tak bermotor itu di luar jalur yang disediakan, membuat publik Ibu Kota berang.

Polisi pun tak punya pilihan lain. Tilang pada pesepeda bakal dilakukan dengan sanksi berupa sita KTP atau sepeda. Namun, menurut Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo, pihaknya masih mengkaji soal penerapan sanksi tilang buat pesepeda.

"Tentu SOP-nya apakah yang disita nanti sepedanya, apakah yang disita nanti KTP-nya atau cukup sidang di tempat atau bagaimana," ucap Sambodo di Jakarta, Rabu (2/6/2021).

Namun, tak semuanya punya kesabaran seperti Sambodo. Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan bahkan meminta sanksi tilang segera saja diberlakukan, mengingat semua persyaratan secara hukum sudah tersedia.

"Itu kan sudah ada aturannya, UU Nomor 22 Tahun 2009. Pertama dikatakan, jalanan untuk sarana transportasi kendaran tidak bermotor sudah diberikan jalur di sebelah kiri, kalau dia tidak pada jalurnya, maka dia melanggar," tegas Azas kepada Liputan6.com, Kamis (2/6/2021).

Jika melanggar, lanjut dia, si pesepeda bisa dianggap melanggar hukum dan dikenai sanksi berupa kurungan maksimal 15 hari dan denda Rp 100 ribu. Selain itu, dia juga tak menampik jika polisi memberikan sanksi tilang yang lebih berat seperti menyita sepeda. 

"Jadi, itu bisa, boleh, dan sangat diharuskan kalau melanggar. Bisa disita dulu sepedanya, nanti kan digelar sidang. Kalau dihukum bayar denda misalnya, dia bisa dapat kembali sepedanya, nggak ada masalah, soal sederhana saja itu," tegas Azas.

Soal keharusan adanya sosialisasi sebelum diberlakukannya beragam sanksi yang nanti diputuskan, menurut dia bukan berarti menunda penerapan sanksi. Dia beralasan, penindakan itu sendiri merupakan bagian dari sosialisasi bagi warga Ibu Kota.

"Penegakan penindakan itu kan sarana edukasi dan sosialisasi juga, jadi nggak apa-apa. UU itu sudah ada dari 2009, jadi jalankan saja. Ketika sudah ada contoh yang ditilang, yang lain bisa jadi belajar untuk tidak melanggar," tutur Azas memberi alasan.

Kendati demikian, dia menolak jika polisi menyita Kartu Tanda Penduduk (KTP) para pesepeda nakal.

"Kalau sita KTP itu salah. Ini bukan operasi yustisi, jadi salah kalau KTP yang disita. Kalau mau sita saja sepedanya untuk sementara," ujar Azas.

"Yang penting polisi jangan lambat-lambat lagi. UU-nya kan sudah ada, cuma kenapa polisi masih ragu-ragu. Jangan ragu-ragu, jalan raya itu berbahaya," pungkas dia.

 

Infografis Wacana Tilang Pesepeda Nakal di Jalan Raya. (Liputan6.com/Trieyasni)

Pandangan berbeda disampaikan pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah. Menurut dia, sebelum dilakukan penindakan seperti menerapkan tilang, harus ada sosialisasi terlebih dulu.

"Jumlah pesepeda saat ini tambah banyak dan mereka menggunakan sepeda masih sebatas sebagai hobi dan olahraga, belum sebagai moda transportasi. Kalau sudah levelnya moda transportasi baru bisa dilakukan penindakan kalau ada pelanggaran. Jadi menurut saya edukasi dulu yang penting," tegas Trubus kepada Liputan6.com, Kamis (3/6/2021).

Tak hanya edukasi soal cara bersepeda yang baik dan sanksi yang diberlakukan, dia mengatakan Pemprov DKI juga harus melengkapi fasilitas bagi pesepeda. Jadi, sebelum menilang pesepeda yang melanggar, melengkapi fasilitas jalur sepeda harus didahukukan.

"Yang penting sediakan jalannya, jalur sepeda yang khusus, dan fasilitas pelengkap lainnya. Jangan sampai tanda larangan atau verboden masih pakai tali tambang yang melintang. Jadi itu dulu dilakukan, penindakan nanti kalau sudah itu semua siap," jelas Trubus.

Dia tak menampik kalau regulasi yang ada memungkinkan untuk menerapkan sanksi sesegera mungkin, namun bukan berarti itu jalan terbaik.

"Memang sudah ada aturannya di UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 59/2020, lalu Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI 128/2019. Tapi, kalau tilang diterapkan saat ini, bagi saya berlebihan," tutur Trubus.

Namun, untuk bentuk sanksi tilang, dia sepakat dengan Azas bahwa menyita KTP tidak tepat diberlakukan bagi pesepeda yang melanggar.

"Kalau mau ada efek jera ya sita saja sepedanya, dikandangin. Kalau menahan KTP tidak tepat," Trubus menandaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Suara Berbeda dari Kebon Sirih

Anggota DPRD DKI Jakarta menolak rencana Polda Metro Jaya untuk menerapkan tilang bagi pesepeda yang melanggar aturan di lapangan. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono, misalnya, mengatakan penerapan tilang bagi pesepeda sesuatu yang tak penting.

"Enggak penting sanksi tikang sepeda itu, karena sebetulnya akan jadi persoalan ke depan karena pesepeda ini ada kelas-kelas. Kelas roadbike dan pesepeda biasa. Tapi seolah roadbike diberi karpet merah sama Pemda kan. Nah itu persoalannya, jadi bukan beri sanksi tilang jawabannya," tegas Gembong kepada Liputan6.com, Kamis (3/6/2021).

Dia mengatakan, dirinya sulit untuk mendukung sanksi tilang karena motivasi orang bersepeda itu beragam. Misalnya, pesepeda yang karena sekadar hobi atau pesepeda yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi.

"Apalagi kalau sanksinya sama kayak sepeda motor, itu enggak cocok, nggak bisa disamakan," ujar Gembong.

Dia mengatakan, ada cara lain agar pesepeda bisa tertib saat melaju di jalur sepeda Ibu Kota.

"Bagaimana pesepeda bisa tertib tanpa tilang, ya pengawasan ketat. Karena saya akui tidak semua pesepeda bisa tertib. Dengan pengawasan, semua pesepeda akan mengikuti aturan yang ada. Sanksi apa pun, termasuk sita KTP bagi saya nggak perlu, nggak penting," tegas Gembong lagi.

"Jadi harus dibuat pengawasan. Itu bukan hanya tugas polisi, tapi juga Satpol PP. Pengawasan dari Pemprov harus lebih aktif, kita punya satpol PP, maksimalkanlah kerja mereka," pungkas Gembong.

Penolakan juga dilontarkan Gilbert Simanjuntak, Anggota Komisi B DPRD DKI. Dia mengaku DPRD DKI Jakarta tak pernah diajak bicara terkait jalur khusus sepeda tersebut.

"Kita menganggap dalam segi transportasi (jalur sepeda) belum layak, karena transportasi publik belum jalan, lebih bagus Jaklingko yang diperbaiki. Tetapi kemudian diketok palu, keluarlah Rp 50 miliar untuk pengecatan jalur sepeda," cerita Gilbert kepada Liputan6.com, Kamis (3/6/2021).

Dia menjelaskan, paling hanya 0,1 persen dari penduduk DKI Jakarta yang memiliki sepeda dan menggunakan jalur khusus sepeda yang dibuat Pemprov DKI Jakarta. Namun, mereka menggunakan 10 persen dari jalan raya yang ada.

"Itu kan jadi tidak benar, orang yang naik sepeda motor bayar pajak, yang naik mobil bayar pajak, yang naik sepeda kan enggak. Jadi kebijakan ini harus dikaji dulu, diukur dulu kebaikannya buat masyarakat, jangan dipaksakan," beber Gilbert.

"Istilahnya (pesepeda) diberikan karpet merah lalu harus dilindungi, kenapa bukan yang naik ojek yang dilindungi? Ini kan hanya hobi, kenapa bukan yang naik sepeda motor yang notabene bayar yang pajak dilindungi?" imbuh dia.

Karena itu, dia menolak untuk membahas rencana penerapan tilang oleh Polda Metro Jaya lantaran sejak awal tak pernah dilibatkan.

"Apa yang akan kita dukung, diajak bicara juga tidak. Eksekutif dan Polda tidak melibatkan DPRD, jadi kita juga tidak bisa bicara dalam hal itu," Gilbert menandaskan.

Namun, tak semua anggota DPRD DKI Jakarta yang menanggapi negatif rencana Polda Metro Jaya menerapkan tilang di jalur khusus sepeda. Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz justru bersikap sebaliknya.

"Saya apresiasi Polda Metro Jaya yang sigap merespons adanya keluhan masyarakat tentang pesepeda yang melanggar aturan di jalan raya," ujar Abdul Aziz kepada Liputan6.com, Kamis (3/6/201) malam.

Dia menilai, rencana penerapan tilang ini akan berdampak positif untuk mengatur lalu lintas demi keselamatan pengguna jalan, termasuk pesepeda.

"Karena selama ini belum ada aturan yang diterapkan, maka timbullah pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dengan adanya aturan yang jelas, maka lalu lintas di DKI akan lebih baik ke depannya," harap anggota Fraksi PKS ini.

Demikian pula dengan opsi menyita KTP pesepeda yang melanggar aturan, dia tak mempermasalahkan.

"Saya pikir lebih baik sita KTP dari pada sita sepeda," Abdul Aziz memungkasi.

 

3 dari 3 halaman

Viral Dulu, Tilang Kemudian

Senin 8 Maret 2021, sebuah video viral di media sosial. Video itu memperlihatkan rombongan pesepeda road bike melintas di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka tampak keluar dari jalur sepeda yang telah disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dalam video yang diunggah oleh akun Instagram @jakarta.terkini, disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada Sabtu (6/3/2021) pagi pekan lalu.

Terlihat rombongan pesepeda road bike keluar jalur sepeda hingga menutupi satu lajur yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor.

Kemudian, Jumat 28 Mei 2021, giliran sebuah foto yang menjadi viral di media sosial. Foto itu memperlihatkan seorang pemotor tengah mengacungkan jari tengah sambil melihat ke belakang.

Acungan jari tengah itu ditujukan kepada rombongan pesepeda yang tampak memenuhi ruas jalan yang dikhususkan untuk kendaraan bermotor, bukan untuk sepeda.

Kedua peristiwa itu memunculkan kecaman dari publik Ibu Kota terkait kedisiplinan pesepeda yang sudah diberi jalur khusus.

Bahkan, tak kurang dari Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo ikut menanggapi peristiwa itu. Dia menyebut, pihaknya akan mengeluarkan kebijakan penerapan sanksi berupa penilangan terhadap pesepeda yang tidak melintas di jalur sepeda.

Sambodo menegaskan, tindakan rombongan pesepeda itu dapat dikenakan sanksi tilang sebagaimana diatur dalam Pasal 299 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

"Kalau ada rombongan pesepeda melewati jalan yang ada jalur sepedanya tapi dia tidak lewat situ itu kenanya Pasal 299 UU Lalu Lintas, denda Rp 100 ribu atau kurungan 15 hari," kata Sambodo kepada wartawan, Senin (8/3/2021).

Adapun Pasal 299 UU LLAJ itu berbunyi: Setiap orang yang mengendarai kendaraan tidak bermotor yang dengan sengaja berpegang pada kendaraan bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan pengguna jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100 ribu.

Kemudian Pasal 122 UU LLAJ berbunyi: Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:

a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;

b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau

c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.

Meski sudah ada dasar hukum untuk menilang pesepeda yang melanggar, Sambodo mengatakan pihaknya belum bisa menerapkan di lapangan. Yang jelas, Polda Metro Jaya tengah menyusun standar operasional prosedur (SOP) untuk penerapan sanksi tilang kepada pesepeda yang melanggar aturan tersebut.

Sambodo menambahkan, jika nantinya diterapkan, maka Polda Metro Jaya akan menjadi Polda pertama yang akan memberlakukan sanksi tilang kepada pesepeda yang melanggar aturan. Polisi, lanjut dia, bisa menyita sepeda yang melanggar aturan tersebut saat memberikan sanksi tilang.

"Mungkin untuk pertama kali di Indonesia melaksanakan penindakan terhadap kendaraan tidak bermotor khususnya sepeda. Nah tentu SOP-nya apakah yang disita nanti sepedanya, apakah yang disita nanti KTP-nya atau cukup sidang di tempat atau bagaimana," kata Sambodo, Rabu (2/6/2021).

Menurut dia, seluruh pihak yang terlibat dalam Crime Justice System (CJS) harus dilibatkan dalam penyusunan SOP tilang sepeda agar tidak ada perbedaan persepsi dalam penerapannya di lapangan.

"ini opsi-opsi yang harus dibicarakan dengan instansi terkait, kejaksaan, pengadilan supaya nanti punya satu persepsi di lapangan," katanya.

Ia pun menegaskan bahwa pemberlakuan aturan tilang bagi pesepeda yang keluar dari jalur khusus tidak perlu menunggu peraturan gubernur (Pergub).

"Kalau tilang tidak perlu masuk (pergub), karena tilang kan sudah ada di Undang-Undang Lalu Lintas yang sifatnya lebih tinggi daripada peraturan gubernur," tegasnya.