Liputan6.com, Jakarta Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, Indonesia belum memiliki sosok panutan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Saut berharap Indonesia memiliki panutan agar bisa dijadikan contoh bagi yang lain.
"Kita berdoa saja sampai tiga tahun ke depan, karena itu cara dari yang paling tinggi (berdoa) agar bisa ada pemimpin yang menjadi role model pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Saut dalam diskusi virtual, Jumat 11 Juni 2021.
Maka dari itu, Saut berharap masyarakat terus terlibat dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan terus bergerak saat melihat upaya pelemahan pemberantasan korupsi seperti sekarang ini, salah satunya lewat KPK.
Advertisement
Saut menyatakan dukungannya kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) yang melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri karena menumpangi helikopter dalam perjalanan Palembang-Baturaja. ICW melaporkan Firli ke Bareskrim dan Dewan Pengawas KPK.
Di Bareskrim Polri, Firli dilaporkan atas dugaan penerimaan gratifikasi. Sementara kepada Dewan Pegawas KPK, Firli dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik lantaran dianggap tidak jujur.
"Kita tidak boleh berhenti melawan. Jangan pernah berhenti di Bareskrim dan Dewas KPK, (melapor kepada) Kejaksaan juga bisa, ada Sub Direktorat Korupsi juga kan di sana," kata Saut.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Laporan ICW
Sebelumnya, pelaporan ICW terhadap Firli ke Dewas KPK bukan kali ini terjadi. Pada 2020, ICW juga melaporkan Firli ke Dewas atas dugaan etik dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Kali ini, laporan yang dilayangkan ICW berkaitan dengan penggunaan helikopter yang dilakukan Firli saat perjalanan Palembang-Baturaja. Terkait ini, ICW juga sudah melaporkan dugaan penerimaan gratifikasi oleh Firli ke Bareskrim Polri.
"Ini terkait dengan pelaporan pidana yang sudah kami sampaikan ke Bareskrim Polri, namun kali ini bukan masalah pidananya, namun masalah etik yang diatur dalam peraturan Dewas Nomor 2 tahun 2020 terutama pasal 4 yang mengatur bahwa setiap insan KPK salah satunya pimpinan KPK harus bertindak jujur dalam berperilaku," kata Kurnia.
Kurnia menyebut, Firli tak bersikap jujur saat menyewa helikopter tersebut. Firli tak melaporkannya kepada lembaga yang kini dia pimpin.
Kurnia memastikan, laporan yang dia layangkan kali ini berbeda dengan putusan etik Firli sebelumya terkait penyewaan helikopter ini. Firli diketahui sudah dijatuhkan sanksi etik ringan oleh Dewas dalam penyewaan helikopter tersebut.
Saat itu, Dewas menyatakan Firli melanggar kode etik berupa gaya hidup mewah. Kini, yang dilaporkan ICW berkaitan dengan ketidakjujuran Firli soal nilai penyewaan helikopter tersebut. Menurut ICW, sejatinya Dewas KPK menyelisik lebih dalam kwitansi penyewaan helikopter yang diberikan Firli.
"Harusnya kuitansi itu ditelusuri karena nilainya sangat janggal, kalo kita cermati lebih lanjut, 1 jam penyewaan helikopter yang didalilkan oleh Firli sebesar Rp 7 juta, kami tidak melihat jumlahnya seperti itu, karena 4 jam sekitar Rp 30 juta justru kami beranggapan jauh melampaui itu, karena ada selisih sekitar Rp 140 juta yang tidak dilaporkan oleh ketua KPK tersebut," kata Kurnia.
Dari informasi yang didapatkan ICW, harga penyewaan helikopter jenis Eurocopter (EC) kode PK-JTO yang ditumpangi Firli itu sekitar Rp 39 juta perjam. Sementara Firli menyebut menyewa helikopter tersebut Rp 7 juta per jam.
"Kami melampirkan beberapa temuan kami tekait dengan perbandingan harga penyewaan helikopter di beberapa perusahaan. Dan memang angka disampaikan Firli dalam persidangan Dewas tersebut yang tercantum dalam putusan Dewas sangat janggal dan apalagi helikopter yang digunakan adalah helikopter yang mewah," kata Kurnia.
Advertisement