Sukses

HEADLINE: Bansos Covid-19 Dihantui Pungli dan Korupsi, Pengawasannya?

Bansos untuk masyarakat terdampak Covid-19, jadi lumbung bancakan penjahat dari kelas kakap hingga teri. Bagaimana pengawasan yang efektif agar tidak terjadi?

Liputan6.com, Jakarta - Tri Rismaharini jengkel bukan kepalang. Saat melakukan sidak di RT 03/ RW 03 Kota Tangerang, Banten, Rabu 28 Juli 2021 lalu, Menteri Sosial itu geram setelah mendengar keluhan Maryanih, warga penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Maryanih curhat bahwa harga komponen barang yang diterimanya tidak genap Rp 200.000. Ada selisih Rp 23.000, setelah paket barang itu dihitung Satgas Pangan/Mabes Polri. "Coba bayangkan Rp 23.000 dikali 18,8 juta," ujar Risma mangkel.

Bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah kepada masyarakat terdampak Covid-19, jadi lumbung bancakan penjahat kelas kakap hingga teri. Di masa PPKM darurat, pemerintah menyiapkan tambahan anggaran untuk bansos sebesar Rp 39,19 triliun.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, kejadian itu sebagai bukti bahwa pengawasan bansos masih lemah. Harus ada perbaikan pengawasan di internal pemerintah.

"Perilaku koruptif di Bansos cenderung berulang apalagi di masa pandemi, di mana jumlah program bansos meningkat dan nominalnya juga lebih besar dibanding kondisi normal. Jelas bukti pengawasan internal pemerintah masih perlu diperbaiki," kata Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Jumat (30/7/2021).

Ia pun menyarankan agar pemerintah menerapkan pengawasan berlapis. Mulai dari pendataan, perencanaan anggaran sampai ke penyaluran.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu dilibatkan secara intens memantau penyaluran Bansos di lapangan.

"Jika terbukti melakukan korupsi, proses hukum harus transparan dan ada efek jera. Hukuman seumur hidup bisa diberlakukan karena korupsi terjadi di masa bencana pandemi," ungkap Bhima.

Begitu juga pengawasan masyarakat harus diperkuat. Masyarakat masih banyak yang takut melaporkan tindakan pungli atau korupsi.

"Masih banyak yang takut melapor karena mendapat ancaman misalnya. Apalagi kalau yang korupsi Bansos level pejabat desa atau daerah," tuturnya.

Sedangkan Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Betta Anugrah menilai, dari tahun ke tahun penyaluran bantuan sosial, terlebih bentuknya sembako memang kerap menjadi bancakan berbagai pihak. Pencatutan itu bisa dimulai dari penyedia bahan logistik.

"Deal-deal dengan pihak pengadaan," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (30/7/2021).

Ia melihat kasus bansos Covid terlalu banyak tahapan. Bantuan itu tidak langsung diterima kepada masyarakat. Proses yang dilaluinya pun berjalan dengan pengawasan minim sehingga berpotensi adanya penyelewengan bantuan.

"Kayak melalui kelurahan, desa, RW, RT. Dan di sana di setiap step tersebut pengawasannya sangat minim," kata Betta.

Karena itu, untuk mencegah adanya kebocoran bansos, Ia menilai bentuk penyaluran bantuan itu diubah dalam rekening base. Langkah ini sejalan dengan semangat pemerintah yang ingin mengubah semua layanan menjadi elektronik.

"Itu menjadi satu solusi yang bagus juga agar langsung diterima oleh penerima manfaat, tapi juga akan muncul seperti yang terjadi di Banten, Tangerang. Pemotongan terjadi di kelompok penerima manfaat yang notabene usia lansia atau dia enggak ngerti bagaimana menggunakan rekening bank," terang dia.

Jurus lain agar bansos tak bocor yaitu terletak pada perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan yang ketat. Betta mengungkapkan partisipasi dari komunitas dapat dilibatkan dalam pengawasan.

"Dalam hal ini masyarakat atau komunitas ini kita asistensi menjadi auditor di kampung-kampung, kemudian juga melakukan pendataan secara independen. Untuk apa? Ya untuk mensinkronisasi sejauh mana bansos ini pasti sudah sampai ke masyarakat," jelas Betta.

"Dan kami menemukan banyak sekali data, update kami sampai 2020 itu ada 2.892 KPM (kelompok penerima manfaat) yang sebetulnya layak mendapatkan PKH (Program Keluarga Harapan)," imbuhnya.

Terkait partisipasi warga dalam pengawasan bansos, mereka bisa membentuk semacam posko aspirasi untuk memantau dan menjadi tempat aduan dalam penyaluran bansos ini.

"Memang lahirnya dari inisiatif warga dan didampingi aktivis lokal agar warga tak segan melaporkan. Karena selama ini warga bingung melapor ke siapa jika ada permasalahan dalam penyaluran bansos," ujar Betta.

Langkah ini sebagai bagian upaya menekan kebocoran bansos. Sementara dari sisi kementerian Sosial, kata dia, harus mempercepat rencana untuk merombak sistem bantuan sosial yang ada.

"Artinya kalau misal memang mau electronic based (rekening dan dompet digital) menjadi solusi, ya harus dipercepat. Kan ini pandemi sendiri mau dua tahun dan masalahnya malah makin luas," ucap Betta.

Dia menilai, sarana teknologi memang harus digunakan demi menyelamatkan hak masyarakat di tengah pandemi covid-19. Dengan digitalisasi, praktik-praktik culas pemotongan bansos akan bisa mempersempit ruang gerak para penjahat.

"Pada akhirnya aplikasi itu mungkin cukup membantu untuk mempersempit ruang pemotongan tadi, tapi pengawasan masyarakat mesti diperkuat," kata Betta.

Ia mengungkapkan titik potensial kebocoran paling banyak terjadi saat penyaluran bansos. Kalau bentuk bansos berupa logistik, modusnya seperti yang dilakukan Mantan Mensos Juliari Batubari. Mulai dari perencanaan sudah didesain penunjukan orang yang mau melakukan pengadaan barang serta adanya deal-deal tertentu.

"Kalau yang sekarang terjadi di masyarakat, ada pemotongan Rp 20 ribu itu memang terjadi. Jadi lebih banyak modusnya memanfaatkan penerima yang usianya lanjut, yang tidak tahu teknologi tidak mengerti pakai ATM," katanya.

Betta pun menilai sanksi tegas bagi bagi oknum yang memotong bansos harus ditegakkan. Sanksi yang diberikan agar pelaku jera, bisa berupa ganti rugi terhadap uang yang ditilepnya.

"Sanksi yang cocok buat koruptor bansos adalah ganti rugi terhadap penerima manfaat itu. Yang kemarin ramai merundung Juliari, itu sudah pas," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Sanksi Pemotek Bansos

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperkuat pengawasan bansos Covid-19 dari sisi eksternal. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pungutan liar (pungli) dan korupsi dalam pengadaan bansos di masa darurat ini.

Dalam hal ini, Trubus meminta BPK betul-betul memastikan apakah data penyaluran bansos Covid-19 yang disampaikan Kementerian Sosial (Kemensos) sesuai dengan kenyataan di lapangan.

"Jadi ada sinkronisasi, misal data yang dimiliki pemerintah dalam hal ini Kemensos dan yang dimiliki oleh BPK," kata Trubus kepada Liputan6.com, Jumat (30/7/2021).

Selanjutnya, Trubus mengarahkan BPK untuk melakukan monitoring dan evaluasi terus menerus penyaluran bansos Covid-19. Menurut dia, akar masalah terjadinya korupsi dan pungli bersumber pada tidak adanya ketegasan hukum atau law enforcement yang jelas.

"Selama ini mereka yang langgar-langgar kan tidak dikasih hukuman sesuai aturan. Undang-Undang Tipikor misalnya, mereka yang korupsi di tengah pandemi kondisi darurat gini bisa dihukum mati, hukumannya berat itu. Tapi kan kenyataannya enggak ada itu," tuturnya.

BPK disebutnya perlu mengawasi langsung hal-hal yang bersifat data dalam penyaluran bansos Covid-19. Seperti memantau aliran dana dalam akun-akun bank Himbara yang dipakai untuk penyaluran bansos.

"Persoalannya kemudian dalam penyalurannya itu banyak sekali rawan-rawan korupsinya tinggi. Karena biasanya seperti yang terjadi dimintain dulu, jadi mereka juga harus setor. Sisi setor itu ada. Jadi itu yang harus dilakukan tindakan, disidik," ungkapnya.

"Kalau enggak ya ujung-ujungnya pola penyalurannya dianggap lancar-lancar aja, tapi ternyata lancarnya ini tidak sesuai data penerimanya. Mungkin sesuai data penerimanya, tapi orangnya disuruh setor kembali," dia menambahkan.

Masalahnya, Trubus menilai masyarakat sendiri tidak punya kekuatan untuk melaporkan adanya tindak pungli dan korupsi dalam penyaluran bansos Covid-19.

"Ya karena masyarakat udah takut duluan, jadi masyarakat enggak akan melaporkan. Jadi masalahnya di situ. Kenapa enggak melaporkan, karena model sistem pelaporannya (di BPK) sendiri tidak tertutup, tidak menjaga privasi orang yang melapor. Itu jadi sumber masalah," tandasnya.

Sedangkan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Fajar memastikan bansos akan tetap menjadi bancakan sejumlah pihak. Ia menilai di mana ada uang, di situ pasti ada korupsi.

"Di mana ada proyek, di situ pasti ada korupsi. Itu pasti," ujar dia kepada Liputan6.com, Jumat (30/7/2021).

Agar bantuan sosial ini jauh dari tangan para pemotek bansos, Ia menilai harus ada hukuman yang tegas. Fickar menilai sanksi yang tepat ialah hukuman seumur hidup.

"Kalau hukuman mati, secara hukum positif masih ada tapi nampaknya Indonesia sudah tidak menganut hukuman mati. Karena konsitusi kita itu mengatur ada hak yang tidak bisa dinafikan dalam keadaan apapun," ujar dia.

"Nah itu adalah hak untuk hidup. Artinya orang enggak boleh dimatikan dalam keadaan apapun termasuk dalam putusan pengadilan," imbuhnya.

Ia mengungkapkan, penyaluran bansos melalui level bawah memang tidak bisa dihindarkan. Termasuk di tingkat kelurahan atau pengurus RW. Namun penyelewengan bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tegas.

"Satu-satunya jalan, menegakkan hukum dengan tegas. Penyelewengan dihukum dengan tegas. Selain pecat juga proses pidana," tegas dia.

Sementara itu Josias Simon, Kriminolog UI mengungkapkan, penyaluran bansos selama ini tatarannya hanya sekadar planning atau pengorganisasian saja. Tanpa ada penerapan pengawasan yang ketat.

"Selama ini saya lihat controlling-nya menjadi soal, lalu siapa yang kontrol? Harusnyakan semua, mulai dari pemberi program, pemberi dana juga, jadi harusnya ada koordinasi dan controlling. Koordoinasinya sudah tapi controlling-nya yang saya kira belum," kata Josias kepada Liputan6.com, Jumat (30/7/2021).

Agar pengawasan ini maksimal dilakukan, lanjut dia, mereka yang diberi kewenangan koordinasi harus memiliki otoritas lebih. Tugas itu bisa diberikan kepada kelompok tertentu yang bukan bagian dari instansi terkait.

"Mungkin bisa dibedakan karena agak susah (tangung jawabnya). Jadi dibedakan timnya, tidak dalam satu instansi," ujar Josias.

Selain itu, menurutnya pemerintah juga bisa melibatkan unsur teknologi dalam permasalahan bansos ini. Nantinya bantuan yang diberikan kepada masyarakat, bisa termonitor secara online karena sudah ada sistem yang terbentuk.

"Bila ada pelanggaran disebut di situ, misal administrasi kah atau pidana (bisa terpantau). Jadi era sekarang enggak bisa main bawah tangan. Semua dilaksanakan di sistem. Tinggal, lembaga apa yang menjalankan ini. Jadi Bu Risma enggak perlu marah-marah lagi," kata Josias.

3 dari 3 halaman

Dari Perbaikan Ambulans hingga Kantong Kresek

Kabar dugaan pemotongan bansos di lingkungan RT 06 RW5, Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok merebak di dunia maya. Dalam akun IG @depok24jam, pelapor mengaku uang bansos Rp 600 ribu yang diterima istrinya disunat Rp 50 ribu oleh pengurus lingkungan setempat.

"Kemarin saya antar istri ambil bansos sebesar Rp 600 ribu. Tapi dipotong Rp 50 ribu oleh mereka dengan alasan bensin ambulans. Saksi banyak, saya tidak boleh merekam di sana," ucapnya, Rabu 28 Juli 2021.

Ketua RW5, Kuseri pun angkat bicara. Dia menjelaskan bansos yang disunat itu bukan pemotongan melainkan pungutan. Hal itu berdasarkan kesepakatan dengan Ketua RT, RW, dan pengurus Posko Siaga. Uang itu nantinya untuk perbaikan ambulans dan penggantian aki.

"Itu bukan pemotongan, ambulans perlu diperbaiki dan biaya cukup banyak, kita sepakat untuk momen yang tepat ini diperbaiki," ucap Kuseri.

Tidak hanya perbaikan kendaraan ambulans, lingkungan RW5 mempunyai program kain kafan gratis. Kain kafan itu diberikan kepada warga yang mengalami musibah tanpa dikenakan biaya apa pun.

"Kita tidak memotong bansos, kita mohon bantuan donasi perbaikan mobil ambulans dan kain kafan," ungkapnya.

Dari hasil pungutan itu, terkumpul uang sebanyak Rp 11.550.000. Kendati demikian, Kuseri menyesalkan niat baiknya itu disalahartikan. Ujungnya, dia pun mengembalikan uang Rp 50 ribu itu kepada warga penerima BST.

"Sudah dikembalikan kepada 231 warga penerima BST," ujar Kuseri, Kamis 29 Juli 2021.

Usai uang dikembalikan ke penerima BST, bukan berarti masalah itu selesai. Jajaran Polres Metro Depok turun tangan menyelidiki kasus ini. Sejumlah saksi terkait dugaan pemotongan BST itu diperiksa.

"Jadi sudah kita panggil beberapa warga dan Ketua RW, nanti kita akan gelar kasus ini, masih on progres," ujar Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno, Kamis (29/7/2021).

Yogen mengungkapkan, Polres Metro Depok akan mendalami kasus tersebut dari hasil keterangan pemeriksaan sejumlah saksi. Polres Metro Depok terus berusaha menyelidikinya dan akan membuka kasus tersebut apabila ditemukan perkembangan terbaru.

"Masih dalam lidik nanti pasti kita infokan perkembangannya," ucap Yogen.

Tak hanya di Depok, dugaan pemotekan bansos juga terjadi di Tangerang. Hal itu terungkap saat Menteri Sosial Tri Rismaharini melakukan sidak di RT 03/ RW 03 Kota Tangerang, Banten, Rabu 28 Juli 2021.

Seorang penerima bantuan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Aryanih mengaku dimintai uang kresek oleh pihak tertentu. Risma pun meminta para penerima bantuan untuk menolaknya.

"Seharusnya ibu tidak mau dimintai uang kantong kresek atau apa pun namanya oleh pihak tertentu, sebab hak ibu penuh dan tanpa pemotongan sedikit pun. Ibu jangan takut saya jamin ya, jadi tulis surat soal ini kepada saya," ujar Risma.

Ada pula warga penerima BPNT, Maryanih, yang mengungkapkan harga barang komponen yang diterima tidak sesuai atau tidak genap Rp 200.000 per bulan.

"Tadi sudah dihitung oleh Bapak yang dari Satgas Pangan/Mabes Polri harga dari komponen yang diterima hanya Rp 177.000 dari yang seharusnya Rp 200.000. Jadi ada Rp 23.000, coba bayangkan Rp 23.000 dikali 18,8 juta," ujar Risma geram.

Para penerima BST, BPNT/Program Sembako dan PKH diminta membantu pemerintah agar bantuan bisa sampai kepada penerima manfaat dan tidak ada tindak pemotongan oleh pihak siapapun.

"Tolong bantu kami untuk mengetahui apakah ada pemotongan atau tidak, kalau gini-gini terus tidak bisa selesai urusannya dan kapan warga mau bisa sejahtera," kata Risma.

Merespons praktik culas ini, Pemerintah Kota Tangerang membuat Layanan Pengaduan Bansos dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bagi masyarakat yang menemukan atau mengalami adanya tindakan pungutan liar pada penyaluran bansos atau BPNT.

Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengungkapkan bahwa Pemkot Tangerang bersama Kejaksaan Negeri Kota Tangerang serta Polres Metro Tangerang Kota telah berkoordinasi menindaklanjuti terkait keluhan masyarakat terkait Bantuan Sosial yang dipangkas oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Tindak lanjutnya, bahwa kami sudah membuat hotline pengaduan, bersama Kejaksaan dan juga Kepolisian untuk bisa langsung kita tindak," terang Arief saat ditemui di Gedung Pusat Pemerintah Kota Tangerang, Kamis (29/7/21).

Lalu, laporan akan diteruskan kepada pihak kepolisian serta kejaksaan untuk bisa segera diinvestigasi dan dilakukan penindakan.

Arief juga berharap bagi masyarakat yang bantuannya dipotong oleh oknum agar dapat melaporkan ke nomor hotline. Lalu, akan menjamin kerahasiaan pelapor dan juga tetap diberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan.

"Tidak perlu takut untuk melaporkan, mudah-mudahan dengan hal ini dapat memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa proses pelaksanaan bantuan ini tetap berjalan dengan tertib dan lancar sesuai peraturan perundang - undangan," ungkap Arief.

Â