Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 meningkat tajam beberapa pekan belakangan. Korbannya bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak.
Angka infeksi pada anak usia 0-18 tahun meningkat seiring lonjakan kasus secara umum. Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), satu dari delapan pasien COVID-19 di Indonesia adalah anak-anak.
Advertisement
Baca Juga
Ini sesuai dengan data Pusdatin Kementerian Kesehatan dimana 12,5 persen pasien COVID-19 merupakan anak-anak. Rinciannya usia 0-5 tahun sebanyak 2,9 persen dan 6-18 tahun (9,6 persen).
Terakhir pada Kamis (24/6/2021), tercatat ada 7.505 kasus baru COVID-19 di DKI Jakarta. Yang mengkhawatirkan sebanyak 1.112 orang di antaranya merupakan anak di bawah 18 tahun.
Tak hanya itu, angka kematian anak di Indonesia akibat COVID-19 juga sangat tinggi, bahkan yang tertinggi di dunia. Menurut IDAI, tingkat kematian atau case fatality rate pada anak terkonfirmasi COVID-19 mencapai 3 hingga 5 persen.
IDAI mewanti-wanti pemerintah daerah, pusat hingga Satgas COVID-19 untuk menyadari bahwa anak dan balita punya risiko infeksi virus corona yang sama dengan orang dewasa.
Tapi, ada yang berbeda apabila anak terpapar corona. Ruang ICU khusus anak tak tersedia di semua rumah sakit.
"Sampai saat ini ICU khusus anak tidak tersedia di sebagian besar rumah sakit. Apalagi saat ini SDM juga sedang menurun termasuk dokter dan perawat, dan obat-obatan yang khusus juga banyak tidak tersedia," kata Ketua Umum IDAI, DR.Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon).
Rekomendasi IDAI
Demi meredam angka penularan, IDAI merekomendasikan peningkatan tracing, testing, pemetaan data COVID-19 khusus anak, dan menyarankan penundaan pembelajaran tatap muka. IDAI juga mengimbau semua kegiatan yang melibatkan anak usia 0-18 tahun diselenggarakan secara daring.
"Hindari juga membawa anak keluar rumah, kecuali bila dalam keadaan mendesak. Anak di rumah saja dulu. Saat berkegiatan yang mengharuskan di luar rumah, hindari area ventilasi tertutup dan kepadatan. Ini meminimalisir risiko kontak erat."
"Lakukan pengawasan dan pendampingan protokol kesehatan secara ketat di tempat-tempat umum, termasuk orang tua. Mari kita bersama jaga anak-anak Indonesia yang hampir 90 juta ini, penuhi hak untuk hidup sehat, baik fisik maupun mental," ucap dr Aman.
Saksikan Video Berikut Ini
Peran Keluarga Krusial
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, dalam situasi pandemi seperti ini, pencegahan penularan COVID-19 pada anak lebih baik daripada pengobatan. Dan peran keluarga di sini begitu krusial.
Data BNPB 2021 menyampaikan sebaran kasus COVID-19 pada anak usia sekolah, yaitu PAUD sebanyak 30.442 kasus, TK 32.582 kasus, SD 65.634 kasus, SMP 47.267 kasus dan SMA mencapai 59.602 kasus.
Menurut Jasra, semua bisa dicegah, asalkan orang tua dan keluarga disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Pencegahan itu kan ada di hulu, di antaranya keluarga. Anak sudah stay di rumah, tidak keluar dan bahkan sudah 15 bulan di rumah, belajar juga dari rumah. Masalahnya keluarganya yang mondar-mandir. Kemudian tidak disadari tertular ke anak di rumah," ucap Jasra kepada Liputan6.com.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan di rumah demi memotong rantai penularan. Pertama, mengajari anak untuk mengurangi risiko penularan, dengan memastikan situasi rumah tetap bersih dan steril.
"Kedua, ketika anak-anak bermain di lingkungan harus tetap dengan prinsip 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Lalu bapak dan ibu yang bekerja, sebelum menyentuh anak, semua pakaian itu di tempatkan dulu di dapur, kemudian mandi yang bersih dan baru bisa menyentuh anaknya."
Upaya berikutnya, jika ada gejala sakit, baik orang tua ataupun anak, segera konsultasikan dengan Satgas. Hal ini bisa dilakukan secara online.
"Ini semua harus rutin dilakukan. Jadi, keluarga tidak boleh terlambat untuk merespons apakah itu ditularkan dari keluarga yang keluar dari rumah atau dari anak sendiri, sehingga bisa dilakukan pemetaan secara cepat."
"Jangan bawa anak keluar, kalau tidak perlu. Kalau sakit, ya tidak apa bawa ke fasilitas kesehatan. Tapi kalau seperti ke mall, saat ini diupayakan jangan dulu," ucap Jasra.
Orang Tua Harus Bijak
Kondisi mental anak ketika mendengar informasi penularan tinggi sepekan ini, juga harus disikapi orang tua dengan hati-hati dan bijak. Bagaimanapun anak telah menyerap informasi tentang COVID-19 cukup lama, dan ancaman kematian tentu menjadi informasi yang paling banyak diterima anak.
"Apalagi kita tahu informasi yang tidak layak diserap untuk anak, lebih banyak beredar saat pandemi dibanding informasi yang layak. Ini menempatkan anak dalam perilaku salah dalam menghadapi pandemi."
Orang tua tentu mempunyai tugas berat. Bisa dipastikan setiap orang tua akan memberikan informasi soal COVID-19 kepada anak dengan berbagai cara. Ada yang meminta anaknya berhati-hati dengan mengingatkan, melarang, bahkan untuk mungkin ada yang sama sekali tidak mengizinkan keluar rumah. Di sinilah respons setiap anak dalam menerima informasi berbeda.
"Untuk beberapa anak, info penularan yang tinggi kepada anak akan menjadi sensitif, sehingga membutuhkan perhatian lebih orang tua. Tidak bisa dihindari juga bahwa ketika mereka diberitahukan orang tuanya positif, maka imun anak akan turun, terutama remaja. Bahkan bisa berkepanjangan bila tidak direspons dengan tepat. Anak akan terbawa dalam ketakutan dan sedih. Ditambah situasi kognitif atau pemahaman yang belum matang, fisik yang lemah dan emosionalnya yang belum stabil," ujar Jasra.
Jangan juga orang tua bersikap salah, karena lebih ketakutan dari anaknya. Sehingga ketika anak butuh perhatian saat positif COVID-19, tapi tidak mendapatkannya.
"Kuncinya semakin cepat terlaporkan, kondisi anak akan selamat," tambahnya.
Advertisement
Kluster Keluarga
Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas COVID-19 Sonny Harry B Harmadi menjelaskan, ada beberapa penyebab anak bisa tertular COVID-19. Salah satuya adalah dari kluster keluarga.
"Kita tahu mayoritas sekolah masih daring atau pembelajaran jarak jauh, jadi yang bisa menyebabkan anak itu tertular harus kita mitigasi. Yang pertama tentu ditularkan dari orang tua, karena kluster keluarga meningkat. Seperti di rumah sakit darurat COVID-19 Wisma Atlet itu banyak dari kluster keluarga, orang tua yang menularkan kepada anak-anak. Masalahnya anak ini tidak bisa dicampur dengan ICU orang dewasa," kata Sonny kepada Liputan6.com.
Kedua, penularan bisa terjadi saat anak bermain keluar rumah tanpa menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dan karena anak masih sangat berisiko untuk tidak patuh terhadap protokol kesehatan, maka sebaiknya aktivitas anak di luar di luar rumah dibatasi.
"Ketiga, anak itu kan sebenarnya peniru ulung. Jadi, dia sangat meniru pada apa yang dilakukan oleh orang tua dan lingkungan sekelilingnya. Orang tua harus memberi contoh teladan bagi anak agar kebiasaan 3M bisa ditiru oleh anak-anak mereka."
Menjerat Balita
Sebagian besar gejala COVID-19 anak tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa. Umumnya mereka akan mengalami gejala batuk dan demam ketika terinfeksi virus Corona.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah banyak di antara mereka yang belum bisa mengungkapkan gejala sakit yang sedang dirasakan, terutama pada balita. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengetahui gejala COVID-19 apa saja yang bisa terjadi pada anak.
"Yang menjadi perhatian kita 50 persen kejadian meninggal akibat COVID-19 pada anak itu terjadinya pada balita. Balita ini kan belum bisa melakukan proteksi sendiri, sehingga proteksi yang penting justru dari proteksi orang tua. Di sini peran orang tua sangat penting," ucap Sonny.
Dampak Varian Delta?
Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Reni Rondonuwu mengatakan, pihaknya telah melakukan penelusuran kasus COVID-19 varian Delta atau B16172. Hasilnya, anak di bawah 10 tahun sudah ada yang terinfeksi varian asal India tersebut.
"Tapi memang ada kecenderungan kalau lihat varian Delta ini pada umur, di beberapa rumah sakit kami melihat umur di bawah 18 tahun, di bawah 10 tahun sudah ada yang kena," kata Maxi.
Dia menjelaskan, COVID-19 varian Delta bisa menyerang semua kelompok umur. Tingkat penularan varian ini juga lebih cepat jika dibandingkan dengan awal-awal virus ini muncul. "Meski cepat penularannya, case fatality atau angka kematiannya belum terbukti sangat ganas," sambungnya.
Kendati belum terbukti meningkatkan risiko kematian, Maxi khawatir case fatality COVID-19 di Indonesia tinggi jika kasus terus bertambah. Bila kasus tak bisa ditekan, maka rumah sakit rujukan akan penuh.
"Seperti India oksigen habis, itu berarti angka kematiannya bisa banyak. Jadi begitu banyak orang kena, akan banyak orang meninggal kalau fasilitas kesehatan kita tidak cukup lagi," kata Maxi.
Taat Prokes
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, tanggung jawab besar untuk keselamatan anak ada di orang dewasa, termasuk orang tua.
"Anak sebenarnya di bawah pengawasan siapa? orang tua kan."
Menurut dia, orang tua harus sepenuhnya sadar bahwa keselamatan anak berada di bawah tanggung jawab mereka. Karena itu, orang tua harus taat protokol kesehatan.
"Karena kalau orang tua terinfeksi dan membawa infeksi ke rumah, anggota keluarganya akan kemungkinan terinfeksi dan mungkin meninggal," ucap Pandu.
Dia berharap tanggung jawab besar tersebut sungguh-sungguh disadari oleh orang tua. Kemudian berbuah pada sikap taat menjalankan protokol kesehatan.
"Jadi orang tua harus taat prokes. Pakailah masker, ingatlah keluarga dan anak-anak di rumah," ujar dia.
Advertisement