Sukses

HEADLINE: Jelang Sekolah Tatap Muka Terbatas Juli 2021, Mekanisme dan Pengawasannya?

Kebijakan sekolah tatap muka terbatas pada Juli 2021 sudah jadi harga mati bagi Nadiem, kendati kasus covid-19 masih menggila. Siasat matang harus disiapkan demi rasa aman.

Liputan6.com, Jakarta - Mendikbud Ristek Nadiem Makarim kukuh akan membuka sekolah tatap muka terbatas pada tahun ajaran baru, Juli 2021 mendatang. Penerapan kebijakan ini menjadi harga mati kendati tren kasus covid-19 saat ini melonjak usai libur lebaran.

Dia beralasan masa depan Indonesia sangat bergantung pada sumber daya manusia. "Tidak ada tawar-menawar untuk pendidikan, terlepas dari situasi yang kita hadapi," tegas Nadiem dalam acara yang disiarkan YouTube Kemendikbud RI, Rabu 2 Juni 2021 lalu.

Langkah Mendikbud Nadiem itu dinilai sebagai tindakan tergopoh-gopoh yang mengedepankan emosional. Seharusnya, Nadiem tidak mewajibkan anak didik melakukan pembelajaran tatap muka terbatas di tengah pandemi yang belum terkendali.

"Kegagalan total di dunia pendidikan selama pandemi, harusnya itu diantisipasi oleh Mas Menteri sebagai kegagalan mengantisipasi pendidikan jarak jauh. Kegagalan itu jangan emosional dilimpahkan kepada anak didik dengan memaksakan PTM (Pembelajaran Tatap Muka)," ujar Pengamat Pendidikan, Muhammad Ramli Rahim saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (8/6/2021).

MRR, begitu ia disapa, menambahkan sejumlah kasus covid-19 saat ini meningkat drastis di sejumlah daerah. Dalam kondisi demikian, sangat sulit kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas ini diterapkan.

"Orangtua pasti lebih sayang anaknya. Kesehatan lebih penting. Jangan sampai kita mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi membuat mereka celaka, enggak ada guna orang pintar tapi tidak sehat," kata Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) ini.

Untuk itu, MRR meminta pemerintah pusat agar menyerahkan hal ini kepada pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan tersebut. Karena mereka yang lebih mengetahui kondisi sebenarnya di daerah masing-masing.

"Jadi lebih bijak (serahkan) ke kabupaten kota dan provinsi masing-masing, karena mereka lebih paham kondisi di medan kesehatan anak didiknya," ujar dia.

"Selama tidak merasa nyaman dengan itu, penanggung jawab pendidikan tidak berani mengambil kebijakan itu, ya jangan (dipaksakan)," imbuh pria yang juga Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia ini.

Ia pun menilai kurang tepat pernyataan Nadiem yang membandingkan sekolah dengan pelayanan umum yang sudah dibuka. Sebab itu beda subjek.

"Kalau Pak Nadiem bilang kenapa kantor bisa buka, mal bisa buka sementara sekolah tidak? Ya karena tentu saja berbeda, di kantoran orang dewasa bisa berpikir jernih, tahu resiko. Beda dengan anak-anak yang belum bisa sampai di titik itu," jelas MRR.

Ia lantas mempertanyakan hasil uji coba pembelajaran tatap muka terbatas yang sudah dilakukan di berbagai sekolah. Menurutnya, harus ada evaluasi menyeluruh dari kegiatan tersebut.

"Bukan hanya sekadar sehat-sehat saja, tapi apakah pembelajaran setengah online itu dan setengah offline itu efektif atau tidak? Kalau tidak, atau sama saja seperti full daring, kenapa paksakan tatap muka?" tanya dia.

MRR pun mendesak pemerintah agar lebih gesit memvaksinasi tenaga pendidik sesuai target. Sebab ini menjadi langkah penting dalam persiapan menuju pembelajaran tatap muka terbatas.

"Pemerintah bisa fokus bagaimana secepat mungkin (para pendidik) itu divaksin dulu. Kalau belum semua terus dipaksakan belajar tatap muka, pertama aja belum, gimana vaksin kedua?" tanya dia.

Pandemi covid-19 yang berlangsung selama setahun lebih ini, menurutnya sudah membuat siswa nyaman untuk mengikuti pendidikan secara daring. Kerinduan mereka untuk bersosialisasi sesama teman selanjutnya dapat dilihat dengan memperhatikan trend kasus covid-18 di wilayah tersebut.

"Kembali lagi ke daerah terkait. Kalau memang di daerah itu udah zero, mungkin bisa dicoba tatap muka, tapi kalau positive case-nya masih tinggi, ya tidak bisa dipaksakan," ucap MRR.

Sedangkan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mendukung dibukanya kembali sekolah tatap muka terbatas. Ia sepakat dengan perintah Presiden Jokowi agar sekolah hanya buka dua kali seminggu dengan kapasitas hanya 25 persen. Selain itu, sekolah juga perlu dibuka kembali lantaran demi psikologis anak.

Namun demikian, ia meminta pemerintah dapat terus menyesuaikan perkembangan terkini atas tren kasus covid-19. Bila mana pada akhir Juni 2021 terjadi penurunan, kebijakan ini bisa saja diterapkan.

"Kita harus lihat perkembangan sampai akhir Juni dulu, apakah tren (kasus covid) semakin naik atau melandai," katanya pada wartawan, Selasa (8/6/2021).

Syaiful mengingatkan pembelajaran tatap muka tidak dilakukan serentak secara nasional, melainkan berada di tangan Pemda. Dan pihak sekolah pun tidak boleh memaksakan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran tatap muka tersebut.

"Semuanya berada di keputusan orangtua," tegas dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf mengungkapkan, pihaknya sudah meminta Kemendikbud agar hanya membuka sekolah tatap muka terbatas di daerah yang aman serta angka penyebarannya kecil. Peranan pemda dinilainya menjadi penting dalam menerapkan kebijakan ini.

"Artinya kondisi daerah juga sangat perlu diperhatikan. Pemda yang paling paham daerahnya,"

Selain itu, ia juga meminta minta fungsi pengawasannya juga harus melekat, termasuk ada dokter puskesmas atau klinik yang memantau.

"Komite sekolah aktif juga memantau. Dan ini tetap menjadi opsi pilihan bagi orang tua untuk mengambilnya. Artinya jika ada keluarga anak yang komorbid sebaiknya tidak ikutan," ujar Dede.

Ia menilai, keterlibatan sejumlah pihak ini menjadi cara terbaik dalam memulai pembelajaran tatap muka terbatas. Ini untuk menghindari Indonesia dari kehilangan generasi.

"Kami rasa memang ini adalah cara memulai kembali proses belajar mengajar yang tertunda selama ini. Agar jangan terjadi 'Learning Loss' dan generasi 'mager'. Apalagi PJJ selama ini tidak begitu efektif, dan angka anak tidak belajar malah makin tinggi. Bahkan putus sekolah juga meningkat," terang dia.

"Jika kita melihat mal dan tempat wisata sudah dibuka dengan prokes,m maka sekolah juga bisa dibuka dengan prokes yang ekstra ketat juga," demikian Dede.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menilai pemberlakuan sekolah tatap muka terbatas pada Juli 2021 masih jauh dari rasa aman. Sebab saat ini, target vaksinasi covid-19 untuk 5,6 juta guru dan tenaga pendidik masih belum tercapai.

"Keadaan yang sesunggguhnya ada bahwa guru saat ini baru 28 persen yang divaksinasi Covid-19. Itu jauh dari target yang mengajar akan divaksin untuk keamanan," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (8/6/2021).

"Terus lagi belum jelas semua sekolah itu mengerti bagaimana menerapkan prokes. Jadi kalau prokes sekadar memakai masker semua orang mengerti, tetapi soal bagaimana manajemen prokes di sekolah, itu soal yang lain," dia menambahkan.

Karena itu, Unifah meminta Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengikuti instruksi Presiden Jokowi. Dalam perintahnya, Jokowi menegaskan cukup dua jam siswa mengikuti belajar tatap muka terbatas dengan 25 persen dari jumlah siswa.

"Artinya Bapak Presiden enggak ngotot. Menurut saya kemendikbud tidak boleh memaksakan sepihak kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab. Jadi realistis dengan target yang disampaikan Bapak Presiden paling banyak 2 jam per minggu dari 25 persen, nah itu mereka yang benar-benar siap. Kalau itu yang terjadi, saya kira jauh lebih bagus lebih aman," terang dia.

Ia pun pesimistis target semua para pendidik akan divaksinasi pada Agustus 2021 akan tercapai. Sebab melihat data yang ada, kata Unifah, dalam tenggat waktu Januari hingga Juni saja, baru mencapai 28 persen.

"Bagaimana dalam waktu dua bulan bisa tercapai semua. Saya enggak yakin target itu akan tercapai. Jangan 'berjudi', kalau ada apa-apa, apalagi sekarang ada varian baru," ucapnya.

Sebagai jalan tengah dalam menyikapi kondisi pandemi dan sekolah tatap muka ini, Unifah menilai perlu ada skenario terbaik untuk menyiapkan sekolah. Skenario itu di antaranya seluruh guru harus sudah divaksinasi. Namun nyatanya ini masih jauh dari harapan.

"Saya kira kita harus mengikuti presiden, jelas kok arahannya. Dua jam 25 persen. Itu artinya berdasarkan data," tegas dia.

Selain itu, harus juga ada tim pengawasan dengan melibatkan semua pihak. Tim ini dapat memantau setiap gerak gerik siswa saat di sekolah. Namun pengawasan ini diakuinya sulit dilakukan ketika mereka berada di luar zona sekolah.

"Gimana awasi anak-anak coba kalau pas keluar dan masuk, tentu saja melibatkan semua guru, dan orangtua ketika dalam proses pembelajaran ini. Ketika dia (siswa) di jalan, kendaran umum, siapa yang mengawasi? tanya Unifah.

Karena itu, infrastruktur terkait dengan pembelajaran tatap muka terbatas harus disiapkan secara matang. Hal ini agar semua elemen kependidikan dapat melaksanakannya dengan aman dan nyaman.

"Enggak bisa learning by doing, karena ini soal keselamatan manusia," tegas Unifah.

Pandangan yang sama diutarakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mendesak pemerintah untuk tidak gegabah membuka sekolah tatap muka terbatas pada tahun ajaran baru ini. Sebab saat ini, tren kasus covid-19 masih melonjak di beberapa daerah pascalibur lebaran.

Menurut Heru, hanya delapan kabupaten/kota yang masuk dalam zona hijau. Hal ini merujuk pada data Satgas Penanganan Covid-19.

"Sesuai dengan data Satgas Covid-19, per 31 Mei 2021, menunjukkan bahwa hanya ada 8 kabupaten/kota yang berada pada zona hijau dari total 514 kabupaten/ kota yang ada di Indonesia," ucap Heru, Selasa (8/6/2021).

Dengan begitu, lanjut dia, hanya 1,54 persen wilayah kabupaten/kota yang dianggap cukup aman melakukan sekolah tatap muka terbatas dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat.

Heru juga menyoroti persentase vaksinasi di sektor pendidikan. Masih berdasarkan data Satgas Covid-19 per 31 Mei 2021, baru 28 persen guru telah mendapatkan vaksinasi.

"Hanya Pemprov DKI Jakarta saja yang vaksin terhadap gurunya mencapai 78 persen," ungkap dia.

Selain itu, berdasarkan pantauan FSGI, masih ada pula penolakan vaksin dari beberapa guru di sejumlah daerah. Mereka beralasan khawatir pada efek samping dan fakta bahwa orang yang divaksin masih mungkin tertular Covid-19.

"Untuk itu FSGI mendorong PTM diiselenggarakan dengan mengedepankan pembahasan pada materi-materi yang sulit dan sangat sulit di seluruh mata pelajaran, serta mengutamakan materi praktik yang sulit didaringkan," pungkasnya.

Dari data Kemenkes, hingga Selasa (8/6/2021) pukul 12.00 WIB mencatat, sebanyak 1.732.711 tenaga pendidik telah mendapatkan vaksinasi covid-19 dosis pertama. Sedangkan suntikan vaksin dosis kedua, sudah diterima 1.086.998 tenaga pendidik.

Kendati Kementerian Kesehatan mempublikasi jumah tenaga pendidik yang telah menerima vaksin, dalam situs https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines tidak tertera berapa target tenaga pendidik sebagai penerima vaksin.

Hal ini berbeda dengan tenaga kesehatan, pelayanan publik, dan lansia.

Juru Bicara Vaksinasi Siti Nadia Tarmizi belum merespons perihal ini. Yang jelas, Nadia menegaskan vaksinasi terhadap tenaga pendidik telah didistribusikan ke seluruh pelosok daerah di Indonesia.

"Sejak April saat vaksin terbatas. Sudah diprioritas untuk guru dan tenaga pendidik, tinggal pengaturan Pemda kabupaten/kota. Sekarang sudah banyak vaksinasinya tinggal percepatan vaksinasinya di daerah," jelas Nadia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Orangtua Jadi Contoh Perubahan Perilaku

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong agar guru dan orangtua agar menjadi contoh perubahan perilaku bagi anak apabila pembelajaran tatap muka secara terbatas akan dilakukan.

"Kami juga meminta agar orangtua disosialisasi juga. Bukan cuma warga sekolah walaupun yang utamanya warga sekolah," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam konferensi persnya pada Minggu (6/6/2021).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong agar guru dan orangtua agar menjadi contoh perubahan perilaku bagi anak apabila pembelajaran tatap muka secara terbatas akan dilakukan.

"Kami juga meminta agar orangtua disosialisasi juga. Bukan cuma warga sekolah walaupun yang utamanya warga sekolah," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam konferensi persnya, Minggu 6 Juni 2021.

Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati dalam konferensi pers yang sama juga mengatakan bahwa orangtua punya peran untuk mempersiapkan mental anak-anak apabila akan kembali belajar tatap muka.

Rita mengatakan, anak juga harus mendapatkan penjelasan bahwa bertemu teman-temannya merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan manusia untuk bersosialisasi.

"Kemudian ajak ngobrol anak bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan di rumah, misalnya pelajaran yang sering jadi momok, orangtua tidak bisa mengajarkan, maka itu penting diajarkan oleh guru secara langsung di sekolah," katanya.

"Jadi kesiapan mental anak-anak ini juga penting," kata Rita. "Untuk bangun pagi lagi, ini menjadi bagian yang tetap kita ajak mengobrol dari sekarang," lanjutnya.

Dalam rekomendasinya terkait pembelajaran tatap muka, KPAI juga mendorong agar hal itu dilakukan dengan mengedepankan pembahasan materi-materi yang sulit dan sangat sulit di seluruh mata pelajaran, serta mengutamakan praktik yang sulit jika hanya lewat daring.

Mereka juga mendorong agar belajar tatap muka dapat digunakan untuk memberdayakan para guru bimbingan dan konseling, untuk melayani konseling pada anak yang mengalami tekanan psikologis selama pandemi COVID-19.

Selain itu, KPAI juga meminta agar sekolah-sekolah yang mau melakukan proses belajar tatap muka secara terbatas agar menyediakan ruang isolasi sementara bagi anak yang memiliki gejala diduga COVID-19.

Retno mengungkapkan, dalam draf standar operasional yang mereka garap, anak yang datang ke sekolah akan diminta cuci tangan dan diukur suhu tubuhnya.

"Misalnya pas diukur suhunya di atas 37,3, anak ini maka tidak boleh masuk dulu. Dia ditempatkanlah di ruang isolasi sementara," kata Retno.

Menurut Retno, berdasarkan peninjauan mereka, masih banyak sekolah yang menetapkan ruang UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Dia tidak merekomendasikan penggunaan ruang UKS sebagai ruang isolasi sementara.

"Justru harus berada di dekat pintu gerbang. Karena anak ini tidak boleh dulu masuk di lingkungan sekolah. Karena kalau dia positif dan sempat masuk, lebih bisa penyebaran terjadi," ujarnya.

Retno menambahkan, ruang isolasi sementara di sekolah juga tidak harus menggunakan tempat tidur, tetapi tersedia tempat duduk dan dibuat nyaman.

"Di situ pihak sekolah bertanya, tentu yang bertanya harus mengenakan APD. Kemudian akan ditanyakan riwayat, 'apakah habis jalan-jalan sama orangtua?' kalau iya kemana, kapan, keluar kota, berapa lama. Itu ditanyakan dulu," katanya.

Lalu, sekolah pun bisa menghubungi orangtua serta fasilitas kesehatan terdekat yang sudah secara resmi bekerja sama dengan mereka.

"Jadi apakah fasilitas kesehatan yang menjemput atau sekolah yang mengantar itu soal teknis, tetapi pasti akan ada penanganan di sana. Jadi biar diserahkan ke tenaga kesehatan," kata Retno.

Menurut Retno, dengan wawancara riwayat yang dilakukan sebelumnya, maka puskesmas atau faskes bisa dengan lebih mudah untuk melakukan penelusuran.

"Kalau misalnya menunjukkan gejala, sudah demam, pilek, atau batuk, ini berarti sudah betul-betul ada pelibatan. Tentu ini akan lebih cepat penanganannya jika terjadi," demikian kata Retno.

3 dari 3 halaman

Kapasitas 25 Persen

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengungkapkan, kegiatan sekolah tatap muka yang rencananya digelar Juli 2021 harus memiliki daya tampung 25 persen siswa. Jumlah itu menurun dari penetapan sebelumnya yang berkapasitas 50 persen.

"Bapak Presiden meminta pendidikan tatap muka harus dijalankan dengan ekstra hati-hati. Tatap muka terbatas pertama hanya maksimal 25 persen murid. Tidak boleh lebih dari dua hari seminggu," kata Budi dalam keterangan pers secara virtual, Senin 7 Juni 2021.

Selain dua hari seminggu, dia juga menuturkan sekolah tatap muka hanya maksimal dua jam. Kemudian yang tak kalah penting, lanjut Budi, para pendidik juga harus sudah mendapatkan vaksinasi covid-19. 

"Pendidikan tatap muka terbatas, semua guru harus selesai vaksin sebelum dimulai tatap muka," kata Budi.

Sementara itu Presiden Jokowi menyayangkan istilah salah yang beredar terkait dengan pembelajaran langsung di sekolah saat ini. Ia menilai penyebutan yang tepat adalah sekolah tatap muka terbatas, bukan sekolah tatap muka.

“Yang selama ini kurang tepat, yang benar namanya Sekolah Tatap Muka Terbatas. Artinya apa? Satu kelas hanya diisi 25 persen, maksimal pembelajaran 2 jam dan 1 minggu hanya 2 kali,” kata Jokowi dalam pertemuan dengan pimpinan media di Istana Merdeka, Senin 7 Juni 2021.

Menurut Jokowi, pelaksanaan Sekolah Tatap Muka Terbatas harus mulai dicoba. Syaratnya harus melihat kondisi wilayah tersebut yang sudah terkendali. “Negara lain sudah melakukan Sekolah Tatap Muka. Tapi harus ketat protokol kesehatan,” ujar Jokowi.

Sekolah Tatap Muka Terbatas ini juga menurutnya bisa meringankan beban orangtua, murid dan guru. Karena bagaimana pun pembelajaran tatap muka masih tetap diperlukan.

Mengenai beberapa daerah yang mengalami lonjakan kasus yang berlipat-lipat diakui Jokowi sebagai imbas dari libur lebaran. “Sudah empat kali, kalau setiap habis liburan selalu kasus naik,” ujar Jokowi.

Kota-kota yang saat ini mengalami lonjakan peningkatan kasus Covid-19 terlihat dari Bed Occupancy Rate (BOR) atau kapasitas tempat tidur rumah sakit yang di atas 50 persen. Rata-rata BOR nasional yang sebelumnya 32 persen kini menjadi 80 persen.

Pemerintah juga pernah belajar langsung dari India yang pernah mengalami kasus tinggi kemudian turun. Penurunan terjadi karena India melakukan pembatasan di tingkat lokal. Tapi karena ada acara ritual kemudian India mengalami lonjakan lagi.

Sejauh ini menurut Jokowi, pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro masih efektif untuk mencegah penyebaran virus covid-19. “Kita di bulan Januari sampai Mei turun di bawah 100 ribu. Kita pernah Oktober 176 ribu. Sumbernya selalu setelah lbur Panjang,” katanya.