Sukses

Ombudsman DKI: Kasus Kematian Covid-19 yang Tinggi karena RS Rujukan Kolaps

Ombudsman, aplikasi ketersediaan tempat tidur di RS rujukan melalui aplikasi Sinarap tidak begitu membantu. Sebab masih terjadi antrean panjang pasien menunggu pembagian kamar di RS.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh Nugroho menyatakan pihaknya telah melakukan sejumlah evaluasi pelaksanaan PPKM darurat. Salah satunya yakni mengenai tingginya angka kematian pasien Covid-19. 

Menurut dia, seharusnya pemerintah pusat dapat memandang pelayanan fasilitas kesehatan untuk pasien kritis baik Covid-19 maupun non Covid-19 di Jabodetabek.

"Wilayah penyangga Jakarta yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi merupakan penyumbang angka fatality rate utama bagi Provinsi Jawa Barat dengan angka di atas 50 persen," kata Teguh dalam keterangan tertulis, Jumat (23/7/2021). 

Teguh menyebut hal tersebut terjadi akibat kolapsnya pelayanan RS di wilayah Jabodetabek. Hal tersebut berdasarkan tingginya laporan permintaan ruang isolasi dan ICU oleh pasien. 

Menurut dia, aplikasi ketersediaan tempat tidur di RS rujukan melalui aplikasi Sinarap tidak begitu membantu. Sebab masih terjadi antrean panjang pasien menunggu pembagian kamar di RS.

"Pada akhirnya, banyak pelapor dari keluarga pasien kritis tersebut yang terpaksa melakukan isolasi mandiri tanpa bantuan dan perlengkapan yang memadai. Sementara bagi pasien kritis nonCovid-19, mereka terpaksa melakukan rawat jalan," ucap dia. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Optimalisasi Tenaga Kesehatan

Karena hal itu, Teguh meminta agar Kemenkes dan Pemprov DKI dapat melakukan konversi dan optimalisasi tenaga kesehatan. Lalu, sarana dan prasarana wisma isolasi menjadi Rumah Sakit Rujukan bagi pasien Covid-19 kritis di Jabodebek.

"Sebagian kecil wisma tetap diperlukan sebagai ruangan isolasi bagi suspect Covid-19 gejala ringan dan OTG yang berasal dari permukiman padat," ujar dia. 

Kemudian, lanjut Teguh, wisma dapat digunakan untuk isolasi pasien yang tinggal di rumah sempit atau tidak memungkinkan dilakukannya isolasi. 

"Suspek yang memiliki komorbid, suspek yang tinggal sendiri atau tidak memiliki keluarga dan butuh pengawasan serta para buruh migran yang baru kembali dari luar negeri," jelas dia.