Sukses

Kejagung Dalami Dugaan Korupsi LPEI, Kerugian Negara Diduga Capai Rp 4,7 Triliun

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyidikan dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Ada enam saksi yang diperiksa terkait perkara tersebut.

"Pemeriksaan dilakukan Selasa, 29 Juni 2021 kemarin oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung," tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Rabu (30/6/2021).

Menurut Leonard, enam saksi yang diperiksa adalah Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta, AS; Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office; dan MS, Manager Operation Fedex/TNT Semarang, EW. Kemudian Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015, FS; Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI, DAP; dan Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI, YTP.

"LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur dan pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colectibility 5 alias macet per tanggal 31 Desember 2019," jelas dia.

Menurut Leonard, LPEI dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik, sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen.

"Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun, di mana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

CKPN Meningkat 800 Persen

Lebih lanjut, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada keuntungan. Kenaikan CKPN ini untuk meng-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh sembilan debitur tersebut.

"Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia di mana selaku Direktur Utama dari tiga perusahaan tersebut adalah saudara S. Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI," beber Leonard.

Akibatnya, Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikategorikan Colectibity 5 atau macet, sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683.600.000.000 yang terdiri dari nilai pokok Rp 576.000.000.000,- di tambah denda dan bunga Rp 107.600.000.000.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI," Leonard menandaskan.