Liputan6.com, Jakarta Judul berita itu berbunyi Pitoeng Tertangkap. Cerita yang memakan dua kolom surat kabar ukuran broad sheet tersebut menjelaskan kematian Pitung setelah disergap kepolisian Belanda wilayah Tanah Abang pimpinan Schout A.W.V. Hinne. Demikian berita yang dimuat di halaman ketiga koran Hindia Olanda edisi 16 Oktober 1893.
Berita tersebut merupakan satu dari sedikit bukti bahwa tokoh banyak diduga fiktif itu ternyata tercatat dalam sejarah. Artinya sosok Pitung itu benar-benar ada, bukan fiksi.
Hindia Olanda merupakan surat kabar berbahasa Melayu Pasar. Surat kabar yang terdiri atas empat halaman dan dikepalai P.A. Anthonijs itu terbit setiap hari kecuali Minggu dan hari besar.
Advertisement
Identitas Pitung terungkap melalui Hindia Olanda edisi 10 Oktober 1892. Pitung disebut sebagai perampok yang menggasak rumah Nyonya D.C. yang terletak di Kebon Jahe. Dalam laporan perampokan tersebut, Pitung memiliki nama asli Salihun.
Laporan lain dari Hindia Olanda bertarikh 9 Agustus 1892 menyebutkan penggeledahan rumah Pitung di Sukabumi. Sejarawan Universitas Indonesia Rushdy Hoesein mengatakan Sukabumi merupakan perkampungan Betawi yang terletak 7 kilometer dari pusat Kota Batavia ketika itu, Weltevreden--sekarang kawasan Istana Negara. Menurut dia, daerah ini terkenal sebagai perkebunan bunga dan peternakan kambing. "Sukabumi adalah nama lain dari Rawabelong," ujar Rushdy.
Rushdy mengatakan Rawabelong pada masa kehidupan Pitung termasuk sebagai daerah Betawi pinggiran. Warga Rawabelong ketika itu berbeda dengan Betawi yang lebih dekat ke pusat kota seperti Tanah Abang, Senen, dan Sawah Besar.
Perbedaan mencolok adalah soal penampilan. Warga Betawi di pusat kota, katanya, punya penampilan necis, sedangkan warga Rawabelong masih memakai pakaian sederhana. Pakaian warga Betawi yang berada di luar pusat kota, ujar dia, hanya terbatas pada warna hitam dan putih.
Sayangnya, Hindia Olanda tidak pernah melaporkan tanggal kelahiran Pitung. Hanya beberapa tokoh senior Betawi yang berani menyebutkan usia Pitung saat dilaporkan meninggal pada 1893. Ridwan Saidi, misalnya, memperkirakan Pitung lahir pada 1866 atau 150 tahun yang lalu.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Menguak Kesaktian Pitung
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan Pitung merupakan tokoh sentral bagi masyarakat Betawi. Karakter Pitung, katanya, dianggap merefleksikan jati diri masyarakat ini. Beberapa karakter khas Pitung tersebut di antaranya pemberani, pembela kebenaran, penolong orang, sederhana, dan punya pemahaman agama kuat.
"Pitung merupakan segala-galanya bagi mereka (orang Betawi)," katanya ketika ditemui di Jakarta, Senin (8/2/2016).
Pria yang mendalami seni tutur Betawi ini mengatakan karakter-karakter Pitung ini diabadikan melalui kesenian tradisional seperti sohibul hikayat, lenong, topeng Betawi. Namun, dia melanjutkan, seniman-seniman juga memberikan pemahaman baru mengenai Pitung dengan menyebutnya sebagai orang sakti.
Beberapa kesaktian Pitung yang diceritakan melalui seni tutur antara lain kemampuan mengubah diri menjadi ayam, bisa menghilang, dan menguasai ilmu kebal.
Menurut Yahya, sulit membuktikan kesaktian Pitung. Dia hanya bisa memastikan Pitung menguasai main pukulan--istilah Betawi untuk seni bela diri. Menurut dia, orang Betawi pada masa lalu memang harus memiliki ilmu bela diri. Pada tingkatan tertentu, orang yang mempelajari ilmu bela diri akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan energi positif untuk menaklukkan lawan.
Berita Hindia Olanda membalikkan anggapan mengenai kesaktian Pitung. Pada 25 April 1892, koran ini melaporkan pengakuan sipir penjara ihwal kaburnya Pitung dari penjara Meester Cornelis--sekarang Jatinegara.
Sipir penjara mengaku meminjamkan perkakas dan tambang kepada Pitung. Perkakas itu kemudian digunakan Pitung dan temannya Ji'i untuk kabur dari penjara. Mitos yang berkembang menyebutkan Pitung bisa kabur dari penjara menggunakan ilmu menghilang.
Cerita kematian Pitung yang dilaporkan Hindia Olanda pada 14 Oktober 1893 juga mematahkan ilmu kebal Pitung. Pendekar Betawi ini disebut terluka akibat empat peluru yang bersarang di kaki, dada kanan, pinggang, dan bokong.
Terdapat setidaknya tiga polisi yang menyergap Pitung. Peluru yang bersarang di dada kiri Pitung berasal dari senapan Schout Hinne. Pitung sendiri sempat balas menembaki polisi menggunakan dua revolver di tangannya. Namun, tembakan Pitung tak sempat melukai para polisi.
Pitung yang terluka parah dilarikan ke Stadverband--rumah sakit untuk orang pribumi--yang terletak di Glodok. Pendarahan hebat membuat Pitung meninggal pada hari yang sama pukul 19.00 di rumah sakit. Anggota keluarga Pitung sempat mendatangi rumah sakit untuk meminta jenazah Pitung. Namun permintaan itu ditolak polisi.
Koran Hindia Olanda menyebutkan Pitung dimakamkan 22 jam setelah kematian oleh Kepolisian Belanda di kawasan Krekot yang berada dekat Pasar Baru. Krekot ketika itu merupakan kebun tak berpenghuni di pinggiran Weltevreden.
Sejarawan Universitas Indonesia yang mempelajari kolonialisme dan pergerakan kemerdekaan, Rushdy Hoesein, mengatakan catatan Hindia Olanda membuktikan Pitung tak sesakti yang diceritakan orang. Menurut dia, Pitung meninggal akibat pendarahan setelah ditembus peluru. "Tembakan paling berbahaya di dada kanan," ujar dia.
Rushdy mengatakan Krekot dipilih sebagai tempat penguburan Pitung karena Kepolisian Belanda tak ingin kuburan Pitung diziarahi keluarga dan orang Betawi. Penjagaan kuburan Pitung dilakukan sangat ketat. Apalagi, dia melanjutkan, terdapat pos polisi Pasar Baru yang sangat dekat dengan Krekot.
Â
Advertisement
Motif Kesaktian Pitung
Rushdy menduga terdapat motif pribadi dan kolonial di balik berkembangnya cerita mengenai kesaktian Pitung. Dia menyebut Schout Hinne merupakan polisi rendahan--setingkat Kepala Kepolisian Sektor--yang berambisi mendapatkan jabatan lebih tinggi.
Hinne, katanya, telah mempelajari psikologi masyarakat Betawi ketika itu. Ketika dihadapkan pada perampok ulung seperti Pitung, Hinne menemukan cara untuk mendapatkan jabatan itu. "Hinne ikut menyebarkan cerita soal kesaktian Pitung," ujar dia.
Menurut Rushdy, Hinne mendapatkan penghargaan tinggi ketika dianggap berhasil menaklukkan pendekar sakti seperti Pitung. Akibatnya, Hinne mendapat promosi jabatan hingga memimpin Kepolisian Belanda untuk kawasan Batavia. Setelah kembali ke negaranya, Hinne mendapat uang dan penghormatan yang cukup besar.
Cerita kesaktian Pitung, kata Rushdy juga dimanfaatkan pemerintah kolonial. Menurut dia, cerita bahwa orang sakti yang jahat bisa ditaklukkan pemerintah kolonial mengisyaratkan bahwa penguasa lebih hebat ketimbang tokoh yang dipuja masyarakat.
"Pemerintah kolonial ingin menciptakan keteraturan dengan menciptakan cerita kesaktian ini," ujar Rushdy.
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan cerita kesaktian Pitung pertama kali disebarkan melalui gambar kromong dan rancak Betawi. Sampai akhirnya pada 1920, cerita kesaktian Pitung disampaikan melalui seni lenong yang tengah berkembang.
"Lenonglah yang kemudian melestarikan cerita Pitung hingga sekarang," katanya.
Yahya menyebutkan lenong Pitung merupakan salah satu pertunjukan berpengaruh di masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi yang menetap di Tangerang hingga kini masih berbondong-bondong menonton ketika ada pementasan lenong.
Seniman lenong, katanya, juga senang mementaskan cerita Pitung. Musababnya, warga semakin gencar nyawer ketika Pitung mulai bertarung dengan polisi Belanda. Apalagi ketika Pitung mengeluarkan kesaktian dan silatnya untuk menaklukkan lawan.
Pengelola Sanggar Si Pitung, Bachtiar, menyebutkan memang tidak ada yang bisa memastikan kesaktian Pitung. Namun, dia meyakini Pitung menguasai ilmu bela diri.
"Dia menguasai main pukulan Rawabelong," katanya. Silat Rawabelong bernama silat cingkrik ini mengajarkan kelincahan, keberanian, dan ketaatan terhadap ilmu agama.
Menurut dia, silat Rawabelong sudah ada pada zaman Pitung dibesarkan. Namun, baru belakangan bela diri itu dikembangkan dan dinamakan menjadi silat cingkrik. Ihwal kesaktian tubuh Pitung yang selalu utuh kembali meski dipotong-potong--disebut ilmu rawarontek, Bahctiar menyebut bisa dipelajari di daerah Menes, Banten.
Liputan6.com menyambangi sesepuh silat Cimande di Menes, Mbah Kemed. Jawara berusia 80-an tahun ini mengaku sudah lama mendengar ilmu rawarontek. Namun, hingga saat ini dia tidak pernah mengetahui di mana bisa mempelajari ilmu kanuragan ini. Kemed sendiri mengaku sudah berkelana ke banyak perguruan silat untuk menimba ilmu bela diri.
Â
Reporter: FX. Richo Pramono
(Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Journal Liputan6: Jejak Si Pitung, Pendekar Betawi, Edisi Selasa 16 Februari 2016)