Liputan6.com, Jakarta Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat atau PPKM Darurat akan berakhir pada Selasa, 20 Juli nanti. Seiring berjalan, publik banyak disuguhkan sikap arogansi aparat terhadap masyarakat, khususnya mereka para pedagang kaki lima (PKL).
Salah satunya terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan. Seorang ibu hamil yang tengah berdagang disemprot air hingga dugaan pemukulan.Â
Baca Juga
Pakar Komunikasi Publik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Nani Nurani Muksin menilai cara komunikasi dengan mengedepankan kekerasan tak bakal efektif untuk menegakkan tujuan PPKM Darurat.
Advertisement
Menurutnya penggunaan kekerasan untuk menertibkan masyarakat bakal kontraproduktif dengan tujuan PPKM Darurat.
"Justru akan menjadi bumerang. Ingat ya bahwa kita pernah mengalami hal-hal yang tidak nyaman karena kekerasan. Contoh peristiwa Mbah Priok dulu, kemudian beberapa peristiwa kekerasan itu banyak yang akhirnya bentrok. Orang saling baku hantam. Justru kalau menurut saya, tidak efektif karena kekerasan itu bukan cara yang baik untuk menuju sesuatu yang baik," ujar Nani kepada Liputan6.com, Jumat (16/7/2021).
Nani menyarankan, saat berkomunikasi dengan masyarakat, aparat keamanan termasuk Satpol PP, TNI-Polri agar menundukkan arogansi dan mengedepankan sikap profesional yang humanis. Mereka, kata Nani dituntut untuk berkomunikasi secara persuasif.
"Artinya komunikasi yang dilakukan dengan cara baik-baiklah, dengan membujuk, kita mengimbau. Nah mestinya memang itu dikedepankan," ujar Nani.Â
Menurut Nani sikap tegas bisa dilakukan dengan cara yang tetap santun. Yang terpenting maksud utamanya bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
"Jadi untuk aparat penegak hukum dan aparat keamanan memang yang pertama harus bersikap persuasif, mengutamakan dialog dengan cara yang santun dengan sikap, baik verbal maupun non-verbal," imbau dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perbaiki Kebijakan
Kendati begitu, dia tidak bisa memungkiri bahwa bisa saja lantaran masyarakat kukuh tetap berjualan meski sudah diperingatkan memicu amarah petugas.Â
Untuk itu ia menyarankan, selain menuntut petugas agar menegakkan aturan dengan mengedepankan sikap humanis, pemerintah juga dituntut supaya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang mengandalkan kerja harian, seperti para PKL.Â
"Mereka minta untuk work from home atau tidak bekerja, tapi mereka (mestinya) ada kompensasinya. Saya rasa dengan seperti orang gak terlalu gimana lah. Ya mungkin rugi, kecewa tapi tidak terlalu kecewa," katanya.
Nani mengakui negara saat ini tengah kesulitan dalam hal anggaran, namun masyarakat mestinya dinomorsatukan. Jangan sampai anekdot soal masyarakat mungkin tidak mati karena Corona, melainkan mati gegara kelaparan jadi kenyataan.
Advertisement
Arogansi Aparat
Sebelumnya sejumlah sikap arogansi aparat keamanan dalam menegakkan aturan PPKM Darurat banyak dipertontonkan kepada masyarakat. Seperti dugaan penganiayaan oleh personel Satpol PP saat melakukan patroli PPKM kepada seorang ibu hamil yang merupakan pemilik warung kopi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Bentuk arogansi lainnya, seperti tindakan memaki-maki PKL, menyita rombong atau bahan dagangan yang dijual PKL, hingga sanksi administratif yang dikenakan pada PKL maupun pembelinya.
Beragam reaksi pun menyeruak sebagai bentuk kontradiktif pada cara-cara yang dinilai tidak humanis, bahkan arogan. Di antarnya yang terjadi di Semarang, saat aparat Satpol PP menyemprotkan air dari mobil pemadam kebakaran kepada pedagang kaki lima pada 5 Juli 2021 lalu.
Walikota Semarang Hendrar Prihadi pun turut berkomentar akan hal tersebut. Dia menilai cara satpol PP dinilai kontra produktif dan tidak mendapat simpati.
Sedangkan di Tasikmalaya, viral seorang penjual bubur didenda Rp 5 juta hanya karena melayani pembeli yang makan di tempat.
Penjual yang bernama Endang dan Sawa Hidayat tersebut mengaku tidak tahu aturan PPKM Darurat. Dia pun meminta keringanan denda, namun ternyata hakim tidak memberikan keringanan.