Liputan6.com, Jakarta - Baliho bergambar sejumlah tokoh partai politik mulai bertebaran di pinggir jalan. Baliho tersebut diantaranya bergambar foto politikus PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Masyarakat hingga warganet ramai membicarakan bahkan membuat meme. Pengamat Pengamat kebijakan publik Andrinof Achir Chaniago menilai, baliho yang semula dipasang untuk pemanasan 2024 itu justru akan merugikan atau menjadi bumerang bagi parpol.
Baca Juga
"Baliho-baliho yang mereka pasang itu bisa jadi bumerang buat yang namanya dipasang di baliho itu," kata Andrinof saat dikonfirmasi, Minggu (8/8/2021).
Advertisement
Andrinof menyebut, nama politikus yang terpampang di baliho akan diingat masyarakat sebagai tokoh yang tidak simpati selama pandemi Covid-19, dan berujung penilaian buruk pada pemilu 2024.
"Bisa jadi nanti mereka dihukum oleh pemilih mengambang. Jika netizen ramai menilai negatif pemasang baliho-baliho itu, suara pemilu tidak akan jauh berbeda," terang dia.
"Tidak tepat kalau saat pandemi ini memasang baliho, yang tujuannya menaikkan popularitas tokoh partai," tambah dia.
Andrianof menyarankan para parpol mengucurkan anggaran baliho untuk pekerja sosial dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal itu menurutnya lebih mengena di hati masyarakat.
"Lebih baik mereka menyiapkan para pekerja sosial untuk membantu masyarakat menghindari Corona dan membantu masyarakat yang ekonominya terdampak," pungkas dia.
Pengamat politik Adi Prayitno menilai, banyaknya kontroversi pemasangan baliho politikus itu disebabkan oleh kondisi masyarakat yang tengah berada dalam kesulitan akibat pandemi Covid-19.
Masyarakat, kata dia, merasa tidak terbantu dengan munculnya baliho-baliho terkait Pemilu 2024. Baliho itu dinilai hanya bentuk cari perhatian saja.
"Wajar diprotes karena pemasangan baliho itu dinilai tak membantu apapun masalah saat ini. Di tengah banyak orang butuh sembako, elite di baliho itu malah butuh perhatian rakyat,” kata Adi saat dikonfirmasi, Senin (9/8/2021).
Adi menyebut pemasangan baliho untuk sosialisasi sebenarnya adalah hal wajar bagi politikus, namun di pemasangan momen pandemi dianggap tidak tepat dan hanya cari perhatian.
"Sebenarnya elite politik pasang baliho perkara biasa, etis, dan mesti dilakukan untuk publikasi dan sosialisasi diri. Tapi menjadi paradoks karena baliho itu mirip ‘benda mati’ yang tak paham dengan kondisi rakyat di tengah pandemi," tutur Adi.
Dia menyarankan, politikus tidak hanya memasang baliho melainkan ikut membantu rakyat dengan cara membuka kantor partai untuk penanganan Covid-19.
"Meski tak bisa membantu langsung, setidaknya pengurus partai bisa membantu memudahkan akses terhadap kesehatan dan bansos. Selain negara, hanya partai yang bisa menjangkau seluruh lapisan rakyat," kata Adi.
Nyinyir Tak Berujung?
Sementara Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi menilai kritik terhadap politikus yang memasang baliho tak bisa dipertanggungjawabkan.
Hasan lalu menganalogikan pemasangan baliho dengan kebutuhan seseorang terhadap pakaian baru dan sepeda di saat pandemi.
"Misalnya kalau kamu butuh baju baru kamu beli baju nggak? Atau kalau lagi nggak butuh tapi pengen beli baju baru, tetep beli kan. Terus kalau ada orang yang tiba-tiba nyinyir kenapa harus beli baju baru sih di antara banyak orang kelaparan? Kenapa nggak uang untuk beli baju baru kamu disumbangkan kepada orang yang membutuhkan? Atau kenapa kamu beli sepeda di zaman pandemi?" kata Hasan.
"Kalau kita ikuti pendirian-pendirian kayak gini, akhirnya kita akan sampai pada nyinyir tak berujung," imbuh dia.
Hasan mengatakan, kehidupan di luar penanganan pandemi harus terus berjalan, termasuk kehidupan politik. Oleh karenanya, waktu pemasangan baliho politik saat pandemi tidak ada ukurannya untuk dikatakan tepat atau tidak tepat.
"Menurut saya, karena teorinya waktu yang tepat untuk masang baliho, masang spanduk, bisa kemarin, bisa hari ini, bisa besok, bisa bulan depan. Jadinya waktunya tergantung mereka mau mulainya kapan. Kan bisa saja pasang media luar ruang saat Lebaran, ucapkan selamat Lebaran. Nanti dikritik lagi kok masa pandemi pasang spanduk ucapan selamat Lebaran?" katanya.
Menurutnya, pemasangan baliho politik ini tidak ada hubungannya dengan empati saat pandemi.
"Kan bukan berarti orang yang pasang baliho kemudian tidak melakukan tindakan-tindakan bentuk kemasyarakatan. Dia pasang billboard, tapi dia juga menyumbang ke masyarakat, dia juga buat kebijakan yang membantu masyarakat. Dua-duanya bisa berjalan sekaligus," kata Hasan.
Menurut dia, yang perlu dikritik dari pemasangan-pemasangan baliho politik ini cuma dua, yakni apakah pemasangannya di tempat resmi yang diizinkan pemerintah daerah setempat, dan apakah pemasangan baliho tersebut membayar pajak.
"Bukan soal timing karena timing bisa kapan saja. Karena kehidupan politik kan tetap berjalan. Kalau nggak bayar pajak, itu yang harus kita kritik," tegas Hasan.
Lebih jauh dari itu Hasan mengingatkan, proses politik yang memerlukan biaya yang besar juga menggerakkan ekonomi masyarakat, terlebih di masa-masa sulit sekarang ini. Dia lantas mencontohkan penyelenggaraan Pilkada 2020 yang sudah menggerakkan ekonomi di akar rumput.
"Tahun 2020 orang mengkritik kenapa harus ada Pilkada di 2020. Tapi jangan lupa, perputaran uang ketika ada Pilkada 2020, kalau menurut perhitungan pemerintah, itu mencapai Rp 35 triliun," ujar Hasan.
Dia pun meminta publik membayangkan dampak perputaran uang sebesar itu bagi kehidupan ekonomi rakyat.
"Bayangkan jumlah masyarakat yang bisa hidup dari perputaran ekonomi itu. Katering hidup, event orginazer hidup, tukang sound system hidup, percetakan hidup, konveksi yang bikin-bikin kaos hidup, tukang spanduk baliho hidup, sekadar tukang pasangnya hidup, ekspedisi hidup, banyak multiplie effect-nya hidup," ujarnya.
"Dan itu orang yang diberi kehidupan dengan cara terhormat. Karena dia bekerja, dapat gaji, keluarganya dapat makan," pungkas Hasan.
Demi Elektabilitas
Dalam menanggapi kritikan pemasangan baliho tersebut, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzili menyebut baliho yang dipasang para kader Golkar adalah bentuk sosialisasi dan hasil Rapimnas partai pada 2021.
"Sosialisasi Ketua Umum Partai Golkar kepada masyarakat ini merupakan hasil dari Rapimnas dan Rakernas Partai Golkar bulan Maret 2021 yang lalu. Dalam Rapimnas dan Rakernas itu disebutkan bahwa setiap jajaran struktural partai di berbagai tingkatan dan anggota Fraksi Partai Golkar di berbagai tingkatan berkewajiban untuk mensosialisasikan Ketua Umum Partai Golkar kepada masyarakat," kata Ace saat dikonfirmasi, Minggu (8/8/2021).
Ace mengklaim, bentuk sosialisasi Airlangga bukan hanya berbentuk baliho melainkan juga bantuan kepada masyarakat terdampak pandemi.
"Bukan saja billboard, tetapi juga berbagai kegiatan sosial lainnya yang membantu masyarakat dalam penanganan pandemi Covid-19. Misalnya, Partai Golkar dari sejak Februari 2021 memiliki program Yellow Clinic yang salah satu program utamanya membantu program Vaksinasi bagi Pengurus dan masyarakat secara luas," kata dia.
Sementara Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengakui baliho Airlangga Hartarto yang terpajang di sejumlah daerah di Tanah Air merupakan bagian dari upaya sosialisasi Calon Presiden (Capres) 2024.
"Awalnya atribut sosialisasi dilakukan secara sporadis oleh kader Golkar di daerah. Namun, kini pemasangan baliho tersebut telah diatur partai," kata Ahmad Doli kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan perencanaan oleh partai juga disusun dengan baik. Apalagi, saat ini sudah 2021 maka strategi pengenalan pada publik terus ditingkatkan. Selain itu, diakui Golkar popularitas dan elektabilitas Airlangga masih rendah.
"Karena itu diperlukan kerja keras untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas Pak Airlangga Hartarto," kata dia yang dikutip dari Antara.
Terkait kesiapan Airlangga Hartarto sebagai Capres 2024, Ahmad Doli mengatakan Ketua Umum Golkar tersebut belum memberikan jawaban karena masih fokus bekerja sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN)
"Beliau saat ini fokus ke situ," kata dia.
Politkus PDI Perjuangan Arteria Dahlan membantah baliho Puan yang tersebar di berbagai daerah bertujuan untuk meraih dukungan menuju 2024.
“Keliru yang mengaitkan baliho dengan kepentingan elektoral, kalau baliho Mbak Puan dari awal memang tidak ditujukan dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan elektoral,” kata Arteria pada wartawan, Jumat (13/8/2021).
Arteria menyebut sejak awal pemasangan baliho Puan bukan bertujuan elektoral.
“Jadi kalau ada yang mengaitkan Baliho MbaK Puan dengan hasil elektabilitas ya enggaK relevan. Apa kaitannya pemasangan baliho sama elektabilitas MbaK Puan? Memangnya Kami pasang baliho untuk naikkan elektabilitas? Teori dari mana itu? Makanya jangan berburuk sangka, nggak usah tanya sama konsultan politik dan pakar yang ahli di marketing politik, kita sangat paham instrumen-instrumen meningkatkan elektabilitas itu apa saja, pastinya bukan baliho,” jelasnya
Anggota Komisi III itu mengklaim Puan sudah dikenal publik sehingga tak perlu lagi memasang baliho untuk pengenalan.
“Insya Allah beliau sudah dikenal. Jadi engga perlu mengenalkan beliau lewat baliho. Nah pertanyaan seperti itu mungkin lebih relevan ke orang lain, kok heboh banget ya kalau Mbak Puan pasang,” ujarnya.
Arteria justru mengaku heran apabila ada tokoh parpol lain yang juga memasang baliho, namun hanya Puan yang dipersoalkan.
“Padahal sebelumnya sudah banyak pula yang pasang. Padahal sebelumnya sudah banyak juga yang main-main medsos yang diksinya langsung mengarah ke pencalonan presiden. Itu dibahas juga dong secara proporsional,” tandasnya.
Advertisement