Liputan6.com, Jakarta Sidang permohonan uji materi tentang pelarangan narkotika Golongan 1 untuk pelayanan kesehatan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa 10 Agustus 2021. Agendanya adalah mendengarkan keterangan dari perwakilan DPR dan pemerintah terhadap gugatan tersebut.
Dalam persidangan, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Taufik Basari menolak permohonan tersebut. Namun tetap menekankan bahwa pemerintah dalam merumuskan kebijakan narkotika perlu bersikap terbuka terhadap perkembangan internasional dari lembaga PBB, seperti WHO dan CND, maupun negara lain yang telah memperbolehkan praktik penggunaan narkotika Golongan 1 untuk kepentingan medis.
DPR juga memandang bahwa pemerintah seharusnya tidak berhenti pada sikap penolakan rekomendasi WHO terkait perubahan cannabis dan cannabis resin di Desember 2020, namun juga harus menindaklanjuti lewat langkah kongkret dengan melakukan penelitian-penelitian ilmiah.
Advertisement
"Sikap DPR tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap proses uji materil UU Narkotika yang tengah berlangsung," tutur kuasa hukum Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, Iftitahsari dalam keterangannya, Rabu (11/8/2021).
Menurut Iftitahsari, DPR di satu sisi sependapat bahwa secara kemanusiaan terdapat kerugian yang dialami pemohon uji materi UU Narkotika, sehingga ke depan harus diberikan perlindungan hukum. Namun di sisi lain, DPR tidak bisa memberikan jaminan perlindungan atas pokok permohonan uji materil UU Narkotika ini.
"Oleh karenanya menjadi penting bagi Mahkamah untuk memberikan jalan keluar terhadap hal ini, karena hanya lewat Putusan Mahkamah lah kepastian jaminan perlindungan hukum itu dapat ditegakan tanpa perlu berharap lewat proses politik yang belum jelas arahnya," jelas dia.
Dalam persidangan, hakim MK Enny Nurbaningsih sempat meminta pihak pemerintah menyiapkan data tertulis terkait ukuran ketergantungan narkotika, antara lain mekanisme pengobatan yang tersedia, prevalensi penyakit cerebral palsy, epilepsi, serta mekanisme penggolongan dalam UU Narkotika.
"Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan tidak kaget dengan keterangan dari DPR dan pemerintah, namun cukup menyayangkan sikap dari DPR dan pemerintah yang tertutup pada fakta bahwa ada kondisi di masyarakat yang membutuhkan adanya pengobatan dengan menggunakan narkotika Golongan 1 dan terbatasi akibat pengaturan dalam UU Narkotika," kata Iftitahsari.
Ketiadaan Opsi Pengobatan
Meski begitu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan sepakat dengan DPR yang mendorong adanya penelitian lanjutan untuk narkotika Golongan 1. Adapun sidang selanjutnya akan dilakukan pada Senin, 30 Agustus 2021 pukul 11.00 dengan agenda mendengar keterangan ahli yang akan diajukan para pemohon.
"Koalisi juga mengkritik sikap pemerintah yang menyatakan bahwa pengobatan yang dibutuhkan para pemohon di luar negeri ada alternatifnya di Indonesia, padahal yang menjadi masalah adalah karena para pemohon tidak bisa mengakses opsi-opsi pengobatan sebagaimana masyarakat di negara lain, hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya pembatasan pada hak konstitusional para pemohon," Iftitahsari menandaskan.
Advertisement