Sukses

Polemik RKUHP, Habiburokhman Usul Pasal Penghinaan Presiden Dialihkan ke Perdata

Menurut Habiburokhman, penanganan kasus penghinaan presiden tak bisa dicampur tangan eksekutif jika ditangani secara perdata.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman turut merespons keberadaan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Ia mengusulkan pasal penghinaan presiden dialihkan ke ranah perdata agar tidak menjadi polemik.

"Baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata sehingga tak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun (bagian) eksekutif," kata Habiburokhman dalam Rapat Kerja bersama Menteri Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Pasalnya, menurut Habiburokhman, jika masih ranah pidana maka kasus itu akan ditangani oleh kepolisian yang masih bagian dari eksekutif, yakni pemerintah. Sementara jika dibawa ke ranah perdata, eksekutif dinilai tak bisa campur tangan.

"Selama ini masih dalam ranah pidana, tuduhan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabisi orang-orang yang berseberangan akan terus timbul, seobjektif apa pun proses peradilannya," kata politiku Gerindra itu.

Terlepas dari itu, Habiburokhman mengaku dirinya amat membenci pasal soal penghinaan presiden. "Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa paling benci nih pasal," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Jaga Wibawa Kepala Negara

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menilai pasal yang mengatur soal pidana penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP bertujuan untuk menjaga wibawa kehormatan kepala negara.

"Karena isi KUHP adalah untuk menjaga wibawa kehormatan Presiden sebagai Kepala Negara, menjaga kehormatan negara untuk presiden NKRI, bukan Presiden hari ini, Pak Jokowi, tapi selamanya," katanya, Selasa (8/6/2021).

Dia juga mengatakan seharusnya publik bisa membedakan kategori menghina, fitnah, dan melakukan kritikan, hingga masukan.

"Itu yang disampaikan dalam pasal tersebut itu kan kategori memfitnah dengan sengaja, niat mens rea, dia benar-benar ditunjukkan kepada Presiden yang tanpa dasar. Presiden kan sebagai simbol negara itu kan harus kita hormati, harus kita lindungi," bebernya.

Sebab itu, kata dia, publik harus membedakan antara pendapat dan kiritikan. Terlebih kata dia dengan sengaja melakukan niat memfitnah.

"Presiden ini kan memang harus kita hormati. Bagaimana ceritanya Kepala Negara kita, Presiden kita, dengan seenaknya memfitnah di media sosial terus diketahui publik. Itu kan terjadi di media sosial, hari ini dunia digital, dunia teknologi itu luar biasa canggihnya," ungkapnya. 

Dia mencontohkan negara-negara yang menganut kebebasan tetapi jika memfitnah presiden atau kepala negara pasti terdapat aturan yang ditetapkan. Misalnya kata dia yaitu Amerika yang sekalipun mengatasnamakan demokrasi pasti ada unsur ancaman hukuman.

"Jangan lagi berdalil kepada sebuah kebebasan berdemokrasi, mengatasnamakan demokrasi yang katanya melakukan kritikan. Nggak ada itu. Kan harus kita jaga," bebernya.