Sukses

HEADLINE: Perayaan HUT ke-494, Apa PR Besar Jakarta yang Belum Terselesaikan?

Jakarta yang hampir berusia 5 abad seharusnya menjadi kota yang semakin matang, namun sejumlah persoalan klasik masih menjadi PR besar di depan mata. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, 22 Juni 2021, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta merayakan Hari Ulang Tahunnya (HUT) yang ke-494. Usia yang tak lagi muda seharusnya membuat kota yang dulu bernama Sunda Kelapa ini menjadi lebih matang.

Namun, di usianya yang hampir 5 abad, Jakarta masih saja dihadapkan dengan persoalan-persoalan klasik seperti kemiskinan, kriminalitas, kemacetan, hingga banjir. Persoalan itu semakin diperparah dengan adanya bencana nonalam pandemi Covid-19 yang juga melanda sebagian besar belahan dunia.

Hampir 1,5 tahun energi Jakarta difokuskan pada pengendalian pandemi Covid-19. Alih-alih berhasil, Jakarta justru mendapatkan kado pahit jelang hari ulang tahunnya, yakni rekor penambahan kasus Covid-19 harian mencapai 5.582 pasien pada Minggu 20 Juni 2021.

Angka tersebut merupakan penambahan kasus harian tertinggi sejak virus Corona ditemukan di Jakarta. Ironisnya, kondisi itu terjadi setelah beberapa waktu lalu DKI Jakarta sempat berhasil keluar dari kategori zona merah risiko penularan Covid-19.

Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menuturkan, penambahan usia pada sebuah kota berbeda dengan menuanya umur manusia.

Menurut dia, bertambahnya usia kota seharusnya selaras dengan peningkatan kemampuan yang dimiliki.

"Artinya, kota itu mampu semakin dinamis, sistem pelayanan transportasi semakin cepat, semakin mudah, nyaman, dan murah. Teknologi smart city semakin unggul, jadi kota yang maju, betul-betul dalam konteks kota yang makin matang dengan pengalaman, makin banyak melakukan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (22/6/2021).

Yang terjadi saat ini, Jakarta justru masih terjebak dengan persoalan masa lalu yang belum sepenuhnya berhasil ditangani. Beberapa persoalan klasik yang belum terselesaikan antara lain banjir, kemacetan, kebakaran, krisis air bersih, hingga pengelolaan sampah.

"Satu yang paling berat untuk Jakarta ini adalah membangun warganya. Kalau membangun fisiknya oke itu bisa dilakukan, tapi membangun warga Jakarta menjadi warga yang berkota. Kita ini belum menjadi kota, masih berkota artinya menuju menjadi orang kota," ujar Yayat.

Dia menilai Jakarta tidak akan maju jika warganya masih berwatak katrok, tidak disiplin, suka buang sampah sembarangan, dan gemar melanggar aturan-aturan lainnya. Problem Jakarta, kata dia, selalu ketika warganya berusaha maju ada sebagian yang justru bergerak mundur.

Yayat mencontohkan, ketika Pemprov DKI mendukung aktivitas bersepeda dengan berbagai fasilitas infrastruktur yang memadai, justru tidak dimanfaatkan dengan baik. Masih banyak orang yang bersepeda tidak pada jalurnya.

"Masih suka-suka lah itu, artinya PR terbesar buat Jakarta adalah bukan hanya pada persoalan pembangunan fisik, tapi bagaimana membangun orang-orangnya ini. Jadi Jakarta yang berubah bukan sekedar kota yang menjadi maju, tapi bagaimana warganya berpikir maju juga," tutur dia.

Selain pandemi Covid-19, persoalan yang perlu menjadi fokus saat ini adalah transportasi umum karena menyangkut mobilitas masyarakat. Menurut Yayat, transportasi publik di Jakarta masih belum terintegrasi. Terbukti masih banyak warga yang beraktivitas menggunakan mobil pribadi.  

Persoalan lain yang tidak bisa dikesampingkan yakni terkait pengelolaan sampah dan limbah, sanitasi, air bersih, hingga polusi. Menurut Yayat, Jakarta betul-betul mengalami krisis ketersediaan air bersih yang layak konsumsi, sebab belum semua warga terfasilitasi PAM. Masih banyak warga Jakarta yang memanfaatkan air tanah.

Eksploitasi air tanah secara besar-besaran membuat Jakarta terus mengalami penurunan permukaan tanah, sementara laut semakin tinggi. "Maka dikhawatirkan Jakarta bakal tenggelam di tahun 2050."

Permasalahan-permasahalan di Jakarta datang begitu cepat, berbanding terbalik dengan kemampuan mengatasinya. Ibaratnya, permasahalan yang muncul di Jakarta bisa dihitung dengan deret ukur 5, 10, 15, 25, dan seterusnya. Sementara kemampuan penanganannya hanya berderet 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya.

"Kita (kemampuan penanganannya) baru sampai 5, masalahnya sudah sampai 25, seperti menghadapi Covid-19 ini lah. Jakarta tuh babak belur gara-gara covid dan itu menunjukkan masalahnya itu cepat banget dibandingkan dengan kemampuan kita mengatasi masalah itu," ujar Yayat.

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menyoroti kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menangani pandemi Covid-19, tidak konsisten. Belum lagi peraturan yang dibuat kerap tidak sesuai dengan implementasinya di lapangan.

Menurut dia, penanganan Covid-19 di Jakarta lebih fokus kepada dampak ekonominya, seperti soal daya beli masyarakat, konsumsi rumah tangga, hingga penyelamatan pelaku usaha. Sehingga penanganan kesehatan yang meliputi penularan sebagai sumber utama menjadi kurang tertangani.  

"Jadi hal-hal yang menurut saya merupakan komplementer dan bukan yang utama, karena sumber utamanya kan di penularan covidnya itu, kesehatannya," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (22/6/2021).

Meski begitu, dia menilai, mengembalikan kebijakan menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti dulu di awal pandemi, kurang tepat. Di samping itu, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini berlaku juga dinilai tidak efektif.

"Perlu ada evaluasi lagi dari PP 21/2020 yang merupakan turunan mengenai PSBB. Sudah saatnya itu dievaluasi, karena kebijakan mengikuti varian baru, dengan penanganan yang ada saat ini tidak korelatif," tuturnya.

Selain pandemi, persoalan lain yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar DKI Jakarta adalah kemacetan lalu lintas dan bencana banjir. Penanganan dua persoalan klasik itu dinilai tidak semakin baik.     

"Yang dulu enggak banjir sekarang jadi banjir, artinya meluas banjirnya karena penanganannya tidak dilakukan secara komprehensif dan lebih baik. Misal bagaimana masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan tempat kumuh itu dicarikan solusi, ternyata sekian puluh tahun tidak banyak berubah," kata Trubus.

Masalah permukiman padat penduduk di Ibu Kota juga masih menjadi PR besar Pemprov DKI Jakarta. Trubus menyoroti persoalan di kawasan padat penduduk rawan dilanda kebakaran. Bahkan tingkat fatalitasnya tinggi lantaran petugas pemadam kerap kesulitan mengakses ke titik api. 

"Misal di Kramat pernah terjadi kebakaran hebat dan masyarakat bingung keluar dari mana, sebab tinggal di pemukiman padat penduduk rumah mereka penuh, orang banyak yang meninggal, dan itu berulang-ulang," ucapnya.

Namun begitu, Trubus enggan menyebut Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan mengalami kemunduran. Sebab Jakarta era Anies masih menorehkan sejumlah prestasi, salah satunya mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam tata kelola keuangan.

Kendati dia memberikan banyak catatan kritis kepemimpinan Anies dalam empat tahun terakhir menakhodai Jakarta. Pertama, dalam hal penataan kota, Anies dinilai hanya fokus mempercantik kawasan protokol, yakni Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. 

Trubus juga mempertanyakan soal tindak lanjut Formula E yang hingga kini belum jelas, padahal DKI telah menggelontorkan dana hampir Rp 1 trilun untuk gelaran berskala internasional itu. Dia khawatir Formula E bisa jadi bom waktu seperti proyek pengadaan lahan rumah DP 0 rupiah di Munjul. 

"Kemudian juga soal reklamasi katanya ditutup, tapi ada yang masih jalan," ujarnya.

Dari sektor birokrasi, dia menyoroti banyaknya jabatan yang diemban pelaksana tugas (Plt) lantaran minimnya minat aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan DKI Jakarta mengikuti lelang jabatan. "Kemudian kenapa TGUPP malah jadi gemuk dengan peran yang overlaping dengan orang-orang Pemprov," kata Trubus.

"Jadi saya lihat, ini bukan gagal tapi enggak optimal. Seperti Sekda sekarang, seperti tidak bertaji apa-apa, beda dengan Pak Syaifullah," dia menandaskan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kembali ke PSBB Ketat

Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menuturkan, penanganan Covid-19 di DKI Jakarta relatif lebih baik ketimbang daerah-daerah lain. Meski lonjakan kasus tinggi, dalam hal keep finding, DKI adalah yang terbaik karena upaya testing-nya sudah jauh di atas batas minimal Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Sedangkan di provinsi lain sangat jarang mencapai batas minimum itu. Ya sekali-kali pernah, tapi yang banyak enggak pernah. Malah jauh di bawah batas minimum WHO per minggu yang harusnya seperseribu jumlah penduduk per minggu," kata Windhu saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (22/6/2021).

Kini yang jadi PR Pemprov DKI Jakarta adalah treatment setelah ditemukan banyak kasus positif lewat upaya testing dan tracing yang masif. Dia pun mengapresiasi langkah pemerintah yang terus menambah fasilitas isolasi bagi warga yang terpapar virus Corona.

Dia berharap, pemerintah tidak mengizinkan warganya melakukan isolasi mandiri, terlebih jika tempat tinggalnya tidak memadai. Sebab isolasi mandiri di rumah berpotensi menciptakan klaster keluarga apabila tidak dilakukan dengan disiplin.  

"Makanya yang diperlukan harusnya ruang-ruang isolasi itu memang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Saya kira banyak yang bisa dipakai untuk ruang-ruang isolasi kan. Misalnya asrama-asrama yang tidak terpakai, atau kampus, mumpung belajar masih di rumah bisa dipakai untuk ruang-ruang isolasi," ucap Windhu.

"Karena temuan kasus kalau tanpa diimbangi isolasi yang banyak ya sama saja. Tujuan penemuan kasus kan agar sebanyak mungkin kasus yang positif bisa diputus penularannya," sambungnya.

Dia juga mengkritisi keputusan pemerintah pusat yang tidak menarik rem darurat, padahal lonjakan kasus Covid-19 terjadi di banyak daerah, termasuk Jakarta. Menurut dia, seharusnya pemerintah kembali menerapkan PSBB ketat pada daerah zona merah seperti di awal pandemi.

"Kalau kita mau jujur, sudah berbulan-bulan PPKM Mikro kan gagal, artinya tidak efektif. Loh kok malah masih dipertebal. Padahal yang paling penting adalah membatasi mobilitas antarwilayah. Daerah yang berisiko tinggi itu tidak membanjiri daerah lainnya. Jadi harusnya PSBB paling rendah itu ya di tingkat kabupaten/kota atau sekalian di tingkat provinsi," kata Windhu.

Kendati begitu, seharusnya, Pemprov DKI Jakarta berani mengambil kebijakan tegas mengembalikan PSBB ketat sebagai upaya memutus laju penularan Covid-19. Dia menilai meningkatnya kasus Covid-19 di Jakarta selain karena adanya varian baru, juga tingginya mobilitas warga. 

"Kan PR-nya penularan, ya jangan sampai penularan meluas, ya PSBB ketat. Daerah kan boleh tidak mesti sama persis dengan yang diminta pusat yaitu PPKM Mikro. Memang PSBB mesti atas persetujuan menteri, saya kira Menteri Kesehatan kita bagus ya," tutur Windhu.

Dia mengingatkan, Indonesia cukup berpengalaman menghadapi wabah dan kejadian luar biasa, seperti difteri. Bahkan Indonesia pernah melalui pandemi flu spanyol pada 1918 silam.

"Yang dilakukan semuanya sama, kalau ada wabah penyakit menular yang dikerjakan pertama kali adalah mencari kasusnya. Kalau Anda enggak bisa mencari kasusnya, Anda tidak akan pernah mengendalikan wabah itu," katanya.

"Kenapa kasus itu harus dicari? Karena kasus itu penular, selain itu kalau enggak ditemukan dia bisa mati. Jadi dua, menyelamatkan orangnya supaya dia tidak mati, kedua menyelamatkan orang lain supaya tidak ditulari oleh orang ini. Itu adalah prinsip di dalam penanganan pandemi. Keep finding, itu pakem di dalam ilmu kesehatan masyarakat. Gimana caranya buat menemukan kasus? Tracing, testing dan tracking," ujar Windhu menandaskan.

3 dari 3 halaman

Jakarta Bangkit

"Jakarta Bangkit" menjadi tema peringatan hari jadi ke-494 DKI Jakarta, Selasa, 22 Juni 2021. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berharap tema ini menjadi refleksi bagi seluruh warga Jakarta agar terus bangkit menghadapi kondisi sulit seperti pandemi Covid-19.

Saat memimpin upacara perayaan hari jadi Jakarta, Anies mengingatkan, setiap orang yang datang ke Jakarta sudah sadar tidak akan mudah tinggal di Ibu Kota. Namun, semua kesulitan bisa dihadapi dengan kesiapan mental.

Secara perlahan, kata Anies, orang-orang dengan bekal hidup terbatas mampu terus bertahan di Jakarta atas tekad tangguh yang mereka miliki.

"Kota ini menjadi saksi ratusan ribu jutaan orang datang dengan bekal ala kadarnya dan di kota ini kesempatan dibuka, sehingga bekal itu telah menjadi kemajuan, terjadi perubahan pada kondisi ekonominya," katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu kembali mengingatkan, warga Jakarta memiliki karakter khas, yaitu keluar dari zona nyaman untuk menghadapi segala tantangan dan terus bangkit.

Untuk itu, belajar dari sejarah masyarakat berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan modal ala kadarnya, Anies optimistis masa pandemi Covid-19 yang sulit saat ini akan mampu dihadapi warga.

"Ini adalah generasi ulet, generasi ini adalah generasi yang sanggup untuk menghadapi tantangan. Allah mentakdirkan angkatan ini menjadi angkatan yang siap menghadapi pandemi," ucap Anies.

Lebih lanjut, Anies pun percaya Jakarta akan menjadi lebih baik bagi semua individu yang ada di dalamnya. Dia mengatakan, hal ini dapat terlihat saat pandemi Covid-19 yang tengah dilewati.

"Jakarta akan menjadi kota yang terbaik, lebih baik, Jakarta menjadi kota yang lebih ramah kepada semua, Jakarta menjadi kota yang lebih berketahanan warganya, merasakan kebahagiaan," katanya.

Anies yakin, Jakarta adalah kota yang selalu dalam keberkahan Allah dalam segala situasi. Terlebih pada pandemi Covid-19 ini yang harus tetap dijalani dengan ikhlas.

"Ini adalah sebuah masa yang tidak mudah, ini adalah masa yang penuh tantangan, ini masa yang sering disebut sulit, tapi Insyaallah kita jalani ini dengan keikhlasan," kata Anies Baswedan penuh optimisme.

Anies mendorong agar warga Jakarta bisa terus menjalani hidup di tengah pandemi dengan komitmen yang tinggi dan tanggung jawab penuh untuk saling melindungi. Salah satunya dengan serius disiplin menegakkan protokol kesehatan. 

"Tanggung jawab pada diri kita masing-masing adalah untuk meneruskan sejarah umat manusia di kota ini meneruskan sejarah orang-orang tangguh di kota ini meneruskan sejarah gemilang dari generasi ke generasi sebelumnya demi masa depan yang lebih baik," kata Anies menandasi. 

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi menilai, peringatan HUT ke-494 DKI Jakarta bukanlah suatu prosesi seremonial semata. Menurut dia, peringatan tahunan ini harus bisa menjadi momentum untuk introspeksi dan mengevaluasi sejumlah hal yang telah dilakukan.

"Kita melihat dan mengkomparasikannya dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai, sekaligus memproyeksikan pencapaian yang harus diwujudkan ke depan," kata Prasetio saat rapat Rapat Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota, Selasa (22/6/2021).

Prasetio melanjutkan, momentum HUT Jakarta merupakan tanggung jawab bersama dari penyelenggara ekskutif dan legislatif, dalam hal ini adalah pemerintahan daerah, mulai dari Gubernur dan Wakil Gubernur beserta jajaran pemerintah daerah dan DPRD Provinsi DKI Jakarta.

"Hal ini untuk dapat mewujudkan sinergi penyelenggaraan pemerintahan," kata dia.

Dia meyakini, tema Jakarta Bangkit pada HUT ke-494 ini akan menandakan upaya Jakarta bersama segenap warganya, yaitu mulai dari menata perekonomian, kehidupan sosial, dan pembangunan berkelanjutan.

"Untuk mendukung hal tersebut perlu menata perekonomian dengan melakukan percepatan penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur strategis, Dirgahayu Kota Jakarta," tandas Prasetio.