Sukses

HEADLINE: PPKM Darurat Ganti Jadi PPKM Level 3-4, Strategi Pengendaliannya?

Pemerintah resmi memperpanjang PPKM hingga 25 Juli 2021. Istilah PPKM darurat kini diubah menjadi PPKM level 3-4. Ampuhkah kebijakan ini menekan virus covid-19?

Liputan6.com, Jakarta - Melalui siaran Channel YouTube Sekretariat Negara, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan nasib Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang berakhir pada Selasa 20 Juli 2021. Dalam keterangan yang disampaikan Selasa malam, Jokowi menyebut keran PPKM akan dibuka perlahan pada 26 Juli jika kasus covid-19 menurun.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sama sekali tidak menyinggung soal perubahan istilah PPKM darurat. Pergantian nama PPKM darurat menjadi PPKM level 3-4 baru diketahui setelah ada Inmendagri yang dikeluarkan Mendagri Tito Karnavian. Inmendagri bernomor 22/2021 ini ditujukan kepada gubernur serta wali kota dan berlaku sejak 21 hingga 25 Juli 2021.

Perpanjangan pembatasan kegiatan masyarakat yang berlangsung hanya lima hari itu dinilai epidemiolog sebagai guyonan pemerintah. Kurun waktu ini dianggap tidak cukup dengan masa inkubasi virus.

"Ya enggak (cukup) lah di perpanjang lima hari. Itu mah bercanda, masa inkubasi itu aja 10 hari. Jadi harusnya diperpanjang 10 hari atau 2 minggu lah," ujar Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono kepada Liputan6.com, Rabu (21/7/2021).

Dia menilai, beragam kebijakan yang sudah diterbitkan pemerintah sejak awal pandemi indikatornya masih berkabut. Seyogyanya, pemerintah hanya melanjutkan kebijakan sebelumnya jika indikator yang diterapkan belum tercapai.

"Karena dari semuanya yang dilakukan itu indikatornya enggak jelas. Harusnya indikatornya jelas, apa yang dilakukan. Kemudian kalau indikator itu belum tercapai ya diperpanjang lagi. Begitu," ujar dia.

"Jadi indikatornya harus jelas. Indikator pas PPKM Darurat yang kemarin menurut saya juga enggak jelas. Karena kalau pada jumlah kasus, itu bukan jumlah kasus (sebenarnya). Saya takut jumlah kasus menurun, padahal tidak menurun," imbuh Tri Yunis.

Merujuk pada data Satgas Covid-19, jumlah kasus harian pada 15 Juli sempat menyentuh rekor dengan angka 56.757. Kemudian kasus itu menurun hingga mencapai 34.257 pada 19 Juli 2021. Selanjutnya kembali sedikit naik menjadi 38.235 pada hari berikutnya. Angka itu menurun lagi pada Rabu (21/7/2021) menjadi 33.772 kasus.

Penurunan kasus ini disertai dengan angka testing yang juga berkurang. Pada saat kasus harian menembus 54 ribu, angka testing dalam sehari sebanyak 250.000 spesimen. Namun pada hari berikutnya, jumlah itu mengecil hingga hanya berada di angka 179.275 spesimen. Bahkan pada Rabu (21/7/2021), angkanya semakin menciut menjadi 153.330 spesimen.

Karena itu, Tri Yulianis menilai strategi pengendalian laju virus covid-19 saat ini tetap pada adanya penerapan pembatasan sosial. Sebab, penularan penyakit ini akan tetap terjadi jika aktivitas sosial direnggangkan.

"Yang penting adalah ada pembatasan sosial. Harusnya masuk pembatasan sosial atau social distancing berat adalah aktivitas masyarakat enggak ada. Kalau dibuka sedikit-sedikit, ya artinya bukan social berat, kalau enggak ada social distancing, risikonya penularan akan berjalan," jelas dia.

Selain itu, Tri Yunis juga kembali mensuarakan agar pemerintah mengambil langkah penutupan total alias lockdown. Karena kebijakan PPKM darurat dinilainya masih memiliki celah adanya penularan virus covid-19.

"Iya kalau bisa lockdown total, kalau enggak bisa pembatasan sosialnya benar-benar. Kan pemerintah ini sekarang PPKM Darurat. Kegiatan yang diperbolehkan kegiatan esensial dan kritikal, boleh lah oke saya terima. Tapi kemudian diperpanjang 5 hari. Aduuh... Idealnya diperpanjang 10 hari atau satu kali masa inkubasi," ujar dia.

 

Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, perubahan nama dari PPKM darurat menjadi PPKM Level 3-4 tidak akan berpengaruh pada penurunan kasus covid-19. Bahkan Ia menduga jumlahnya akan meningkat hingga 25 Juli 2021.

"Publik cenderung apatis. Saya menduga malah sampai 25 (Juli) ini, covid-19 naik lagi," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (21/7/2021).

"PPKM darurat belum terimplementasi dengan baik, di Jawa Bali, belum dipahami bareng. Udah berubah lagi," dia menambahkan.

Trubus menilai, seyogyanya negara menggunakan UU No 6 Tahun 2018. UU yang terbit era Presiden Jokowi ini menyediakan dua pasal dalam menangani wabah. Yaitu Pasal 9 tentang Kekarantinaan, dan Pasal 10 tentang PSBB.

"PSBB-nya tidak efektif atau enggak aktif, ya kan bisa gunakan Pasal 9. Karantina wilayah," ujar dia.

Ia yakin bila ada kemauan kuat untuk menyelamatkan rakyat, pemerintah mampu menerapkan lockdown untuk menangani pandemi yang sudah berlangsung setahun lebih. Namun karena ada konsekuensi hukumnya, membuat pemerintah mundur.

"Pemerintah menghindari konsekuensi hukumnya. Yaitu menyiapkan kebutuhan sehari-hari masyarakat," ucap Trubus.

Dalam menangani pandemi ini, lanjut dia, hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Yaitu kebijakan publik dan perilaku masyarakat.

"Kalau kebijakan publik ini konsisten, linier, maka perilaku masyakarat akan patuh tunduk. Tapi kalau kebijakannya kayak sekarang ini, mbulet, muter-muter enggak karu-karuan, enggak pasti, liat saja, (masyarakat) akan ambil sikap emang gue pikirin," ujar Trubus.

Pendapat yang sama disampaikan oleh Dokter Paru Rumah Sakit Persahabatan, Erlina Burhan. Dia menilai, PPKM darurat yang sudah diterapkan selama dua pekan lebih ini tidak berjalan sesuai harapan. Ini dibuktikan dengan angka kasus harian covid-19 yang masiih meroket.

"Aturan yang bagus itu, (tapi) implementasinya di lapangan enggak sesuai. Kita tak melihat penurunan yang drastis padahal sudah dua minggu. Jadi saya setuju saja diperpanjang lagi sambil dilihat apakah terjadi penurunan," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (21/7/2021).

Dia melihat kasus harian yang menurun dalam beberapa hari belakangan lantaran jumlah testingnya yang juga berkurang. Padahal ini dinilainya bukan sebagai sebuah prestasi dalam penanganan pandemi.

"Jadi bukan testingnya yang diturunkan jumlahnya, tapi testingnya, kecepatannya tetap, namun kasus menurun. Kalau itu terjadi, berarti ya kebijakannya betul berhasil," jelasnya.

"Tapi kalau itu tidak terjadi, saya curiga kalau pelaksanaan di lapangan yang enggak benar," imbuh Erlina.

Dia mengaku tidak peduli dengan berubah-ubahnya istilah yang digunakan pemerintah dalam menekan laju covid-19. Yang terpenting baginya, bukan diksi yang dikedepankan, melainkan aksi tepat yang harus dilakukan.

"Saya enggak peduli lah ganti-ganti nama dari dulu, mau diganti jadi apa lagi namanya kalau tidak sesuai pelaksanaannya ya beginilah kasusnya, naik terus," ucap Erlina.

Karena itu, ia menduga ada masalah dalam penerapan kebijakan ini. Bisa jadi ini karena cakupan vaksinasinya yang berjalan lelet dibanding negara-negara lain.

"Amerika sudah 300 juta lebih warganya divaksin, China juga lebih 1 miliar yang divaksin, kita berapa? Per hari belum konsisten 1 juta orang per hari. Jadi jangan biasa-biasa saja, harus ada intervensi agar bisa herd immunity tahun ini, jangan kelamaan udah enggak kuat nih," terang dia.

Kendati begitu, Ia tetap meyakini bahwa target herd immunity pada 2021 akan tercapai. "Masih optimistis kalau cakupan targetnya bisa tercapai segera," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

PPKM Darurat - PPKM Level 4 Sama Saja

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama menyampaikan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat yang berganti menjadi PPKM Level 3-4 perlu memerhatikan aspek tes dan telusur.

PPKM Darurat yang sedang dijalani sekarang ini untuk melaksanakan pembatasan sosial, sehingga diharapkan kontak antar manusia menjadi lebih rendah dan penularan antar orang juga dapat ditekan.

Walau PPKM Darurat sudah dilaksanakan, masih banyak anggota masyarakat yang tertular COVID-19. Ini artinya ada upaya keras untuk penanggulangannya yakni dengan tes dan telusur harus ditingkatkan.

“Untuk ini, kegiatan tes dan telusur juga harus ditingkatkan secara maksimal sejalan dengan PPKM Darurat sekarang ini. Tanpa ada tes dan telusur yang maksimal maka keberhasilan PPKM Darurat akan sulit dicapai,” tulis Tjandra dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (21/7/2021).

Ia juga menyampaikan 5 poin penting dalam upaya pelaksanaan tes dan telusur yang mencakup aspek peningkatan jumlah, memutus rantai penularan, target, saling mengikuti, dan banyak melibatkan kegiatan kesehatan.

"Meningkatkan jumlah tes adalah komponen yang sangat penting karena bisa menemukan kasus yang positif, lalu ditangani untuk pulih kesehatannya dan diisolasi/dikarantina agar memutuskan rantai penularan," kata Tjandra.

Artinya, lanjut dia, menaikkan tes memang seakan-akan membuat kasus bertambah banyak, tetapi itu jauh lebih baik karena masalah kesehatan di masyarakat dapat diketahui dengan jelas. “Daripada melaporkan jumlah sedikit padahal di lapangan masih banyak kasus.”

Tes bukan hanya menemukan kasus, tetapi juga akan memutus rantai penularan. Menurut Tjandra, peningkatan tes akan berperan amat penting menyelesaikan masalah COVID-19. Kalau tes hanya sedikit, maka COVID-19 jadi terus menular di masyarakat dan persoalan tidak kunjung selesai.

Ia juga berpendapat, semua daerah memang perlu menjadikan tes dan telusur sebagai salah satu kegiatan utama untuk menyelesaikan masalah COVID-19 dan jangan ragu tentang kenaikan angka serta pewarnaan zonasi situasi keparahan daerahnya masing-masing.

Mengenai target, Tjandra mengemukakan bahwa target yang harus dicapai untuk tes sebenarnya sudahlah jelas. Yakni minimal 1 kasus per 1.000 penduduk per minggu. “Jadi targetnya terukur jelas dan tinggal dilakukan saja.”

Tes harus diikuti dengan telusur untuk setiap kasus yang ditemui dan sudah ditentukan pula berapa target yang harus dicari dan ditemukan dari setiap kasus positif.

“Katakanlah antara 15-30 kontak yang harus ditemukan. Kalau di antara mereka ada yang ternyata positif COVID-19 maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya, dan demikian seterusnya.”

“Percuma kalau hanya tes ditingkatkan tapi kontaknya tidak ditelusuri karena tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Tjandra.

Pelaksanaan tes dan telusur relatif banyak melibatkan kegiatan kesehatan, tidak berdampak bermakna pada aspek sosial ekonomi, lanjut Tjandra.

“Jadi konkritnya, tinggal siapkan 3 sumber daya utama, petugas, alat pemeriksaan dan sistemnya, dan langsung mulai sekarang tingkatkan kegiatan tes dan telusur di semua daerah.”

Petugas pada dasarnya sudah tersedia, setidaknya pemerintah sudah punya jaringan pelayanan kesehatan primer di seluruh Indonesia, yang tentu akan ditunjang oleh sektor-sektor terkait dalam pelaksanaan di lapangan.

Tentang alat dan cara pemeriksaan, maka teknologi PCR untuk diagnosis pasti COVID-19 dan juga tes rapid antigen sudah dikuasai di semua daerah di Indonesia. Kesiapan laboratorium PCR juga terus berkembang.

Tentang sistem, maka memang harus terus ditingkatkan aspek manajemen pelaksanaannya di lapangan, bagaimana pencatatannya dan pelaporan yang baik agar semua data dapat terkompilasi dengan baik, yang tentu amat diperlukan untuk pengambilan keputusan/kebijakan di tingkat daerah dan juga tingkat nasional.

Selanjutnya, kalau tes dan telusur sudah jadi prioritas pengendalian COVID-19 maka tentu harus didukung dengan anggaran memadai di semua tingkatan, tutup Tjandra.

Sementara Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi Dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa, menilai PPKM Level 4 sama dengan PPKM Darurat.

“Kalau tidak salah untuk PPKM Level 4 sama dengan PPKM darurat. Namun, batasan masing-masing level tidak dijelaskan dalam Instruksi Mendagri No. 22 tahun 2021 yang menjadi dasar penyebutan PPKM dengan level 1-4,” kata Mahesa kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks, Rabu (21/7/2021).

Ia juga menduga, penggunaan istilah baru merupakan upaya pemerintah untuk menghindari kata 'darurat' yang selama ini digunakan.

“Mungkin pemerintah menghindari penggunaan kata ‘darurat’ yang menjadi multitafsir. Padahal Keputusan Presiden No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kadaruratan Kesehatan Masyarakat Akibat COVID-19 belum dicabut hingga saat ini,” terang dia.

Mahesa menambahkan, dalam PPKM level 3-4 masih diberlakukan kegiatan belajar-mengajar daring. Selain itu, kegiatan sektor non esensial masih 100 persen work from home (WFH), kegiatan sektor esensial bisa dilakukan 25 hingga 75 persen, usaha makanan dan minuman harus delivery atau take away.

Sedang, untuk tempat ibadah diimbau ibadah di rumah, transportasi umum kapasitas maksimal 70 persen, fasilitas umum seperti taman atau tempat wisata ditutup sementara.

Berdasarkan instruksi Mendagri nomor 22 tahun 2021, disebutkan bahwa PPKM Level 3-4 berlaku mulai tanggal 21 hingga 25 Juli 2021.

Perubahan istilah PPKM Darurat menjadi PPKM Level 3-4 dipandang hanya membuat bingung oleh Mahesa.

“Perubahan istilah hanya akan membuat bingung publik, sebaiknya konsisten dengan perintah di dalam UU nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.”

Jika khawatir terkait sektor ekonomi, lanjutnya, pemerintah harus memberi solusi konkrit agar usaha-usaha tetap berjalan dengan mengedepankan protokol kesehatan yang dijalankan dengan disiplin dan pengawasan.

3 dari 3 halaman

Ketentuan PPKM Level 4

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri untuk mengatur tentang perpanjangan PPKM darurat.

Namun, kali ini pemerintah tak lagi menggunakan istilah PPKM Darurat dan Mikro. Namun PPKM Level 3 dan 4. Hal ini tertuang dalam Inmendagri Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 Corona Virus Diseas 2019 di Jawa dan Bali yang dikeluarkan pada Selasa, 20 Juli 2021.

Inmendagri tersebut ditujukan untuk para kepala daerah yang wilayahnya akan memberlakukan PPKM Mikro dan PPKM Darurat.

"Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia yang menginstruksikan agar melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 (empat) Corona Virus Disease (COVID-19) diwilayah Jawa dan Bali sesuai dengan kriteria level situasi pandemi berdasarkan assesmen dan untuk melengkapi pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri mengenai Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro serta mengoptimalkan Posko Penanganan COVID-19 di Tingkat Desa danKelurahan untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19, berkenaan dengan haltersebut diinstruksikan," petikan Inmendagri tersebut.

Adapun beberapa wilayah DKI Jakarta yang masuk dalam PPKM Level 4 adalah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Kota Administrasi Jakarta Barat, Kota Administrasi Jakarta Timur, Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kota Administrasi Jakarta Utara dan Kota Administrasi Jakarta Pusat.

Sementara di Provinsi Banten yang masuk PPKM Level 4 adalah Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Kota Serang.

Lalu di Jawa Barat yang masuk level 4 yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi,Kota Sukabumi, Kota Depok, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Banjar, Kota Bandung dan Kota Tasikmalaya.

Kemudian di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Klaten, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Banyumas, Kota Tegal, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kota Magelang.

Kemudian di Yogyakarta yang masuk level 4 adalah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta.

Sementara di Jawa Timur adalah Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Madiun, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kota Mojokerto, Kota Malang ,Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Blitar dan Kota Batu.

Adapun kabupaten/kota di Jawa-Bali yang menerapkan PPKM Level 3 berdasarkan Diktum Kesatu Inmendagri 22/2021 adalah sebagai berikut:

Provinsi Banten yakni, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kota Cilegon.

Jawa Barat yakni, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Subang, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Garut, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung.

Dalam Inmendagri 23/2021, ada perbedaan aturan yang berlaku pada wilayah dengan penerapan PPKM Level 3 dan 4.

Pada wilayah dengan PPKM Level 4, aktivitas di tempat makan dan sejenisnya masih dilarang menyediakan makan di tempat. Masyarakat hanya diperkenankan untuk membawa pulang makanannya.

"Pelaksanaan kegiatan makan/minum di tempat umum (warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, lapak jajanan) baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/mall hanya menerima delivery/take away dan tidak menerima makan ditempat (dine-in)," bunyi Diktum Kesepuluh huruf d Inmendagri 23/2021, dikutip pada Rabu (21/7/2021).

Berikut detail ketentuan PPKM Level 4:

a. pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (Sekolah, Perguruan Tinggi, Akademi, Tempat Pendidikan/Pelatihan dilakukan secara daring/online.

b. pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 100% (seratus persen) Work From Home (WFH).

c. pelaksanaan kegiatan pada sektor:

1) esensial seperti:

a) keuangan dan perbankan hanya meliputi asuransi, bank, pegadaian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan (yang berorientasi pada pelayanan fisik dengan pelanggan (customer));

b) pasar modal (yang berorientasi pada pelayanan dengan pelanggan (customer) dan berjalannya operasional pasar modal secara baik);

c) teknologi informasi dan komunikasi meliputi operator seluler, data center, internet, pos, media terkait dengan penyebaran informasi kepada masyarakat;

d) perhotelan non penanganan karantina; dan

e) industri orientasi ekspor dimana pihak perusahaan harus menunjukkan bukti contoh dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) selama 12 (dua belas) bulan terakhir atau dokumen lain yang menunjukkan rencana ekspor dan wajib memiliki Izin

1. Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), dapat beroperasi dengan ketentuan dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50% (lima puluh) persen staf untuk lokasi yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, serta 25% (dua puluh lima) persen untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional.

2) esensial pada sektor pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya diberlakukan 25% (dua puluh lima persen) maksimal staf Work From Office (WFO) dengan protokol kesehatan secara ketat;

3) kritikal seperti:

a) kesehatan;

b) keamanan dan ketertiban masyarakat;

c) penanganan bencana;

d) energi;

e) logistik, transportasi dan distribusiterutama untuk kebutuhanmasyarakat;

f) makanan dan minumanpokokserta untukpenunjangnya, ternak/hewan peliharaan;

g) pupuk dan petrokimia;

h) semen dan bahan bangunan;

i) obyek vital nasional;

j) proyek strategis nasional;

k) konstruksi (infrastruktur publik)

3. utilitas dasar (listrik, air dan pengelolaan sampah), dapat beroperasi dengan ketentuan:

1.untuk huruf a dan huruf b dapat beroperasi 100% (seratus) persen staf tanpa ada pengecualian; dan

2.untuk huruf c sampai dengan huruf l dapat beroperasi 100% (seratus) persen maksimal staf, hanya pada fasilitas termasuk kepada pelayanan guna operasinal, diberlakukan maksimal 25% (dua puluh lima) persenstaf, produksi/konstruksi/pelayananmasyarakat administrasi mendukungdan untuk perkantoran

4) untuk supermarket, pasar tradisional, toko kelontong dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan kapasitas pengunjung 50% (lima puluh persen)

5) untuk apotek dan toko obat dapat buka selama 24 jam

d. pelaksanaan kegiatan makan/minum ditempat umum (warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, lapak jajanan) baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/mall hanya menerima delivery/take away dan tidak menerima makan ditempat (dine-in).

e. kegiatan pada pusat perbelanjaan/mal/pusat perdagangan ditutup sementara kecuali akses untuk restoran, supermarket, dan pasar swalayan dapat diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan huruf c angka 4) dan huruf d;

f. pelaksanaan kegiatan konstruksi untuk infrastruktur publik (tempat konstruksi dan lokasi proyek) beroperasi 100% (seratus persen) dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat;

g. tempat ibadah (Masjid, Mushola, Gereja, Pura, Vihara dan Klenteng serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah) tidak mengadakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM level 4 (empat) dan mengoptimalkan pelaksanaan ibadah di rumah;

h. fasilitas umum (area publik, taman umum, tempat wisata umum dan area publik lainnya) ditutup sementara.

i. kegiatan seni, budaya, olahraga dan sosial kemasyarakatan (lokasi seni, budaya, sarana olahraga dan kegiatan sosial yang dapat menimbulkan keramaian dan kerumunan) ditutup sementara.

j. transportasi umum (kendaraan umum, angkutan masal, taksi (konvensional dan online) dan kendaraan sewa/rental) diberlakukan dengan pengaturan kapasitas maksimal 70% (tujuh puluh persen) dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat;k. resepsi pernikahan ditiadakan sementara.