Liputan6.com, Jakarta - Program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu atau vaksinasi Covid-19 berbayar segera dilakukan pemerintah melalui PT Kimia Farma Tbk.
Dengan biaya Rp 879.140, masyarakat bisa mendapatkan suntikan dua kali dosis Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu yaitu vaksin Sinopharm.
Baca Juga
Adanya program tersebut pun menuai tanggapan pro dan kontra. PT Kimia Farma Tbk (KAEF) pun bahkan menegaskan program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu tidak mencari keuntungan tetapi mendukung pemerintah dengan memperluas akses vaksinasi.
Advertisement
"Pada prinsipnya mendukung, tidak ada untung, tidak ada komersialisasi. Semua sudah terbuka, realisasi komponen harga sudah dilakukan review lembaga independen. Kami salah satu BUMN mendukung percepatan dan perluasan vaksinasi, bukan untuk komersialisasi," kata Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk, Ganti Winarno dalam konferensi pers virtual, Minggu, 11 Juli 2021.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik program vaksinasi berbayar tersebut. YLKI menilai program tersebut sepantasnya dibatalkan.
"Tetiba menyeruak adanya vaksin gotong royong yang berbayar, yang dijual di apotek-apotek tertentu. Vaksin berbayar itu tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas. Karena itu, vaksin berbayar harus ditolak," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangannya, Senin (12/7/2021).
Berikut sederet tanggapan pro dan kontra soal program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu atau vaksinasi Covid-19 berbayar dihimpun Liputan6.com:
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
PT Kimia Farma Tbk
PT Kimia Farma Tbk (KAEF) menegaskan program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu tidak mencari keuntungan tetapi mendukung program vaksinasi pemerintah dengan memperluas akses vaksinasi.
"Pada prinsipnya mendukung, tidak ada untung, tidak ada komersialisasi. Semua sudah terbuka, realisasi komponen harga sudah dilakukan review lembaga independen. Kami salah satu BUMN mendukung percepatan dan perluasan vaksinasi, bukan untuk komersialisasi," kata Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk Ganti Winarno dalam konferensi pers virtual, Minggu 11 Juli 2021.
Ia menuturkan, vaksin yang digunakan dalam program VGR Individu juga berbeda dengan program vaksinasi pemerintah. Program VGR Individu yang dilakukan, menurut Ganti, seiring dan sejalan dengan program pemerintah untuk mencapai herd immunity.
Ia memastikan, kualitas dan layanan vaksinasi yang diberikan sesuai dengan protokol dan SOP yang berlaku.
"Terkait VGR Individu, vaksin digunakan Sinopharm, berbeda yang digunakan dengan program pemerintah. Kita senantiasa mohon bantuan semuanya percepatan pencapaian herd immunity," ujar dia.
Ia menuturkan, perluasan akses vaksinasi dan percepatan pencapaian herd immunity dilakukan mengingat kasus Covid-19 yang meningkat. Ganti mengatakan, perluasan vaksinasi gotong royong diharapkan mendorong pencapaian herd immunity.
"Kalau tercapai secara bertahap tentu akan berdampak pada perekonomian ke depan. Masyarakat tenang dan nyaman (jalankan aktivitas ekonomi-red). Perluasan pencapaian herd immunity, BUMN sangat mendukung," jelas Ganti.
Advertisement
Epidemiolog
Ribuan orang ramai-ramai turut menandatangani seruan sebuah petisi yang menolak vaksinasi berbayar muncul di laman change.org. Di mana petisi tersebut kini sudah ditandatangai lebih dari 7.900 orang, sampai dengan Senin pagi (12/7/2021).
Penolakan tersebut diserukan setelah pemerintah menetapkan adanya skema vaksin gotong royong individu atau vaksin berbayar sebagai pilihan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan vaksin dengan merogoh kocek sebesar Rp 879.140 untuk dosis lengkap vaksin Sinopharm.
Maka, melalui akun twitter @drpriono1, pakar epidemiologi Pandu Riono turut mengajak masyarakat untuk menggalang dukungan menolak adanya skema vaksin berbayar yang terkesan memunculkan komersialisasi di dalamnya.
"Regulasi yang membuka peluang komersialisasi vaksin harus dikoreksi. Hapus konsep Vaksin Gotong-royong! Jangan lupa tandatangan petisi," tulis pandu lewat akun twitternya yang dibarengi dengan tautan link petisi, yang dikutip Merdeka.com, Senin (12/7/2021).
Berdasarkan keterangan yang tercantum dalam petisi itu disebutkan, menurut WHO pun, program vaksinasi yang dilakukan pihak swasta hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja.
Dengan suplai vaksin yang masih sangat terbatas, masyarakat di daerah dan ekonomi menengah ke bawah yang justru memiliki tingkat risiko penularan lebih tinggi.
Karena itu, Petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri BUMN Erick Thohir meminta agar skema vaksin berbayar dibatalkan. Terlebih suplai vaksin Covid-19 yang kini masih terbatas dan diatribusinya masih terganggu.
"Pemerintah dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) berdalih skema vaksin mandiri akan membantu pemerintah mempercepat pencapaian kekebalan kelompok di Indonesia. Ini tidak bisa dibenarkan, karena vaksinasi mandiri justru menjadikan akses pada vaksinasi berdasarkan kemampuan ekonomi dan afiliasi dengan korporasi swasta," tulis dalam petisi tersebut.
"Karena itu, lewat petisi ini kami meminta Presiden Jokowi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri BUMN Erick Thohir agar membatalkan program vaksinasi mandiri. Jika memang hendak mengajak kerja sama pihak swasta, sebaiknya pihak swasta diajak untuk melakukan distribusi vaksin, bukan untuk melakukan vaksinasi secara mandiri," sambung petisi.
Selain Pandu Riono, dalam petisi ini turut tercantum nama Irma Handayani, pendiri LaporCovid-19, hingga guru besar bidang sosiologi bencana Universitas Teknologi Nanyang Singapura Prof Sulfikar Amir. Di mana mereka membuka petisi soal penolakan vaksinasi berbayar, untuk kemudian segera dibatalkan.
KSPI
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam komersialisasi vaksin Covid-19 lewat layanan vaksinasi berbayar.
Serikat buruh tersebut menduga pemberian vaksin gotong royong individu secara berbayar, akan menyebabkan terjadinya komersialisasi yang nantinya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
"Program vaksinasi berbayar yang dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong, sekalipun biaya vaksinasi dibayar oleh pengusaha, apalagi vaksin berbayar secara individu, dikhawatirkan akan terjadi komersialisasi vaksin atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin)," kata Presiden KSPI Said Iqbal kepada Liputan6.com, Senin (12/7/2021).
Dia menjelaskan, dalam keputusan yang telah diteken oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021 dijelaskan bahwa harga vaksin gotong royong buatan Sinopharm adalah Rp 321.660 per dosis, di mana tarif pelayanan vaksinasi belum termasuk di dalam harga tersebut. Dijelaskan, bahwa tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis.
"Dengan demikian, jika dijumlahkan total harga sekali penyuntikan Rp 439.570 atau berkisar 800-an ribu untuk 2 kali penyuntikan. Begitu pula dari informasi yang didapat KSPI, bila benar, akan dikenakan biaya pada kisaran yang sama terhadap harga vaksin berbayar secara individu," ujarnya.
Hal itulah yang menjadi kekhawatiran KSPI bahwa vaksin gotong royong individu berbayar akan menyebabkan komersialisasi. Disamping itu, jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang selama ini diberikan secara gratis oleh pemerintah.
Dia mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin. Dengan kata lain, harus dipastikan vaksin yang digunakan halal dan aman. Intinya, KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh dan setiap warga negara digratiskan.
"Bilamana pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk menyelenggarakan vaksin gotong royong ini, sebaiknya pemerintah menaikkan sedikit dan wajar nilai pajak badan perusahaan (PPH 25) dan mengambil sebagian anggaran Kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah 5 persen dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan," ujar Said.
Demikian, Said menegaskan, KSPI setuju dengan vaksin gotong royong, tetapi biaya ditanggung pemerintah. Begitu pula, tidak diperlukan program vaksin individu dengan biaya sendiri.
"Karena sesuai dengan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU Kesehatan, dan UU Karantina; program vaksinasi Covid-19 ini adalah tanggungjawab negara," pungkasnya.
Advertisement
YLKI
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik program vaksinasi berbayar oleh Kimia Farma. YLKI menilai program tersebut sepantasnya dibatalkan.
"Tetiba menyeruak adanya vaksin gotong royong yang berbayar, yang dijual di apotek-apotek tertentu. Vaksin berbayar itu tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas. Karena itu, vaksin berbayar harus ditolak," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangannya.
Kebijakan vaksin berbayar itu menurutnya akan menambah jumlah masyarakat yang semua enggan vaksin menjadi lebih malas lagi untuk menerima vaksinasi covid-19. Dan hal itu akan menjauhkan target herd immunity.
“Kebijakan ini bisa jadi hanya akan makin membuat masyarakat malas untuk melakukan vaksinasi. Yang digratiskan saja masih banyak yang malas (tidak mau), apalagi vaksin berbayar. Dan juga membingungkan masyarakat, mengapa ada vaksin berbayar, dan ada vaksin gratis. Dari sisi komunikasi publik sangat jelek,” ucapnya.
Selain itu, adanya vaksin berbayar dengan jenis berbeda akan menimbulkan persepsi bahwa yang berbayar lebih berkualitas.
“Vaksin berbayar juga bisa menimbulkan distrust pada masyarakat, bahwa yang berbayar dianggap kualitasnya lebih baik, dan yang gratis lebih buruk kualitasnya,” katanya.
Ia mengaku miris, sebab di negara lain warga yang mau divaksin justru diberi hadiah oleh pemerintah.
“Di banyak negara, justru masyarakat yang mau divaksinasi Covid-19, diberikan hadiah oleh pemerintahnya. Ini dengan maksud agar makin banyak warga negaranya yang mau divaksin. Bukan malah disuruh membayar,” ujarnya.
“Oleh karena itu, YLKI mendesak agar vaksin gotong royong berbayar untuk kategori individu dibatalkan. Kembalikan pada kebijakan semula, yang membayar adalah pihak perusahaan, bukan individual,” pungkasnya.
Wagub Jakarta
Pemerintah telah menetapkan adanya pelayanan vaksinasi Covid-19 berbayar seharga Rp879.140 per orang. Vaksinasi berbayar menggunakan vaksin Sinopharm dari PT Kimia Farma untuk dua kali dosis penyuntikan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria tidak mau berkomentar lebih jauh karena hal tersebut merupakan keputusan dari pemerintah pusat.
"Ya itu nanti jadi kebijakan pemerintah pusat," kata Riza.
Dia mengatakan, sejauh ini masyarakat masih dapat mendapatkan layanan vaksinasi Covid-19 gratis yang diberikan oleh pemerintah. Seperti di Jakarta, masyarakat hanya cukup membawa KTP atau mendaftar melalui aplikasi Jakarta Kini (Jaki).
"Sejauh ini masyarakat bisa mendapatkan vaksin secara gratis tidak perlu bayar, datangi, ajukan melalui aplikasi Jaki, gratis tidak perlu bayar," kata Riza.
Riza menyampaikan, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Jakarta sampai saat ini masih berjalan sesuai target, di mana hampir ribuan orang mendapat vaksin setiap hari.
"Percepatan vaksin sebagaimana yang ditargetkan pemerintah pusat, Jakarta setidaknya akhir Agustus bisa mencapai 7,5 juta. Kita akan menyelesaikan di 8,5 juta tidak sampai akhir tahun ebih cepat dari target semula, semua akibat dukungan elemen masyarakat," ucap Riza.
Adapun sejak dimulainya pelaksanaan vaksinasi Covid-19 secara massal di Jakarta, telah mencapai 7.374 dosis sampai dengan Sabtu 10 Juli 2021. Jumlah tersebut terbagi dalam dosis pertama mecapai 63 persen dan dosis kedua 22,1 persen.
"Kami optimistis bahwa target yang diminta Pak Jokowi bisa memenuhi. Setiap hari ditargetkan 100 ribu, kami bisa memenuhi bahkan bisa sampai 135 ribu bahkan bisa sampai 150 ribu per hari," kata Riza.
Advertisement
Kata Gerindra
Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Kamrussamad mempertanyakan niatan pemerintah untuk dihadirkannya vaksinasi Covid-19 berbayar.
Diketahui, rencana awalnya, yang berbayar disebut dengan vaksinasi gotong royong yang dibebani ke perusahaan. Sedangkan, pemerintah telah menyetujui adanya vaksinasi berbayar untuk individu.
"Kita akan mempertanyakan ke Menteri Keuangan tentang Penggunaan APBN 2021 senilai Rp 97T untuk Kesehatan termasuk membeli Vaksin. Apakah ini keputusan terbaru untuk menghemat biaya kesehatan atau untuk meningkatkan penerimaan rakyat diatas penderitaan rakyat. Apakah hal ini pantas," kata Kamrussamad pada wartawan.
Menurutnya, vaksinasi Covid-19 gratis adalah hak rakyat. Hal tersebut juga menurutnya juga adalah kewajiban pemerintah yang telah tertulis dalam undang-undang.
"Ingat Konstitusi UUD NRI mewajibkan negara melindungi segenap rakyat Indonesia, program Presiden Jokowi tentang percepatan vaksinasi gratis diseluruh pelosok nusantara harus didukung oleh seluruh pembantunya," ungkap Kamrussamad.
Dia juga mengkritik Menteri BUMN Erick Thohir yang acap kali membuat kontroversi.
"Beberapa manuver Menteri BUMN dalam dua pekan ini antara lain polemik obat Invermetcin, permintaan dana APBN Rp 72,4 T untuk suntikan BUMN, hingga jual vaksin Kimia Farma," kata Kamrussamad.
"Apakah ini Pengalihan isu atas kegagalan Kinerja BUMN selama 2 tahun ini, Ataukah ini bagian dari gelombang untuk membangun popularitas untuk mencapai tujuan politik tertentu," tegasnya.
PKS
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto mengaku khawatir, dengan rencana vaksinasi berbayar, maka maka program kuota vaksin Covid-19 gratis bukan ditingkatkan tapi malah sebaliknya.
"Saya khawatir perlahan-lahan berkurang. Padahal target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan. Tambahan lagi, kebijakan ini rentan dimanipulasi pihak yang mencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima.
Dia mencurigai ada modus jahat menggerogoti hak rakyat, terkait vaksinasi berbayar yang dilakukan Kimia Farma.
Menurut dia, alasan untuk mempercepat kekebalan komunal dengan skema dualisme vaksinasi tidak masuk akal.
"Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, maka rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya akan merugikan rakyat, jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini," kata Mulyanto.
Mulyanto pun membandingkan harga vaksinasi Covid-19 mandiri yang mencapai hampir Rp 900 ribu untuk dosis lengkap, dengan bantuan sosial di masa pandemi yang diberikan pemerintah sebesar Rp 300 ribu.
"Bansos yang Rp 300 ribu/bulan/keluarga tidak sebanding dengan harga vaksin Sinopharm, apalagi kalau harus disuntik dua kali untuk dosis lengkap," kesal Mulyanto.
Advertisement
DPD RI
Anggota DPD Abdul Rachman Thaha, meyakini vaksin Covid-19 di Indonesia digunakan dengan dasar izin penggunaan darurat yang dikeluarkan BPOM. Sebab itu, kegentingan yang harus segera teratasi lewat vaksinasi massal sepatutnya tidak dikomersialkan.
"Menjadi aneh bahwa dalam situasi darurat yang bahkan kian memburuk seperti sekarang ini, Pemerintah justru memakai mindset non-kedaruratan dengan melakukan komersialisasi vaksin melalui apotek tertentu, ketika target satu juta orang divaksin per harinya masih belum tercapai" kata Abdul dalam keterangannya.
Abdul melihat, keterbatasan pasokan vaksin oleh pemerintah saat ini, justru dimunculkan dengan adanya rencana penjualan vaksin atau vaksin berbayar. Asumsinya, pemerintah sengaja memanfaatkan sumbangan vaksin dari negara-negara lain dan menjadikan persediaan vaksin sebelumnya sebagai barang dagangan,
"Saya juga khawatir pemerintah belum siap membangun safe guard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan penjualan vaksin palsu. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat berbagai perlengkapan dan peralatan untuk penanganan Covid-19 ternyata sudah dipalsukan, seperti masker bekas dan oximeter palsu," jelas dia.
Abdul pun meminta, pemerintah dapat mencegah kebijakan vaksin berbayar dengan sistem prioritas yang digratiskan sebagai tanggung jawab keberlanjutan. Sebab, jika perdagangan vaksin via apotek semakin menguat, hal itu mengindikasikan bahwa pemerintah kini abai terhadap sistem prioritas yang dijelaskan di awal.
"Jadi bagaimana komersialisasi vaksin bisa mempercepat tuntasnya vaksinasi bagi seluruh anggota kelompok-kelompok prioritas?" tanyanya menandasi.
DPR RI
Anggota Komisi IX DPR RI Anas Thahir mengecam langkah pemerintah menjual vaksin gotong royong untuk individu. Menurut Anas, vaksinasi berbayar ini akan bikin kacau dan berpotensi menjadi bancakan kelompok tertentu.
"Vaksinasi berbayar individual ini akan bikin kacau dan bisa membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk bermain-main di atas penderitaan rakyat yang sedang megap-megap melawan serangan Covid," ujar Anas dalam keterangannya.
Kepada DPR, kata dia, pemerintah hanya menyampaikan mekanisme vaksinasi gotong royong sebagai vaksin yang dibeli pengusaha untuk digratiskan kepada karyawannya. Vaksin gotong royong berbayar untuk individu melalui Kimia Farma ini belum pernah dibahas pemerintah dengan DPR.
Anggota Fraksi PPP ini bilang, penetapan harga pembelian vaksin ini hanya akal-akalan untuk melegalisasi jual beli vaksin berlindung di balik kebijakan vaksinasi gotong royong. Anas mendorong pelaksanaanya perlu ditinjau ulang.
"Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/202 tentang penetapan harga pembelian Vaksin hanyalah akal-akalan untuk melegalisasi jual beli Vaksin dengan berlindung di balik kebijakan Vaksin gotong royong, karenanya pelaksanaan Vaksin berbayar harus ditinjau ulang," ujarnya.
Menurut Anas, penjualan vaksin ini bertentangan dengan komitmen pemerintah yang menggratiskan vaksinasi Covid-19 kepada seluruh masyarakat.
"Penjualan vaksin secara bebas bertentangan dengan komitmen pemerintah yang menggratiskan program vaksinasi Covid-19 untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk pemegang kartu BPJS. Sebab sesuai pernyataan Presiden, bahwa pemberian vaksin gratis untuk seluruh warga negara dan tidak ada kaitannya dengan keanggotaan BPJS kesehatan," jelas Anas.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Saleh Daulay mengaku selama ini belum pernah mendengar rencana vaksin gotong royong dijual untuk individu untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Menurutnya, vaksin gotong royong itu harusnya dibiayai oleh perusahaan sebagai wujud tanggung jawab sosial.
Politikus PAN ini khawatir jika hadirnya vaksinasi berbayar tersebut bisa menimbulkan komersialisasi. Karena itu, DPR berencana meminta penjelasan ke pemerintah.
"Kalau dijual bebas seperti itu, apa nanti malah tidak akan terjadi komersialisasi? Bukankah vaksinasi itu semestinya gratis? Ini yang saya kira perlu diperjelas," kata Saleh.
Dia pun mempertanyakan pengawasan vaksinasi berbayar nanti. Bentuk evaluasi dan lainnya.
"Harus diakui bahwa KIPI masih selalu ada. Itu perlu diawasi dan dimonitor. Nah, apakah mekanisme pembelian vaksin di Kimia Farma ini juga akan dievaluasi dan diawasi? Bagaimana koordinasinya dengan komnas/komda KIPI?," tanya Saleh.
Begitu pula disampaikan anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher menyoroti upaya Kimia Farma melakukan Vaksinasi Gotong Royong (VGR) untuk individu alias vaksinasi berbayar. Menurutnya kebijakan tersebut tidak tepat karena dianggap sebagai cara mencari untung dari rakyat.
“Vaksinasi untuk mengatasi bencana non-alam seperti pandemi adalah tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya. Setiap individu harus mendapat akses yang sama dan merata melalui vaksinasi gratis. Jadi, opsi vaksin berbayar seperti upaya mencari keuntungan dengan memeras rakyat," ungkap Netty.
Netty mengatakan kebijakan itu belum didiskusikan dengan Komisi IX DPR RI. Adapun kebijakan yang sudah disetujui adalah vaksinasi gotong royong yang dibiayai perusahaan. Namun persetujuan didapat Itu pun dengan banyak catatan.
"Tidak ada diskusi dengan Komisi IX terkait vaksinasi gotong royong bagi individu atau perorangan.Sekarang tiba-tiba muncul kebijakan vaksin berbayar untuk individu," ungkapnya.
Menurut politisi F-PKS itu, Permenkes RI Nomor 19 Tahun 2021 dijadikan landasan hukum bagi vaksinasi berbayar untuk individu setelah ada perubahan redaksi atas definisi vaksin gotong royong. Karena awalnya hanya ditujukan untuk karyawan perusahaan atau badan usaha, kemudian ditambahkan juga untuk individu atau perorangan yang dibebankan pembiayaannya pada yang bersangkutan.
Menurut Netty, pemerintah tidak bisa berdalih bahwa vaksinasi berbayar menjadi opsi bagi rakyat yang tidak bersedia antri dalam pelaksanaan vaksinasi.
"Ini soal tanggung jawab negara melindungi rakyatnya. Jangan sampai publik berpikir hanya orang kaya yang mampu membeli vaksin yang dapat melindungi diri dari bahaya pandemi," paparnya.
Netty meminta pemerintah mengakselerasi program vaksinasi agar segera mencapai target alih-alih menjual vaksin pada rakyat. Selain itu, Netty juga mempertanyakan kejelasan bantuan 500.000 dosis vaksin Sinopharm dari UEA.
“Kemana rencana distribusi bantuan sinoparm dari UEA ini? Pemerintah harus transparan dan bertanggung jawab, jangan sampai ada penyelewengan dan penyalahgunaan bantuan. Terlebih Sinopharm termasuk jenis vaksin dalam skema gotong royong,” tambahnya.
Atas polemik ini, Netty meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan vaksinasi berbayar untuk individu agar tidak menimbulkan kegaduhan publik. Apalagi saat ini sektor ekonomi sedang terganggu. Banyak rakyat yang tengah menderita dan terjepit.
"Jangan menambah beban rakyat dengan isu vaksin berbayar dan isu kewajiban menyertakan sertifikat vaksinasi sebagai syarat pengurusan administrasi publik dan mengakses bantuan sosial atau pelayanan sosial," tutup Netty.
Advertisement
Menkes Bicara
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan vaksinasi berbayar merupakan opsi yang disediakan oleh pemerintah.
Menurut dia, masyarakat tidak diwajibkan untuk mengikuti program vaksinasi gotong royong berbayar.
"Vaksin gotong royong ini merupakan opsi. Jadi, apakah masyarakat bisa mengambil atau tidak. Prinsipnya, pemerintah membuka opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin gotong royong baik melalui perusahaan maupun melalui individu," kata Budi dalam konferensi pers usai rapat bersama Presiden Jokowi.
Dia menjelaskan banyak pengusaha-pengusaha yang belum mendapatkan akses program vaksinasi gotong royong melalui jalur Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Sehingga, pemerintah menyediakan program vaksinasi gotong royong individu yang berbayar.
"Ada beberapa misalnya, perusahaan-perusahaa pribadi atau perusahaan-perusahaa kecil. Itu juga mereka mau mendapatkan akses vaksin gotong royong, tapi belum bisa masuk melalui programnya KADIN," kata Budi.
Selain itu, Budi menyampaikan vaksinasi gotong royong juga membuka kesempatan bagi warga negara asing (WNA) yang sudah tinggal, beraktivitas, dan berusaha lama di Indonesia mendapatkan akses vaksin.
Dia memastikan vaksinasi gotong royong individu dimulai saat jumlah vaksin Covid-19 sudah masif.
"Sehingga, benar-benar akses masyarakat yang lain akan besar sedangkan masyarakat yang ingin mengambil opsi yang lain juga tersedia. Sehingga opsinya semuanya tersedia," jelas Budi.
Vaksinasi Nasional Berpacu dengan Serbuan Covid-19
Advertisement