Liputan6.com, Jakarta - Berita yang dimuat Majalah Tempo edisi 2 Maret 2003 berjudul "Ada Tomy di Tenabang" berbuntut panjang. Tomy Winata sebagai pihak yang dituduh menjadi berang.Â
Tomy Winata disebut-sebut mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar dan proposalnya sudah diajukan sebelum pusat grosir tekstil itu terbakar.Â
Baca Juga
Tomy pernah memprotes pemberitaan itu dengan meminta redaksi Tempo meralat pemberitaan yang menyangkut dirinya terkait dengan proyek renovasi Pasar Tanah Abang.Â
Advertisement
Menurut dia, pemberitaan itu telah membunuh karakter dirinya. Selain itu, Tempo juga dianggap tidak memiliki bukti-bukti kuat dan tidak pernah meminta konfirmasi. Akibat pemberitaan itu, dalam wawancara khusus dengan SCTV, Tomy mengaku mendapat teror lewat telepon. Umumnya penelepon mengaku sebagai pedagang Pasar Tanah Abang.Â
Para penelepon itu menurut Tomy, di antaranya menuding dirinya sebagai binatang yang kejam dan ingin mencari untung di atas penderitaan orang lain.
Tuduhan itu, sangat menyakitkan bagi Tomy. Sebab selama ini, menurut dia tak pernah terpikirkan untuk menyentuh pasar yang menjadi sumber penghidupan kelas menengah-bawah itu.Â
Selain itu selama menjadi pengusaha, lanjut Tomy, tak pernah meminta-minta proyek lewat jalur tertentu
Imbas dari pemberitaan Tempo yang menyudutkan Tomy membuat loyalisnya marah.Â
Ratusan orang yang mengaku dari Banteng Muda Indonesia (BMI) dan massa dari Grup Artha Graha (GAG). Mereka mengepung Kantor Redaksi Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat pada Sabtu, 8 Maret 2003 pagi.
Tuntutan mereka adalah agar Tempo meralat atas berita yang dinilai memfitnah bosnya, Tomy Winata. Aparat hukum juga diminta mengusut kasus pencemaran nama baik bosnya.
Wartawan Tempo Ahmad Taufik sempat menemui pengunjuk rasa di gerbang. Ia juga menawari perwakilan pengunjuk rasa untuk berdialog.Â
Mulanya, tawaran ini disambut baik. Sekitar sepuluh orang anak buah TW bersedia berdialog di dalam kantor Tempo. Namun, dialog ini memanas.Â
Buntutnya, sebuah kotak tissue melayang ke arah Ahmad Taufik. Untungnya, dia dapat menangkis serangan itu. Celakanya, kotak itu malah melayang ke wajah Abdul Manan, wartawan Tempo lainnya. Akibatnya, wajah Abdul Manan berdarah.
Menghindari suasana yang semakin kisruh, polisi akhirnya memindahkan para wakil massa dan Majalah Tempo yang sedang bernegosiasi di kantor majalah itu ke Markas Polres Metro Jakpus.
Setelah bernegosiasi selama sejam di Mapolres Metro Jakpus yang dipimpin Kepala Polres Metro Jakpus Ajun Komisaris Besar Polisi Sukrawardi Dahlan, wakil Majalah Tempo dan wakil pengunjuk rasa tetap tak sepakat. Kedua pihak hanya setuju kasus ini akan diselesaikan di meja hijau.Â
Ketegangan antara Tomy Winata dengan Tempo terus berlanjut. Kali ini bertolak pada ranah perdata.Â
Dikutip dari Majalah Tempo, Bos Grup Artha Graha itu melayangkan beberapa gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Pertama, Tomy menunjuk Otto Cornelis Kaligis sebagai penasihat hukum untuk mengugat PT Tempo Inti Media (penerbit Majalah TEMPO), Zulkifli Lubis (pemimpin perusahaan), Bambang Harymurti (pemimpin redaksi), Fikri Jufri (pemimpin umum), Toriq Hadad (wakil pemimpin redaksi), Ahmad Taufik (penulis Ada Tomy di Tenabang?), Bernarda Rurit, dan Cahyo Junaedy (wartawan).
Gugatan terdaftar dengan Nomor perkara 223/PDT.G/2003/PN.JKT.PST. Dalam gugatannya, Tomy menyatakan berita berjudul "Ada Tomy di Tenabang" adalah hoaks. Alasannya, Tomy merasa tidak pernah mengajukan proposal dan tidak pernah memperoleh proyek renovasi Pasar bermagnitudo sebesar Rp 53 miliar.Â
Dia juga kecewa dengan istilah 'pemulung besar'. Karena itu, Tomy meminta berita itu dicabut melalui media massa, nama baiknya dipulihkan, dan Tempo membayar ganti rugi Rp 200 miliar.Â
Pada gugatan ini, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Soenarjo menyimpulkan berita 'Ada Tomy Di Tenabang?' telah melanggar hak subjektif Tomy Winata dan mencemarkan nama baiknya.Â
Tempo dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi immateriil sebesar Rp 500 juta. Majelis hakim menilai Tempo membuat berita yang sepihak dan tidak dapat membuktikan adanya proposal yang dituduhkan kepada Tomy Winata.
Majelis hakim juga memutuskan agar Tempo membayar uang paksa sebesar Rp 300 ribu per hari serta memasang iklan penyesalan selama tiga hari berturut-turut di tiga media cetak nasional.Â
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
PT DKI Batalkan Putusan
Namun Pengadilan Tinggi DKI membatalkan putusan ini pada awal September 2004, juga dengan pertimbangan bahwa perbuatan melawan hukum sebagai dasar gugatan dalam perkara tersebut bukan perbuatan melawan hukum biasa sehingga putusan harus diambil dengan mempertimbangkan UU Pers.
Kedua, gugatan didaftarkan oleh kantor Klinik Hukum 24 Jam, terhadap Ahmad Taufik dan PT Tempo Inti Media. Ini karena tulisan Ahmad Taufik Kronologi Penyerbuan Tomy Winata ke Tempo dianggap sebagai fitnah dan mencemarkan nama baik Tomy.Â
PT Tempo Inti Media juga digugat karena dianggap harus bertanggung jawab atas perbuatan wartawannya. Kali ini Taufik dan Tempo diminta menyampaikan permohonan maaf melalui media massa plus membayar rugi Rp 120 miliar.Â
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya menolak gugatan terhadap wartawan Tempo Ahmad Taufik dan PT Tempo Inti Media yang diajukan Tomy Winata tersebut. Hakim Saparudin Hasibuan mengatakan gugatan perdata yang diajukan itu kurang pihak.
Seharusnya, pihak penggugat menyertakan situs detik.com dan reporternya Didi Supriyanto dalam berkas gugatannya. Akibat gugatan kurang pihak, hakim Saparudin menggugurkan gugatan perdata itu dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara Rp 389 ribu.Â
Selain itu, majelis hakim juga mengabulkan tuntutan rekonvensi yang diajukan pihak tergugat Ahmad Taufik dan PT Tempo Inti Media.Â
Belajar dari kasus Tempo, Denny J.A dalam bukunya membangun Demokrasi Sehari-Hari mengatakan kebebasan pes memang perlu dilindungi diri aneka kekerasan dan intimidasi pihak lain. Namun, kebebasan pers juga perlu dilindungi dari lemahnya prosedur dalam kontrol akurasi berita pihak pers sendiri.Â
Terutama untuk berita yang sensasional, yang dapat membangkrutkan pihak lain, atau mengancam keselamatan pihak lain. harus ada prosedur yang berlapis. Jika tidak, kebebasan justru malah memperbanyak jumlah korban akibat kesalahan pers sendiri.Â
Advertisement