Sukses

LaporCovid-19: Negara Harus Menjamin Pembiayaan Perawatan Pasien Covid-19

LaporCovid-19 menemukan banyak kasus keluarga pasien Covid-19 yang terpaksa harus membayar biaya perawatan kepada rumah sakit bahkan hingga ratusan juta rupiah.

Liputan6.com, Jakarta - LaporCovid-19 menemukan banyak kasus keluarga pasien Covid-19 yang terpaksa harus membayar biaya perawatan kepada rumah sakit bahkan hingga ratusan juta rupiah.

Padahal, berdasar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/MENKES/104/2020, yang merujuk pada ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Pembebasan Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu, pembiayaan pasien Covid- 19 yang dirawat dapat diklaim ke Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan.

“Aturan hukum telah jelas menegaskan tanggung jawab negara dalam menjamin biaya perawatan Covid-19 warganya,” kata relawan LaporCovid-19, Amand Tan dalam keterangannya, Rabu (18/8/2021).

Pemerintah wajib menanggung biaya perawatan pasien Covid-19 apapun metode perawatannya, hal itu menurut LaporCovid sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam penanganan wabah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 8 UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Namun, faktanya masyarakat masih banyak yang harus menanggung sendiri biaya perawatan Covid-19 yang sangat mahal.

“Pertama, masih banyak Rumah Sakit (RS) Rujukan Covid-19 yang menagih biaya perawatan kepada pasien Covid-19. Sejak akhir awal tahun 2021, 26 laporan sebesar sekitar Rp 600 juta rupiah saat ibunya dirawat karena Covid-19 pada Juni 2021,” jelasnya.

2 dari 2 halaman

Sulit Dapatkan Obat Gratis

Permintaan biaya oleh RS ke pasien dan keluarga pasien, lanjutnya, kemungkinan kaitannya dengan tunggakan Pemerintah kepada RS terkait penanganan Covid. Per tanggal 6 Juli 2021 tunggakan tagihan perawatan pasien Covid-19 ke sejumlah rumah sakit sebesar Rp 2,69 triliun.

“Kedua, pasien isolasi mandiri masih sulit mendapatkan obat-obatan gratis yang disediakan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh moda layanan yang bias kelas dan tidak aksesibel bagi yang tidak memliki perangkat digital, tidak melek tekonologi atau tidak memiliki kuota,” pungkasnya.