Sukses

Bea Cukai dan Polri Dorong Masyarakat Tak Ragu Laporkan Penipuan Online

Di tahun 2020, contact center Bravo Bea Cukai 1500225 menerima tiga ribu pengaduan penipuan yang mengatasnamakan Bea Cukai. Sedangkan di tahun 2021 ini, data hingga bulan Mei 2021, terdapat sembilan ratus pengaduan.

Liputan6.com, Jakarta Penggunaan internet untuk aktivitas dalam jaringan/online, baik dalam penggunaan media sosial, berbelanja melalui marketplace, maupun bekerja dan belajar secara daring, kian meningkat di masa pandemi Covid-19. Di balik segudang manfaat yang dapat diperoleh masyarakat, aktivitas daring pun menyimpan detrimental effects yang patut diwaspadai. Salah satunya ialah penyalahgunaan identitas pribadi yang berujung pada naiknya potensi risiko penipuan atau online scam, termasuk penipuan mengatasnamakan Bea Cukai.

Di tahun 2020, contact center Bravo Bea Cukai 1500225 menerima tiga ribu pengaduan penipuan yang mengatasnamakan Bea Cukai. Sedangkan di tahun 2021 ini, data hingga bulan Mei 2021, terdapat sembilan ratus pengaduan. Bahkan pertanyaan tentang penipuan telah masuk sepuluh besar pertanyaan yang kerap ditanyakan kepada petugas call center Bravo Bea Cukai. Untuk itu, Bea Cukai berkomitmen terus mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terperdaya oleh penipuan online, khususnya yang mengatasnamakan Bea Cukai.

Kepala Seksi Patroli dan Operasi I Bea Cukai Soekarno-Hatta, Anton, dalam acara Bincang Bersama Bravo Bea Cukai X Divisi Humas POLRI bertajuk “Penipuan Online”, Rabu (21/07) mengatakan pihaknya tak henti mengimbau masyarakat agar berhati-hati saat berselancar di dunia maya dan mengenali ciri-ciri penipuan dan modus yang biasanya dilakukan oleh pelaku penipuan online.

“Ada tiga modus yang biasa digunakan, yaitu penipuan melalui media sosial di mana pelaku akan berkenalan dan menjalin pertemanan yang berujung dengan modus pengiriman uang/barang, online shop fiktif, dan lelang palsu dengan harga barang yang sangat murah. Umumnya, semua modus memiliki ciri-ciri yaitu korban akan dihubungi oleh orang yang mengaku petugas Bea Cukai dengan nomor telepon pribadi dan memberi tahu bahwa barang yang dikirimkan atau dibeli ditahan oleh Bea Cukai. Selanjutnya, korban harus mentransfer sejumlah uang ke sebuah rekening pribadi, agar barang dapat dikirimkan. Tentunya disertai ancaman untuk menakut-nakuti korban. Hal ini sudah dapat dipastikan penipuan,” jelasnya.

Ia pun menyarankan masyarakat agar tidak ragu menghubungi Bea Cukai jika curiga menjadi korban penipuan yang mengatasnamakan Bea Cukai.

“Telepon ke 1500225 untuk mengecek kebenarannya, bisa juga konfirmasi ke teman atau kenalan yang bekerja di Bea Cukai. Petugas kami tidak menghubungi melalui nomor telepon pribadi dan semua pembayaran tidak menggunakan rekening pribadi. Masyarakat juga harus waspada dengan selalu mencari tahu modus-modus penipuan serupa dan memeriksa nomor rekening yang digunakan, apakah pernah dilaporkan sebagai rekening penipuan atau tidak,” jelasnya.

Masih menurut Anton, Bea Cukai tak akan tinggal diam dalam menangani penipuan tersebut.

“Dari sisi pengawasan, setiap ada laporan penipuan akan langsung kami tindak lanjuti. Kami akan memeriksa nomor rekening yang digunakan dalam penipuan dan berkoordinasi dengan Polres setempat. Sebagai tindakan preventif, kami gencar melaksanakan sosialisasi untuk mencegah terulangnya kasus penipuan,” tegasnya.

Senada dengan Anton, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Polisi Ahmad Ramadhan mengatakan pihak kepolisian juga mendorong masyarakat untuk melaporkan penipuan yang dialami.

“Masih banyak (korban) yang mungkin tidak melapor karena enggan atau tidak mengerti caranya. Pelaporan untuk penipuan online sama seperti penipuan biasa hanya penanganannya yang berbeda, kalau di Mabes Polri ada Direktorat Cyber Polri. Di Polda ada Sub Direktorat Cyber. Bagi korban penipuan dalam modus apapun, silakan lapor ke kantor polisi terdekat atau saluran telepon channel 110 yang tersedia di seluruh Indonesia. Banyak (penipuan) yang berhasil kami ungkap, yang terbaru ada pinjaman online yang melibatkan orang asing yang berkerja sama dengan lima orang mahasiswa di Jakarta menggunakan aplikasi yang tidak terdaftar di OJK,” tegas Ahmad.

 

(*)