Sukses

Aksi Kekerasan dan Penembakan oleh Polisi jadi Sorotan di HUT Bhayangkara Polri

Menurut Sekar, banyaknya korban jiwa yang disebabkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tindakan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian.

Liputan6.com, Jakarta HUT Bhayangkara Polri ke-75 yang jatuh pada 1 Juli 2021 menjadi momentum institusi penegak hukum tersebut meningkatkan kualitas dan evaluasi kinerja. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti sejumlah hal, salah satunya tindak kekerasan lewat aksi penembakan.

Peneliti Kontras Sekar Mentari menyampaikan, komitmen Polri yang didasarkan pada kebijakan internal kerap kali tidak berbanding lurus dengan realita situasi praktis di lapangan. Sepanjang Juli 2020-Mei 2021 sendiri tercatat, bentuk tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan pada penanganan aksi kriminal.

"Penembakan ini telah menyebabkan 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka. Pada Polres, 250 penembakan terjadi dari 208 aksi kriminal yang ada. Angka ini disusul oleh Polsek yang melakukan 81 penembakan dari sejumlah 71 aksi kriminal. Sedangkan di tingkat Polda terjadi 59 penembakan dari 39 aksi kriminal," tutur Sekar dalam konferensi pers, Rabu (30/6/2021).

Menurut Sekar, banyaknya korban jiwa yang disebabkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tindakan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian.

Salah satu kasus penembakan yang disorot adalah kematian Deki Susanto. Tindakan extrajudicial killings ini diduga dilakukan anggota Polres Solok Selatan pada Rabu, 27 Januari 2021 sekitar pukul 14.30 WIB. 

Kala itu, rumah Deki disambangi oleh aparat karena namanya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus perjudian. Korban yang merasa ketakutan karena ditodong dengan senjata api lantas melarikan diri dari pintu belakang. Sesaat kemudian, polisi menembak kepala belakang korban di hadapan istri dan anaknya. 

Sejumlah kejanggalan ditemukan, seperti tidak adanya surat perintah penangkapan atau surat upaya paksa kepolisian yang diberikan kepada tersangka atau keluarganya, tidak diperlihatkannya surat tugas dan tanda pengenal, posisi korban yang tidak melakukan perlawanan, dan tembakan yang diarahkan ke kepala.

"Sudah jelas anggota Polri tidak dapat menarik pelatuk dengan semena-mena ataupun melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian seseorang karena penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 200 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian," jelas Sekar.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Soroti Kasus Penembakan Laskar FPI

Minimnya evaluasi pada penggunaan senjata api dan penegakan hukum pada pelanggaran di situasi tersebut, Sekar melanjutkan, mengakibatkan kondisi itu menjadi hal yang dibiasakan. Peristiwa extrajudicial killings yang melibatkan anggota FPI pun hingga kini dinilai belum menyasar pada aktor utama di balik peristiwa tersebut.

Adapun, rincian tindak kekerasan yang dominan adalah penembakan 390 kali, penangkapan sewenang-wenang 75 kali, penganiayaan 66 kali, pembubaran paksa 58 kali, penyiksaan 36 kali, intimidasi 24 kali, salah tangkap 12 kali, tindakan tidak manusiawi 6 kali, kejahatan seksual 3 kali, pembunuhan 2 kali, dan penculikan 1 kali.

"Berdasarkan 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kami menemukan mayoritas kasus kekerasan terjadi di tingkat Polres dengan total 399 kasus. Pada tingkatan Polda terdapat 135 kasus dan 117 kasus ditingkatan Polsek," Sekar menandaskan.