Sukses

Mengenal Agama Baha'i yang Dapat Ucapan Selamat Hari Raya Naw Ruz dari Menag

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i. Apa itu Baha'i dan bagaimana sejarahnya masuk ke Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i. Pernyataan itu disampaikan Menag Yaqut dalam rekaman video resmi Kementerian Agama.

"Kepada saudaraku masyarakat Baha'i di manapun berada, saya mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Naw Ruz 178 EB," kata Menag dalam video yang dikutip Liputan6.com, Kamis (29/7/2021).

Menag menambahkan, hari raya tersebut digelar setelah umat Baha'i menunaikan ibadah puasa. Hari raya itu juga dinilainya sebagai sebuah hari pembaruan bagi insan yang merayakannya.

"Suatu hari pembaharuan yang menandakan musim semi sprititual dan jasmani setelah umat Baha'i menjalankan ibadah puasa selama 19 hari," jelas Menag Yaqut.

Ucapan Menag Yaqut kepada umat Baha'i ini pun menjadi sorotan. Netizen mempertanyakan tentang agama tersebut hingga mendapatkan ucapan selamat dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Di Indonesia disebutikan sejarah agama Baha'i dimulai oleh dua orang pelopor yang diutus pendiri Baha'i, Baha'ullah. Keduanya adalah Sulayman KhanTunukabani (Jamal Effendi) yang berasal dari Iran berusia 65 tahun, dan pemuda dari Iraq Sayyid Mustafa Rumi berusia 33 tahun. Dua orang tersebut menginjakan kaki ke Indonesia pertama kali di Batavia yang kini bernama Jakarta, tahun 1885.

Dikutip dari bahai.id, situs yang berisi tentang kegiatan dan komunitas Baha'i, menjelaskan tentang sejarah agama Baha'i masuk di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Disebutkan dalam laman itu, Bahá’u’lláh ini menugaskan Jamal Effendi untuk melakukan perjalanan ke India.

"Dia tiba di India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah di India, dia juga mengunjungi Sri Langka," tulisnya.

Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, Jamal Effendi didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke Burma, Myanmar, pada tahun 1878 dan juga ke Penang, sekitar tahun 1883.

Pada sekitar tahun 1884-1885, mereka meninggalkan usaha dagang mereka di Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka melanjutkan perjalanan ke Dacca, yang kini dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota Bangladesh. "Kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga minggu, mereka pergi ke Madras."

Dari Madras, mereka berlayar ke Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan izin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Jakarta yang kala itu bernama Batavia. "Mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan. Mereka hanya diizinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh pemerintah Belanda."

Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang bahasa-bahasa yang telah dikuasainya. Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok.

"Di sini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama Islam, dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan permaisurinya," tulisnya.

Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar, di pulau Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan Pare-Pare. Mereka disambut Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana.

"Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang Raja juga sangat tertarik dengan agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan Fammana," terang situs itu.

Dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Disini, Raja Bone, seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Bahá’i.

"Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian kembali ke Batavia."

Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Penyebaran agama Bahá'í di Indonesia yang melalui asimilasi budaya terus menerus mencapai pengikut hingga mereka memiliki Majelis Rohani Nasional Bahá'í (MRN) sebagai pusat administrasi dan pusat kegiatan keagamaan.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Bersifat Independen

Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, Nuhrison M. Nuh mengungkapkan, agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal, ia bukan sekte/aliran dari agama lain, termasuk Islam.

Pernyataan itu disampaikan dalam acara seminar hasil penelitian yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Acara itu berlangsung pada 22 September 2014 lalu di Jakarta.

Nuhrison mengungkapkan salah satu temuan dari penelitian adalah tidak ditemukannya fakta tentang keterkaitan antara agama Baha’i dengan agama apapun, termasuk Islam. Ia menambahkan bahwa konsep ajaran agama Baha’i memiliki ciri khas yang berbeda dengan konsep keagamaan di dalam Islam. Begitupula dalam tata cara peribadatan.

"Meskipun tampaknya memiliki kesamaan dengan peribadatan Islam (seperti sembahyang, puasa, ziarah dan lainnya), tetapi pada praktiknya tata cara peribadatan yang mereka lakukan sama sekali berbeda," kata dia yang dikutip dari Kemenag.go.id.

Nuhrison mencontohkan dalam pelaksanaan sembahyang misalnya, para penganut Baha’i mengerjakan sembahyang sebanyak tiga kali dalam sehari. Kiblat yang dijadikan sebagai arah sembahyangpun juga berbeda. Jika Umat Islam menghadap ke arah Mekah, maka umat Baha’i sembahyang menghadap Barat Laut (kota Akka-Haifa).