Sukses

Anulir Hukuman Mati Bandar Narkoba, Hakim PT Banten Dinilai Kecewakan Polri

Budi menduga, ada indikasi main mata antara Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Banten dengan kedua orang tersebut.

 

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Indonesia Narkotic Watch (INW), Budi Tanjung, mengkritik putusan hukuman Pengadilan Tinggi Banten yang membatalkan hukuman mati terhadap bandar dan kurir narkoba bernama Bashir Ahmed dan Adel bin Saeed Yaslam Awadh. Padahal, kedua warga negara asing (WNA) asal Pakistan dan WNA asal Yaman itu sebelumnya dijatuhi pidana hukuman mati oleh hakim pengadilan negeri.

"Kepala Pengadilan Tinggi, termasuk hakim yang tangani perkara ini, perlu dimintai alasan atau dasar mengambil keputusan hukuman itu (peringangan hukuman seumur hidup menjadi pidana 20 tahun penjara)," tulis Budi dalam keterangan pers diterima, Minggu (26/6/2021).

Budi menduga, ada indikasi main mata antara Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Banten dengan kedua orang tersebut. Padahal, baik bandar dan kuris narkoba jenis sabu ini telah terbukti bersalah melakukan kejahatan transnasional.

"Kenapa kok mereka semudah itu menganulir hukuman mati menjadi 20 tahun penjara? Padahal ini persoalan perkara hukum kejahatan transnasional," kritik Budi.

Budi menyanggah, jika alasannya Hak Asasi Manusia (HAM), maka dia menolak alasan itu diberikan kepada bandar dan pengedar narkoba. Sebab, selain narkoba tergolong kejahatan luar biasa, perbuatan bandar narkoba tersebut telah merusak generasi bangsa yang terbunuh sia-sia karena.

"Harus ada pembeda, kejahatan ini tidak ada kompromi (kalau hukum mati ya harus dijalankan)," tegas Budi.

Senada Budi, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto, juga menilai, dengan dianulirnya hukuman mati menjadi 20 tahun penjara, maka akan mengecewakan teman-teman kepolisian yang sudah bersusah payah mengungkap kasus ini.

"Pastinya teman-teman kepolisian merasakan kecewa dengan hukuman yang dianulir," ujar Bambang.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Latar Belakang Kasus

Terungkapnya kasus ini berawal pada akhir Februari 2020. Diketahui, Bashir dan Adel tiba di Indonesia dan menginap di apartemen milik Adel di Pejaten Timur, Jakarta Selatan.

Mereka tinggal selama 10 hari, hingga Bashir ditelepon Satar yang masih buron dalam kasus ini. Satar meminta Bashir bersiap akan kedatangan sabu yang dikirimnya ke Indonesia.

Bashir pun meminta Adel membantunya. Bantuan dilakukan, sebab Bashir yakin Adel tahu seluk beluk Indonesia karena sudah tinggal lebih lama di Indonesia.

Mereka pun menjalin kontak via WhatsApp. Usai tahu keberadaan Satar, Bashir meminta Adel mencari tempat menyimpan sabu tersebut sesuai dengan lokasi yang dikirimkan Satar.

Mengetahui lokasi ada di Tanjung Lesung, Adel menyanggupin dan menuruti perkataan Bashir untuk mengambil barang tersebut. Mereka pun menyewa ruko seharga Rp 15 juta per tahun untuk menyimpan narkoba tersebut.

Menggunakan mobil sewaan, mereka pun memjemput Satar yang berada di kapal di pinggir pantai. Sabu itu pun dijemput Bashir dan Adel dengan total sebanyak 390 bungkus dengan berat per bungkusnya adalah 1 kilogram.

Penjemputan sabu serupa dilakukan berulang. Kali kedua, mereka lakukan pada Mei 2020, Bashir kembali dihubungi Satar kemudian dijemput di pinggir pantai. Jumlahnya bertambah. Kali ini, sebanyak ada 430 bungkus dengan berat per bungkusnya 1 kilogram.

Sayangnya, aksi kedua mereka terendus polisi. Polisi menggerebek ruko tersebut dan menangkap keduanya. Keduanya pun divonis pidana hukuman mati oleh pengadilan namun dianulir di tingkat banding pengadilan tinggi menjadi bui 20 tahun.