Sukses

Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Tragedi Berdarah Kantor PDI di Diponegoro 58

Pagi itu, kantor yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diambil alih secara paksa oleh massa Soerjadi Soedirdja, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan.

Liputan6.com, Jakarta - Tragedi 27 Juli 1996 selalu dikenal dengan nama 'Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. Berupa serangan berdarah yang terjadi di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.

Sabtu pagi kala itu, lima orang meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka. Kantor yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diambil alih secara paksa oleh massa Soerjadi Soedirdja, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan.

Catatan Liputan6.com yang dihimpun dari berbagai sumber, Selasa (27/7/2021), mengungkapkan penyerbuan itu ditengarai ada keterlibatan aparat TNI-Polri. Peristiwa itu meletupkan kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah Jakarta, khususnya kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Pemerintah saat itu menuding aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Jajaran Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko yang saat itu menjadi aktivis PRD mendapat hukuman terberat, 13 tahun penjara.

Presiden Soeharto dan pembantu militernya diduga merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Upaya pemerintahan Orde Baru menggulingkan Megawati pun dilawan pendukung Megawati lewat gelaran mimbar bebas di Kantor DPP PDI Jakarta.

Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh dan aktivis penentang Orde Baru membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi upaya paksa pengambilalihan, disambut dengan perlawanan.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, sebanyak lima orang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Selain itu, 149 orang baik dari kalangan sipil maupun aparat menderita luka-luka dan 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Dia dihukum dua bulan sepuluh hari.

Sementara dua perwira militer yang diadili, mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya, Kol CZI Budi Purnama dan mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya, Letnan Satu (Inf) Suharto divonis bebas.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Suasana di Kebagusan

Mengutip artikel Majalah Tempo: Diponegoro 58, Suatu Hari Pada 1996 Edisi 26 Juli 2004, Megawati diduga tahu rencana penyerangan kantor PDI pada 27 Juli.

Kala itu, Wakil Komandan Satgas PDI pro-Mega, Soesilo Muslim melaporkan melalui sambungan telepon dengan terburu-buru adanya serangan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat dirinya sedang berada. Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan meninggalkan kantor itu.

Dari Kebagusan, Megawati memberi perintah. "Pak Muslim, Bapak tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa." Gagang telepon kembali diletakkan.

Megawati ditemani oleh staf pribadinya, Ricardo, yang kemudian menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK). Dalam situasi itu, Ricardo mencoba menghubungi nomor telepon ruang Ketua Umum di Jalan Diponegoro.

Belum lama obrolan, terdengar suara pintu didobrak. Suara tendangan dan pukulan terdengar menghantam segala benda di ruangan itu, termasuk jeritan orang-orang dipukul.

"Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak," kata Ricardo kepada Megawati, yang tampak makin gelisah. "Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain? Sudah, kamu temani saya di sini," jawab Mega.

Ricardo juga mendapat perintah untuk memusnahkan sejumlah dokumen yang kira-kira tidak baik, begitu istilahnya. Tidak lama, satu per satu tokoh pendukung Megawati datang, mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan, Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya.

Semua mendesak Megawati turun ke lapangan. Mereka menangis, namun siap jika Megawati memerintahkan serangan balik.

"Kita semua sudah stay di Kebagusan," kata Eros.

Tidak tahu mau apa, satu per satu kemudian meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba, sebuah pesan melalui faksimile berisikan daftar korban masuk ke Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang letaknya kira-kira 100 meter dari kantor PDI yang diambil alih.

"Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki militer," kata Ricardo.

Dalam pesan menyebutkan ada 59 orang menjadi korban. Megawati lantas meminta stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban.

Menjelang petang, mesin faksimile terus-menerus mengeluarkan pesan yang dikirim dari segala penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun, suasana di Kebagusan tetap tenang.

 

3 dari 4 halaman

Megawati Diduga Tahu

Masih berdasarkan Majalah Tempo: Diponegoro 58, Suatu Hari Pada 1996 Edisi 26 Juli 2004, tiga bulan usai peristiwa itu, Komnas HAM menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun terjadi di luar gedung.

Hanya saja, sejumlah saksi mata meyakini bahwa korban di dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Kondisi itu membuat berandai-andai, seandainya Megawati sudah tahu lebih dulu.

Banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar, saat itu menjadi Wakil Bendahara PDI versi Soerjadi yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan itu.

Pada 21 Juli, Alex merekrut seseorang bernama Sena Bela yang mengaku sebagai koordinator preman di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal membuktikan janjinya membawa 5 ribu preman untuk membantu penyerbuan.

Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena teryata langsung membelot ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.

Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan mengatakan bahwa Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu, Megawati mengaku mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari seorang mantan petinggi militer.

"Benny Moerdani. Dia telepon saya," kata Tambunan menirukan ucapan Megawati.

Bahkan dalam persidangan kasus korban 27 Juli yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan, Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari penyerangan.

"Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya," kata Eros Djarot, yang mendirikan PNBK.

Aktivis pergerakan yang terlibat panggung demokrasi di jalan Diponegoro juga disebut sudah tahu. Sejak pukul dua malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro, hanya saja masih ada yang tinggal. Seperti Albert, yang akhirnya mengalami luka sobek di kepala.

Pernyataan Eros dikuatkan Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI. Menurutnya, malam itu pimpinan PDI mengalihkan koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan Mayor Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).

"Ketika itu dia (Soesilo) sudah kontrak mati," kata Taslam.

Namun begitu, serangan yang diduga akan terjadi tengah malam ternyata malah baru muncul pagi harinya. Sementara kondisinya semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga semalaman.

Para korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 pun kemudian sempat bertemu dengan Megawati, menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban peristiwa tersebut. Pertemuan terjadi pada April 2000 saat Megawati sudah jadi Wakil Presiden RI.

Jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik bertanya pada para korban, "Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro? Siapa suruh kalian membela saya?" begitu Taslam menirukan kalimat Megawati.

Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis.

Sementara itu, mantan Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati membiarkan peristiwa itu terjadi.

"Kalau ancaman-ancaman (akan ada serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

SBY Menampik Terlibat Kudatuli

Berdasarkan artikel tempo.co, 'Wawancara Majalah Tempo, SBY Menolak Disebut Terlibat Kudatuli' yang tayang pada 27 Juli 2018, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat mendapat serangan dari PDI Perjuangan (PDIP).

Melalui Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto, PDIP menuntut SBY mengungkap secara jelas peristiwa berdarah 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli.

Meski kerap bungkam, SBY sebenarnya pernah menyampaikan klarifikasi kepada Tempo pada Agustus 2000, sekitar empat tahun pasca-tragedi Kudatuli.

"Saya memang disebut-sebut sebagai pihak yang mengambil inisiatif," kata SBY kepada wartawan Tempo, Andari Karina Anom, sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo, edisi 21 Agustus 2000.

Menurut SBY, dia juga disebut sebagai orang yang memberikan perintah untuk menduduki kantor PDI. Namun, hal itu malah dinilainya tidak logis dan tidak benar.

"Saya menolak keras jika sebagai Kasdam waktu itu dianggap bertanggung jawab," kata dia.

Saat kejadian, SBY masih menjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya. Dia menjadi bawahan Sutiyoso, Panglima Kodam Jaya yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta.

Hanya saja, Sutiyoso dan 17 anggota TNI-Polri lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Sementara SBY bersama Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Hartono tidak masuk daftar tersangka.

Bagi SBY, peristiwa Kudatuli harus dilihat secara luas, termasuk dari aspek politik dan keamanan. Tahapan demi tahapan mesti dilihat utuh, mulai dari Kongres Medan yang memenangkan Soerjadi hingga tokoh-tokoh besar yang waktu itu terlibat.

Kasus tersebut juga harus dilihat secara objektif dan dengan akuntabilitas yang tinggi. Bahwa saat itu, ada pejabat yang meminta pemerintah dan ABRI untuk menyelesaikan konflik antara Soerjadi dan Megawati.

"Tanpa melihat itu, akan banyak pelaksana di lapangan yang menjadi tersangka, sementara tokoh-tokohnya justru tidak tersentuh," kata SBY ketika itu kepada Majalah Tempo.